KATEGORI : KARAKTER

 By. Jumadi Mori Salam Tuasikal         

         Posisi kelahiran dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan psikologi dan karakter anak, diantaranya;

1. Anak Pertama

  • Tanggung Jawab: Anak pertama sering merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan mengawasi adik-adiknya.
  • Tekanan Berprestasi: Anak pertama sering kali merasakan tekanan untuk berprestasi tinggi dan menjadi teladan.
  • Kecemasan: Mereka mungkin lebih rentan terhadap kecemasan karena tuntutan untuk memenuhi ekspektasi tinggi.
  • Pemimpin: Sering kali memiliki sifat kepemimpinan yang kuat.
  • Perfeksionis: Cenderung perfeksionis dan ambisius.
  • Konservatif: Cenderung lebih konservatif dan patuh pada aturan.

2. Anak Kedua

  • Pencarian Identitas: Sering kali mencari cara untuk menonjol dan menemukan identitas mereka sendiri.
  • Kompetitif: Bisa menjadi kompetitif, terutama dengan saudara kandung lainnya.
  • Diplomatis: Mengembangkan keterampilan sosial yang baik dan sering menjadi mediator dalam konflik keluarga.
  • Fleksibel: Cenderung lebih fleksibel dan mudah beradaptasi.
  • Mandiri: Lebih mandiri dan kreatif dalam menemukan solusi.
  • Sosial: Sering lebih sosial dan pandai bergaul.

3. Anak Ketiga

  • Penengah: Sering kali berperan sebagai penengah dalam keluarga.
  • Adaptif: Mereka biasanya adaptif dan pandai menavigasi dinamika keluarga.
  • Kurang Perhatian: Mungkin merasa kurang diperhatikan dibandingkan saudara lainnya.
  • Diplomatis: Memiliki kemampuan diplomasi yang baik.
  • Kooperatif: Cenderung kooperatif dan mudah bekerja sama dengan orang lain.
  • Kreatif: Menunjukkan kreativitas dalam mencari perhatian dan pengakuan.

4. Anak Keempat

  • Pencari Perhatian: Sering kali mencari perhatian yang mungkin mereka rasakan kurang.
  • Kehangatan: Mereka biasanya membawa kehangatan dan keceriaan dalam keluarga.
  • Perasaan Terabaikan: Bisa merasa terabaikan karena perhatian yang tersebar ke banyak saudara.
  • Kreatif: Sangat kreatif dalam menarik perhatian.
  • Berjiwa Sosial: Memiliki jiwa sosial yang tinggi dan pandai bergaul.
  • Dinamis: Sering kali sangat dinamis dan energik.

5. Anak Bungsu

  • Manja: Sering kali dimanja oleh anggota keluarga lainnya.
  • Ketergantungan: Mungkin lebih bergantung pada orang tua dan saudara kandung.
  • Kreatif dan Berjiwa Bebas: Mereka sering kali lebih kreatif dan bebas dalam berpikir.
  • Kreatif: Sangat kreatif dan inovatif.
  • Sosial: Sangat sosial dan memiliki kemampuan interpersonal yang baik.
  • Pemberontak: Kadang-kadang menunjukkan sifat pemberontak untuk menonjol dari saudara lainnya.

         Setiap posisi kelahiran memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi psikologi dan perkembangan karakter anak. Anak pertama cenderung menjadi pemimpin dan perfeksionis, anak kedua lebih fleksibel dan mandiri, anak ketiga sering menjadi penengah dan kreatif, anak keempat membawa kehangatan dan dinamisme, sementara anak bungsu cenderung kreatif, sosial, dan kadang-kadang pemberontak. Memahami perbedaan ini dapat membantu orang tua dan pendidik untuk memberikan dukungan yang lebih tepat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik unik setiap anak.

 

FENOMENA HUGEL (HUBUNGAN GELAP)

20 June 2024 22:17:23 Dibaca : 307

    By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

         Hubungan gelap, sering kali disingkat sebagai "hugel," merupakan fenomena sosial yang terjadi di banyak budaya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hubungan ini merujuk pada hubungan romantis atau seksual antara individu yang biasanya sudah terikat dalam hubungan formal, seperti pernikahan, tetapi menjalin hubungan tambahan dengan orang lain secara diam-diam. Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak dan konsekuensi baik secara pribadi maupun sosial.

          Ada beberapa faktor yang bisa memicu terjadinya hubungan gelap. Pertama, ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan atau hubungan resmi lainnya sering menjadi alasan utama. Ketidakpuasan ini bisa muncul dari berbagai aspek, seperti kurangnya perhatian, masalah komunikasi, atau ketidakcocokan dalam hal seksual. Ketika individu merasa tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari pasangan resminya, mereka mungkin mencari pemenuhan tersebut dari orang lain. Kedua, kesempatan dan godaan yang muncul dalam lingkungan sosial atau pekerjaan juga memainkan peran penting. Interaksi yang intens dengan rekan kerja atau teman-teman sosial bisa menciptakan kedekatan emosional yang kemudian berkembang menjadi hubungan yang lebih dalam. Selain itu, teknologi modern seperti media sosial dan aplikasi pesan instan memudahkan individu untuk berkomunikasi secara diam-diam, yang semakin mempermudah terjadinya hubungan gelap. Ketiga, nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berubah juga bisa berkontribusi. Di beberapa masyarakat, ada kecenderungan untuk lebih permisif terhadap hubungan di luar nikah, terutama jika hubungan tersebut tidak terungkap ke publik. Norma ini bisa memberikan "legitimasi" terselubung bagi individu yang ingin menjalani hubungan gelap.

          Dampak dari hubungan gelap sangat luas dan beragam, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, hubungan gelap dapat menimbulkan perasaan bersalah, stres, dan kecemasan bagi pihak yang melakukannya. Perasaan bersalah dan takut ketahuan bisa mengganggu kesehatan mental dan emosional seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi pihak yang dikhianati, mengetahui adanya hubungan gelap bisa menjadi pukulan emosional yang berat. Rasa percaya yang rusak, harga diri yang hancur, dan trauma emosional adalah beberapa konsekuensi yang harus dihadapi. Dalam banyak kasus, hubungan resmi yang sudah ada bisa berakhir dengan perceraian atau perpisahan yang menyakitkan. Secara sosial, hubungan gelap dapat merusak integritas institusi pernikahan dan keluarga. Ketika hubungan gelap menjadi hal yang umum dan "dapat diterima," norma-norma sosial tentang kesetiaan dan komitmen dalam pernikahan bisa melemah. Ini bisa berdampak negatif pada generasi muda yang mungkin melihat hubungan gelap sebagai hal yang wajar atau bahkan diharapkan.

          Mengatasi fenomena hubungan gelap membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan multi-dimensi. Edukasi dan komunikasi yang efektif dalam hubungan pernikahan sangat penting untuk mencegah terjadinya ketidakpuasan yang bisa mendorong individu mencari hubungan di luar nikah. Pasangan perlu belajar cara berkomunikasi yang sehat, menangani konflik, dan memenuhi kebutuhan satu sama lain. Dukungan dari lingkungan sosial, seperti keluarga dan teman-teman, juga sangat penting. Masyarakat harus berperan dalam menciptakan norma-norma yang menghargai kesetiaan dan komitmen dalam hubungan. Ini bisa dilakukan melalui berbagai program edukasi dan kampanye sosial yang menekankan pentingnya kesetiaan dalam pernikahan. Selain itu, bagi mereka yang sudah terlibat dalam hubungan gelap, konseling atau terapi bisa menjadi jalan untuk mengatasi masalah yang mendasari dan membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik. Terapi pasangan atau individu bisa membantu mengatasi perasaan bersalah dan kecemasan, serta membangun kembali kepercayaan dan komunikasi yang rusak.

          Fenomena hubungan gelap adalah isu kompleks yang memiliki banyak aspek dan dampak. Meskipun alasan di balik hubungan gelap bisa bervariasi, dampaknya hampir selalu merugikan bagi individu yang terlibat dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan yang holistik sangat diperlukan untuk menjaga integritas hubungan pernikahan dan kesejahteraan emosional individu. Melalui edukasi, dukungan sosial, dan terapi yang efektif, diharapkan fenomena ini dapat diminimalisir dan diatasi dengan lebih baik.

FENOMENA KAMPUNG SELINGKUH

20 June 2024 17:57:06 Dibaca : 155

 By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Istilah "kampung selingkuh" menggambarkan sebuah komunitas atau daerah yang dikenal dengan tingginya insiden perselingkuhan di antara penduduknya. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontroversi, terutama terkait dengan faktor-faktor sosial, budaya, dan psikologis yang mendasarinya. Dalam esai ini, kita akan mengurai latar belakang, faktor penyebab, dan dampak dari fenomena kampung selingkuh, serta bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat meresponsnya. Kampung selingkuh tidak merujuk pada sebuah tempat yang resmi diakui, melainkan lebih kepada julukan atau label yang diberikan oleh masyarakat berdasarkan perilaku sosial yang terlihat di daerah tersebut. Perselingkuhan sendiri adalah fenomena yang melibatkan ketidaksetiaan dalam hubungan pernikahan atau komitmen jangka panjang. Ketika perselingkuhan menjadi umum di suatu komunitas, berbagai faktor biasanya terlibat, mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, hingga norma sosial dan budaya.

 A. Faktor Penyebab

1. Tekanan Ekonomi

Tekanan ekonomi dapat menjadi salah satu pemicu utama perselingkuhan. Dalam komunitas dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, masalah finansial sering kali menyebabkan ketegangan dalam hubungan pernikahan. Beberapa orang mungkin mencari pelarian emosional atau material di luar hubungan mereka yang sah.

2. Kurangnya Pendidikan Seksual dan Relasional

Pendidikan yang rendah mengenai hubungan dan seksualitas dapat menyebabkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya kesetiaan dan dampak perselingkuhan. Kurangnya komunikasi yang efektif dalam hubungan juga dapat menyebabkan ketidakpuasan yang berujung pada perselingkuhan.

 3. Norma Sosial dan Budaya

Di beberapa komunitas, norma sosial dan budaya mungkin tidak menentang perselingkuhan dengan tegas. Jika perselingkuhan dianggap hal yang biasa atau diterima secara sosial, maka perilaku ini dapat berkembang menjadi sebuah norma yang sulit untuk diubah.

 4. Pengaruh Media dan Teknologi

Akses yang mudah ke media dan teknologi, seperti media sosial dan aplikasi kencan, dapat mempermudah individu untuk terlibat dalam perselingkuhan. Media sering kali menampilkan perselingkuhan sebagai sesuatu yang menarik atau menggoda, yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat.

 B. Dampak Perselingkuhan

1. Dampak pada Keluarga

Perselingkuhan dapat merusak kepercayaan dalam hubungan, menyebabkan keretakan rumah tangga, dan berdampak negatif pada anak-anak. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan konflik mungkin mengalami masalah emosional dan psikologis.

 2. Dampak Sosial

Ketika perselingkuhan menjadi umum dalam sebuah komunitas, hal ini dapat merusak kohesi sosial dan kepercayaan antarwarga. Lingkungan yang tidak stabil secara emosional dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

3. Dampak Psikologis

Baik pelaku maupun korban perselingkuhan sering mengalami stres, depresi, dan kecemasan. Dampak psikologis ini bisa berkepanjangan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan individu.

C. Respons Masyarakat dan Pemerintah

 1. Pendidikan dan Kesadaran

Meningkatkan pendidikan tentang hubungan yang sehat dan kesetiaan dapat membantu mengurangi insiden perselingkuhan. Program-program kesadaran dan konseling pernikahan bisa menjadi langkah awal yang baik.

 2. Penguatan Norma Sosial

Masyarakat perlu bekerja sama untuk memperkuat norma sosial yang menentang perselingkuhan. Ini bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran dan dukungan komunitas yang mendorong perilaku yang setia dan menghormati komitmen pernikahan.

 3. Pemberdayaan Ekonomi

Memberikan dukungan ekonomi kepada komunitas yang mengalami tekanan finansial dapat membantu mengurangi stres yang sering kali menjadi pemicu perselingkuhan. Program pemberdayaan ekonomi dan pelatihan keterampilan bisa memberikan solusi jangka panjang.

         Fenomena kampung selingkuh adalah hasil dari berbagai faktor kompleks yang melibatkan tekanan ekonomi, kurangnya pendidikan, norma sosial, dan pengaruh media. Dampaknya tidak hanya merusak hubungan individu tetapi juga mempengaruhi struktur sosial dan kesejahteraan psikologis komunitas. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan norma sosial yang positif. Hanya dengan upaya bersama, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung hubungan yang sehat dan setia.

 

 By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

            Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu hari raya penting dalam agama Islam yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah. Peristiwa bersejarah yang mendasari perayaan ini mengandung nilai-nilai luhur yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam bimbingan dan konseling. Nilai-nilai tersebut memiliki implikasi kuat terhadap pengembangan diri individu dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan penuh ketaatan. Kisah penyembelihan seekor domba oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT mengajarkan kita tentang kesetiaan, ketaatan, dan keikhlasan. Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya tercinta, Ismail, merupakan teladan ketaatan tertinggi kepada Sang Pencipta. Meski pada akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba, nilai ketaatan ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap individu dalam menghadapi ujian dan cobaan kehidupan.

           Dalam konteks bimbingan dan konseling, prinsip ketaatan dan keikhlasan ini sangat relevan. Seorang konselor harus senantiasa taat pada kode etik profesi dan ikhlas dalam memberikan layanan terbaik bagi klien. Di sisi lain, individu yang menjadi klien juga perlu menanamkan sikap taat dan ikhlas dalam mengikuti proses konseling agar dapat mencapai perkembangan diri yang optimal. Selain itu, peristiwa Idul Adha juga mengajarkan tentang kesabaran dan kerelaan berkorban. Nabi Ibrahim dan Ismail menunjukkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi ujian berat dari Allah SWT. Mereka rela berkorban demi menjalankan perintah Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu pasti akan menghadapi tantangan dan kesulitan. Sikap sabar dan rela berkorban menjadi kunci untuk melewati masa-masa sulit tersebut dengan lebih baik. Konselor harus memiliki kesabaran yang tinggi dalam mendampingi klien yang sedang menghadapi permasalahan. Proses konseling seringkali membutuhkan waktu dan upaya yang tidak sedikit. Konselor harus rela berkorban waktu, tenaga, dan pikiran demi membantu klien mencapai perkembangan diri yang optimal. Di sisi lain, klien juga perlu memiliki kesabaran dan kerelaan berkorban dalam mengikuti proses konseling, baik secara waktu, tenaga, maupun upaya untuk berubah menjadi lebih baik. Nilai-nilai luhur seperti ketaatan, keikhlasan, kesabaran, dan kerelaan berkorban yang terkandung dalam peristiwa Idul Adha memiliki relevansi kuat terhadap pengembangan diri individu. Dengan menanamkan nilai-nilai tersebut, setiap individu akan lebih siap dalam menghadapi tantangan dan ujian kehidupan.

           Dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling, nilai-nilai ini menjadi landasan penting bagi konselor dan klien untuk mencapai tujuan konseling yang lebih bermakna dan efektif. Dengan demikian, perayaan Idul Adha bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga menjadi momentum untuk merenungi dan mengambil hikmah dari kisah yang mendasarinya. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi pedoman bagi setiap individu dalam mengembangkan diri menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, ikhlas, sabar, dan rela berkorban demi mencapai kehidupan yang lebih bermakna.

 Nilai Solidaritas dan Kemanusiaan

          Salah satu nilai luhur yang terkandung dalam perayaan Idul Adha adalah solidaritas dan kemanusiaan. Ritual penyembelihan hewan qurban pada hari raya ini bukan hanya sekedar ritual ibadah semata, tetapi juga memiliki makna yang lebih mendalam dalam menanamkan semangat berbagi dan peduli terhadap sesama manusia. Dalam ajaran Islam, daging hewan qurban dianjurkan untuk dibagikan kepada kerabat, tetangga, dan orang-orang yang membutuhkan. Ini mencerminkan nilai solidaritas dan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Dengan berbagi sebagian dari hasil qurban, kita dapat meringankan beban dan merasakan kebahagiaan bersama orang lain. Nilai solidaritas dan kemanusiaan ini memiliki implikasi penting dalam konteks bimbingan dan konseling. Seorang konselor harus mampu mengembangkan empati dan rasa sosial yang kuat, baik dalam dirinya sendiri maupun pada individu yang menjadi klien.

           Empati dan kepedulian terhadap sesama merupakan kunci untuk membangun hubungan yang baik dan memahami permasalahan yang dihadapi oleh klien. Melalui bimbingan dan konseling, individu dapat diarahkan untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta memahami pentingnya berbagi dan peduli terhadap orang lain. Konselor dapat mendorong klien untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial atau filantropi sebagai sarana untuk mengembangkan rasa kepedulian dan solidaritas terhadap sesama. Selain itu, nilai kemanusiaan juga menjadi landasan penting dalam proses bimbingan dan konseling. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang atau status sosial, berhak untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dalam menghadapi permasalahan hidup. Konselor harus memperlakukan setiap klien dengan penuh rasa hormat dan menghargai martabat kemanusiaan mereka. Dengan menanamkan nilai solidaritas dan kemanusiaan, bimbingan dan konseling dapat membantu individu untuk menjadi pribadi yang lebih peduli, empati, dan memiliki rasa sosial yang kuat. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan diri individu itu sendiri, tetapi juga bagi terciptanya masyarakat yang lebih harmonis, saling menghargai, dan saling peduli satu sama lain.

Nilai Kepatuhan dan Keteguhan Hati

          Peristiwa Idul Adha merupakan simbol ketaatan dan keteguhan hati yang luar biasa dari Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, dalam melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih hewan qurban. Kisah ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kepatuhan dalam menjalankan ibadah dan ajaran agama, serta keteguhan hati dalam menghadapi ujian dan cobaan hidup. Dalam konteks ibadah qurban, kepatuhan dan keteguhan hati menjadi nilai penting yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim. Kita diajarkan untuk taat dan patuh terhadap perintah Allah SWT, meskipun terkadang perintah tersebut terasa berat dan menantang. Seperti halnya Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya tercinta demi menjalankan perintah Tuhan, kita juga dituntut untuk memiliki keteguhan hati dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Nilai kepatuhan dan keteguhan hati ini memiliki implikasi yang sangat penting dalam proses bimbingan dan konseling. Seorang konselor harus mampu menanamkan nilai-nilai tersebut dalam diri klien agar mereka memiliki karakter yang kuat dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan penuh keteguhan. Dalam proses konseling, konselor dapat memberikan bimbingan dan arahan agar klien mampu menumbuhkan kepatuhan terhadap ajaran agama dan nilai-nilai positif lainnya. Dengan memiliki kepatuhan yang kuat, individu akan memiliki pedoman dan pegangan yang kokoh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

          Selain itu, konselor juga dapat membantu klien untuk mengembangkan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Keteguhan hati akan membuat individu lebih tangguh dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan. Konselor dapat memberikan strategi dan teknik untuk membangun resiliensi, seperti berpikir positif, mengelola emosi dengan baik, serta mencari makna dan tujuan hidup yang lebih besar. Dengan menanamkan nilai kepatuhan dan keteguhan hati, individu akan lebih mampu mengatasi permasalahan hidup dengan lebih baik. Mereka akan memiliki fondasi yang kuat dalam diri mereka sendiri, sehingga mampu mengambil keputusan yang bijak dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai positif yang dianut. Nilai-nilai ini juga dapat membentuk karakter individu menjadi lebih disiplin, teguh pendirian, dan memiliki integritas yang tinggi. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi perkembangan diri individu, baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional. Dengan demikian, nilai kepatuhan dan keteguhan hati yang terkandung dalam peristiwa Idul Adha memberikan pelajaran berharga bagi proses bimbingan dan konseling dalam mengembangkan karakter dan kekuatan batin individu untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik.

Nilai Kemandirian dan Kesiapan Diri

          Peristiwa Idul Adha juga mengandung nilai kemandirian dan kesiapan diri yang sangat penting bagi setiap individu Muslim. Proses persiapan dan pelaksanaan ibadah qurban merupakan simbol dari kemampuan untuk bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban agama secara mandiri. Sebelum melaksanakan qurban, seorang Muslim harus mempersiapkan diri secara matang, baik secara fisik maupun finansial. Mereka harus mampu mengatur keuangan dengan baik agar dapat membeli hewan qurban yang sesuai dengan syariat. Selain itu, mereka juga harus mempersiapkan diri secara mental dan spiritual untuk melaksanakan ibadah ini dengan khusyuk dan penuh keikhlasan. Nilai kemandirian dan kesiapan diri ini memiliki implikasi yang sangat penting dalam proses bimbingan dan konseling. Konselor dapat membantu klien untuk mengembangkan kemampuan mengelola tanggung jawab dan persiapan secara matang dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Dalam proses konseling, konselor dapat memberikan bimbingan dan strategi kepada klien untuk meningkatkan kemandirian mereka dalam mengelola berbagai aspek kehidupan, seperti keuangan, karir, hubungan sosial, dan lain sebagainya. Konselor dapat membantu klien untuk menyusun rencana aksi yang konkret dan terukur agar mereka dapat mempersiapkan diri dengan baik dalam mencapai tujuan hidup yang diinginkan.

           Selain itu, konselor juga dapat melatih klien untuk memiliki kesiapan diri yang baik dalam menghadapi tantangan hidup. Kesiapan diri tidak hanya melibatkan aspek fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Konselor dapat memberikan teknik-teknik untuk mengelola stres, meningkatkan resiliensi, dan membangun ketenangan batin agar klien dapat menghadapi situasi sulit dengan lebih baik. Dengan mengembangkan nilai kemandirian dan kesiapan diri, individu akan lebih mampu mengambil tanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Mereka akan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Hal ini akan memberikan dampak positif pada perkembangan diri individu, baik dalam aspek personal, profesional, maupun sosial. Nilai-nilai ini juga dapat mendorong individu untuk menjadi lebih proaktif dan memiliki inisiatif dalam menjalani kehidupan. Mereka tidak hanya menunggu dan bergantung pada orang lain, tetapi mampu mengambil tindakan nyata untuk mencapai tujuan mereka. Dengan demikian, nilai kemandirian dan kesiapan diri yang terkandung dalam peristiwa Idul Adha memberikan pelajaran berharga bagi proses bimbingan dan konseling dalam membantu individu mengembangkan kemampuan untuk bertanggung jawab, mempersiapkan diri dengan matang, dan menghadapi tantangan hidup dengan lebih mandiri dan percaya diri.

Penguatan Mental dan Spiritual

          Peristiwa Idul Adha tidak hanya mengandung nilai-nilai luhur secara simbolik, tetapi juga memberikan pengalaman dan refleksi yang dapat menguatkan ketahanan mental dan spiritual individu. Momen ini menjadi momentum bagi setiap Muslim untuk merenungkan makna ketaatan, keikhlasan, kesabaran, dan pengorbanan yang terkandung dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam proses merenungkan dan memaknai peristiwa Idul Adha, individu dapat mengambil pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi ujian dan tantangan hidup dengan keteguhan hati dan kepasrahan kepada Allah SWT. Pengalaman ini dapat membantu individu untuk menguatkan pondasi mental dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menghadapi berbagai permasalahan hidup dengan lebih tabah dan bijaksana. Bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam membantu individu untuk mengatasi tantangan hidup dan meraih pertumbuhan spiritual. Konselor dapat memberikan pendampingan dan arahan kepada klien untuk memahami makna mendalam dari peristiwa Idul Adha dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses konseling, konselor dapat membantu klien untuk menemukan kekuatan dan ketahanan mental dari dalam diri mereka sendiri. Konselor dapat mengajak klien untuk merefleksikan pengalaman hidup mereka, mengidentifikasi sumber-sumber kekuatan, dan mengembangkan strategi untuk menghadapi kesulitan dengan lebih baik.

          Selain itu, konselor juga dapat memfasilitasi pertumbuhan spiritual klien dengan memberikan bimbingan dan arahan yang sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai positif. Konselor dapat membantu klien untuk memahami makna hidup yang lebih mendalam, menemukan tujuan hidup yang bermakna, dan mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Melalui proses bimbingan dan konseling, individu dapat menemukan kekuatan mental dan spiritual yang lebih besar untuk menghadapi berbagai tantangan hidup. Mereka akan lebih mampu mengelola stres, mengembangkan resiliensi, dan menemukan makna dalam setiap pengalaman hidup yang dijalani. Dengan demikian, peristiwa Idul Adha dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dapat menjadi sumber inspirasi dan penguatan bagi individu dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan penuh keteguhan. Bimbingan dan konseling berperan penting dalam membantu individu untuk mengeksplorasi makna tersebut dan mengaplikasikannya dalam pengembangan diri secara holistik, baik mental, spiritual, maupun psikologis.

Pembentukan Karakter dan Nilai-nilai Positif

        Peristiwa Idul Adha tidak hanya menjadi momen spiritual bagi umat Muslim, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai positif dan membentuk karakter yang kuat dalam diri setiap individu. Kisah penyembelihan domba oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT mengandung pelajaran berharga tentang kesabaran, ketabahan, dan pengorbanan yang luar biasa. Melalui pengalaman merenungkan dan memaknai kisah tersebut, individu dapat belajar untuk mengembangkan karakter positif seperti kesabaran dalam menghadapi ujian hidup, ketabahan dalam menghadapi kesulitan, serta kerelaan untuk berkorban demi mencapai tujuan yang lebih mulia. Nilai-nilai ini sangat penting bagi setiap individu untuk menjalani kehidupan dengan lebih baik dan bermakna. Bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam mendukung pembentukan karakter yang kuat dan penuh nilai bagi setiap individu. Konselor dapat menggunakan momentum Idul Adha sebagai sarana untuk menanamkan dan memperkuat nilai-nilai positif dalam diri klien. Melalui proses konseling, konselor dapat membantu klien untuk memahami makna mendalam dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, serta mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Konselor dapat memberikan bimbingan dan strategi praktis untuk mengembangkan kesabaran, ketabahan, dan kerelaan berkorban dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.

             Selain itu, konselor juga dapat membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan yang dapat menghalangi pembentukan karakter positif. Melalui teknik-teknik konseling yang tepat, konselor dapat membantu klien untuk mengelola emosi negatif, mengatasi pola pikir yang tidak produktif, dan mengembangkan keterampilan coping yang efektif. Pembentukan karakter dan nilai-nilai positif tidak hanya bermanfaat bagi individu itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungan sosial di sekitarnya. Individu yang memiliki karakter yang kuat dan penuh nilai akan lebih mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, menjadi teladan bagi orang lain, dan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan bermakna. Dengan demikian, peristiwa Idul Adha menjadi momentum yang sangat penting bagi proses bimbingan dan konseling dalam mendukung pembentukan karakter dan nilai-nilai positif dalam diri individu. Melalui pengalaman merenungkan dan memaknai kisah penting dalam agama Islam, individu dapat mengembangkan kualitas diri yang lebih baik, seperti kesabaran, ketabahan, dan kerelaan berkorban, yang pada akhirnya akan membawa manfaat bagi kehidupan mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Pengembangan Komunitas dan Solidaritas Sosial

          Peristiwa Idul Adha tidak hanya mengajarkan nilai-nilai luhur pada tataran individu, tetapi juga memberikan pelajaran penting tentang pentingnya berkontribusi dalam komunitas dan masyarakat. Salah satu nilai utama yang terkandung dalam perayaan Idul Adha adalah solidaritas sosial, di mana setiap orang dianjurkan untuk berbagi dan peduli terhadap sesama, terutama bagi mereka yang kurang beruntung. Melalui ritual penyembelihan hewan qurban dan pembagian daging kepada kerabat, tetangga, dan kaum dhuafa, individu diajarkan untuk menghargai dan menghormati satu sama lain, serta menumbuhkan rasa kepedulian dan solidaritas terhadap sesama manusia. Nilai-nilai ini sangat penting untuk membangun komunitas yang kuat dan harmonis, di mana setiap anggota masyarakat saling mendukung dan membantu satu sama lain. Bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam membantu individu menemukan peran mereka dalam membangun kebersamaan dan solidaritas sosial. Konselor dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada klien untuk mengenali potensi dan kekuatan yang mereka miliki dalam berkontribusi bagi komunitas dan masyarakat. Melalui proses konseling, konselor dapat membantu klien untuk mengidentifikasi nilai-nilai positif yang mereka peroleh dari pengalaman Idul Adha, seperti kepedulian, kebersamaan, dan solidaritas sosial. Konselor dapat mendorong klien untuk mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun komunitas yang lebih luas.

         Konselor juga dapat memfasilitasi klien untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan filantropi yang dapat memberikan manfaat bagi komunitas. Melalui keterlibatan ini, individu dapat mengembangkan rasa kepedulian dan solidaritas yang lebih kuat, serta menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih besar dalam memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitarnya. Selain itu, bimbingan dan konseling juga dapat membantu individu dalam mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan kemampuan untuk membangun kerjasama tim yang efektif. Hal ini sangat penting dalam membangun komunitas yang solid dan mampu menghadapi tantangan secara bersama-sama. Dengan demikian, peristiwa Idul Adha memberikan kesempatan bagi individu untuk merefleksikan dan mengembangkan nilai-nilai solidaritas sosial yang pada gilirannya akan berkontribusi pada pembangunan komunitas yang lebih kuat dan harmonis. Bimbingan dan konseling berperan penting dalam membantu individu menemukan peran mereka dalam proses ini, serta memberikan dukungan dan arahan agar mereka dapat menjadi agen perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Simpulan

  1. Hari Raya Idul Adha merupakan momen spiritual yang mengandung nilai-nilai luhur yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip dalam bimbingan dan konseling. Peristiwa bersejarah penyembelihan domba oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT mengajarkan kita tentang ketaatan, keikhlasan, kesabaran, kerelaan berkorban, solidaritas, dan kemanusiaan. Nilai-nilai ini sejalan dengan upaya bimbingan dan konseling dalam membantu individu mencapai perkembangan diri yang optimal.
  2. Pengalaman merenungkan dan menghayati makna mendalam dari peristiwa Idul Adha dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan diri individu. Individu dapat memetik pelajaran berharga tentang keteguhan hati, kesiapan diri, penguatan mental dan spiritual, serta pembentukan karakter dan nilai-nilai positif seperti kesabaran, ketabahan, dan kerelaan berkorban. Nilai-nilai ini dapat membantu individu dalam menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik, meraih pertumbuhan spiritual, dan berkontribusi dalam membangun komunitas dan solidaritas sosial.
  3. Bimbingan dan konseling memiliki peran penting dalam mendukung individu untuk menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur dari Idul Adha dalam kehidupan sehari-hari. Konselor dapat memberikan bimbingan dan arahan agar individu mampu memaknai peristiwa ini secara mendalam, menginternalisasi nilai-nilainya, dan mengimplementasikannya dalam berbagai aspek kehidupan. Konselor dapat membantu individu mengembangkan keterampilan, strategi, dan karakter positif yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik. Selain itu, konselor juga dapat memfasilitasi individu untuk menemukan peran mereka dalam berkontribusi bagi komunitas dan masyarakat melalui nilai-nilai seperti kepedulian, kebersamaan, dan solidaritas sosial.

Dengan demikian, Hari Raya Idul Adha bukan hanya sekadar ritual keagamaan, tetapi juga menjadi momentum yang sangat penting bagi pengembangan diri individu secara holistik. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya memberikan pedoman bagi individu dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna, penuh ketabahan, dan berkontribusi positif bagi lingkungan sekitarnya. Bimbingan dan konseling berperan penting dalam memfasilitasi dan mendukung individu untuk menghayati dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tercapai perkembangan diri yang optimal dan kehidupan yang lebih baik bagi individu dan masyarakat.

SIKAP SOSIAL

09 April 2024 02:44:15 Dibaca : 2092

A. Pengertian Sikap Sosial

Sikap sosial adalah sebagai sarana berkomunikasi untuk membangun keharmonisan sesama manusia. Kita ketahui bersama manusia adalah makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Sikap sosial itu sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan sikap kita dapat merealisasikan keadaan perasaan kita, apalagi dalam kehidupan bermasyarakat, dengan sikap sosial juga seseorang dapat menduga bagaimana respon atau perilaku yang akan diambil oleh orang yang bersangkutan terhadap suatu masalah atau keadaan yang dihadapkan kepadanya dengan mengetahui sikapnya. Menurut Gerungan (2004:150) attitude dapat diterjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupkan sikap, pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap mana disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi itu. Sedangkan menurut Bruno, (Syah, 2002 : 141) sikap adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Sedangkan menurut Thursione mengatakan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek spikologi. Aspek psikologi yang dimaksud adalah simbol, kata – kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya (Ahmadi, 2007:150). Menurut Krech and Crutchfield, sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, emosi, persepsi atau pengamatan atas suatu aspek dari kehidupan individu, (David, dkk, 1985 : 137). 

Definisi sikap menurut Rahayuningsih (2008 : 56)

  • Berorientasi kepada respon : sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek
  • Berorientasi kepada kesiapan respon terdiri dari dua yaitu (1). sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. (2) suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
  • Berorientasi kepada skema triadik : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.

Meskipun ada beberapa perbedaan mengenai pengertian tentang sikap, namun ada beberapa ciri yang dapat disetujui. Sebagian besar ahli dan peneliti sikap setuju bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku, berubah dalam hal intensitasnya, biasanya konsisten sepanjang waktu dalam situasi yang sama, dan komposisinya hampir selalu kompleks. Sehubungan dengan itu pula para ahli cenderung untuk mengemukakan pengertian sikap sebagai berikut: Sikap adalah kesiapan merespons yang sifatnya positif atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten (Ahmadi, 2007:151). Sedangkan kata sosial, berasal dari kata lain societas, yang artinya masyarakat. Kata societas dari kata socius, yang artinya teman, dan selanjutnya kata sosial berarti hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam bentuknya yang lain-lain, misalnya: keluarga, sekolah, organisasi dan sebagainya.Berdasarkan pengertian di atas maka sikap sosial yang dimaksuddalam penelitian ini adalah suatu perbuatan, perilaku yang berkenaan dengan masyarakat.

B. Ciri- ciri Sikap

Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapatlah dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal, tetapi tidak semua faktor internal adalah sikap. Adapun ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut (Ahmadi, 2007 : 153)

  1. Sikap itu dipelajari (learnability): Sikap merupakan hasil belajar ini perlu dibedakan dari motif- motif psikologi lainnya. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu. Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.
  2. Memiliki kestabilan (Stability): Sikap memulai dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil, melalui pengalaman. Mislanya: perasaan like dan dislike terhadap warna tertentu (spesifik) yang sifatnya berulang-ulang atuau memiliki frekuensi yang tinggi.
  3. Personal - societal significance: Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini akan sangat berarti bagi dirinya, ia merasa bebas, dan favorable.
  4. Berisi cognisi dan affeks: Komponen cognisi daripada sikap adalah berisi informasi yang faktual, misalnya: objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
  5. Approach – avoidance directionality: Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang unfavorable, mereka akan menghindarinya.

Sedangkan ciri-ciri sikap menurut Gerungan, 2004 : 163.

  1. Sikap tidak dibawa orang sejak dilahirkan, tetapi akan terbentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
  2. Sikap dapat berubah-ubah, karena sikap dapat dipelajari orang atau sebaliknya, sikap dapat dipelajari sehingga sikap dapat dapat berubah pada pada seseorang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada orang itu.
  3. Objek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.
  4. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.

Dari ciri-ciri sikap yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sikap seseorang tidak dibawah sejak lahir, tetapi harus dipelajari selama perkembangan hidupnya. Karena itulah sikap selalu berubah-ubah dan dapat dipelajari atau sebaliknya, bahwa sikap itu dapat dipelajari apabila ada syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahan sikapnya pada orang lain. Sikap itu tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan selalu berhubungan dengan suatu objek. Pada umumnya sikap tidak berkenan pada suatu objek saja, melainkan juga dapat berkenan dengan deretan-deretan objek-objek yang serupa.

C. Faktor Penyebab Perubahan Sikap

Berdasarkan ciri-ciri sikap diatas bahwa manusia tidak dilahirkan dengan sikap tertentu melainkan dapat dibentuk sepanjang perkembangannya. Dengan demikian pembentukan sikap tidak dengan sendirinya tetapi berlangsungnya dalam sebuah interaksi sosial. Pembentukan sikap pembinaan moral dan pribadi pada umumnyaterjadi melalui pengalaman sejak kecil. Sikap timbul karena ada stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi perangsang oleh lingkungan sosial dan kebudayaan misalnya: keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Dalam hal ini keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap putra-putrinya. Sebab keluargalah sebagai kelompok primer bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Sikap seseorang tidak selamanya tetap, ini bukan berarti orang tidak bersikap. Sikap tumbuh dan berkembang dalam basis sosial yang tertentu, misalnya: ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Didalam perkembangannya sikap banyak dipengaruhi oleh lingkungan, norma-norma atau group. Hal ini akan mengakibatkan perbedaan sikap antara individu yang sama dengan yang lain karena perbedaan pengaruh atau lingkungan yang diterima. Sikap tidak akan terbentuk tanpa interaksi manusia, terhadap objek tertentu atau suatu objek.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap.

  • Faktor intern: yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini berupa selectivity atau daya pilih seseorang untuk menerima dan mengelolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
  • Faktor ekstern: yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok.

D. Indikator Sikap Sosial

Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pada jenjang SMP/MTs, kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1: Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya, sedangkan kompetensi sikap sosial mengacu pada KI-2: Menghargai dan menghayati perilaku jujur, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.