KENAPA MAHASISWA SERING MERASA KULIAH TIDAK SESUAI EKSPEKTASI?
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Mahasiswa sering kali memulai perjalanan kuliah dengan harapan yang tinggi. Masa perkuliahan dianggap sebagai pintu gerbang menuju masa depan yang gemilang. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak mahasiswa merasa kuliah tidak sesuai dengan ekspektasi awal mereka. Kenyataan sering kali tidak seindah bayangan, dan ini memunculkan perasaan kecewa yang dapat memengaruhi semangat mereka untuk belajar. Salah satu alasan utama adalah perbedaan antara gambaran ideal yang mereka bayangkan sebelum masuk kuliah dengan realitas di lapangan. Sebelum menjadi mahasiswa, banyak yang mengira kuliah akan memberikan kebebasan penuh untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Kemudian setelah berada di dalamnya, mereka mendapati bahwa kurikulum yang ketat dan tugas yang menumpuk sering kali menyisakan sedikit ruang untuk kreativitas.
Kendala ini diperparah dengan kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan dalam hal metode pengajaran. Sebagian mahasiswa berharap dosen akan menjadi mentor yang inspiratif dan interaktif. Kenyataannya, banyak yang merasa kecewa karena gaya pengajaran yang cenderung monoton dan minimnya interaksi di kelas. Hal ini menyebabkan mereka sulit merasa terhubung dengan materi yang diajarkan. Faktor lain yang turut berkontribusi adalah tekanan akademik yang tinggi. Banyak mahasiswa tidak siap menghadapi tuntutan akademik yang jauh lebih besar dibandingkan masa sekolah. Keterkejutan ini sering kali membuat mereka merasa terbebani dan kehilangan semangat. Beban tugas yang terus bertambah tanpa jeda membuat mereka merasa seperti sedang berlari dalam lingkaran tanpa ujung.
Selain tekanan akademik, kehidupan sosial juga menjadi tantangan. Sebelum masuk kuliah, banyak mahasiswa membayangkan kehidupan kampus yang penuh dengan persahabatan dan kegiatan menyenangkan. Hasilnya menunjukan bahwa sebagian dari mereka justru merasa kesepian. Tidak semua mahasiswa mudah beradaptasi dengan lingkungan baru atau membangun jaringan pertemanan yang erat. Mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil atau latar belakang sosial yang berbeda juga sering merasa teralienasi. Mereka mungkin menghadapi kesenjangan budaya yang membuat mereka sulit menyesuaikan diri. Situasi ini dapat membuat mereka merasa tidak diterima di lingkungan kampus, yang pada akhirnya memperburuk pengalaman kuliah mereka.
Aspek finansial juga menjadi sumber kekecewaan. Banyak mahasiswa yang tidak siap dengan biaya hidup yang tinggi di kota tempat mereka kuliah. Tekanan untuk membayar biaya kuliah, sewa, dan kebutuhan sehari-hari sering kali memaksa mereka untuk bekerja paruh waktu. Hal ini dapat mengganggu fokus mereka pada studi dan membuat mereka merasa bahwa kuliah adalah beban, bukan kesempatan. Di sisi lain, ekspektasi terhadap hasil kuliah juga sering tidak realistis. Sebagian mahasiswa beranggapan bahwa gelar sarjana akan secara otomatis menjamin pekerjaan yang baik. Ketika mereka mendengar cerita tentang pengangguran di kalangan lulusan sarjana, rasa cemas mulai muncul. Hal ini membuat mereka mempertanyakan tujuan dari pendidikan tinggi yang sedang mereka tempuh. Kesulitan dalam menemukan relevansi materi kuliah dengan dunia kerja juga menjadi penyebab utama kekecewaan. Banyak mahasiswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari di kelas terlalu teoritis dan tidak memiliki aplikasi praktis. Ketidakjelasan ini membuat mereka kehilangan motivasi untuk belajar, karena merasa ilmu yang mereka dapatkan tidak berguna di dunia nyata. Mahasiswa juga sering merasa bahwa sistem pendidikan tinggi terlalu kaku. Mereka berharap memiliki kesempatan untuk memilih jalur belajar yang sesuai dengan minat mereka, tetapi sistem yang ada sering kali membatasi fleksibilitas tersebut. Hal ini membuat mereka merasa terjebak dalam struktur yang tidak memberikan ruang untuk pengembangan diri.
Teknologi juga memainkan peran penting dalam membentuk ekspektasi yang tidak realistis. Media sosial sering kali menampilkan gambaran kehidupan mahasiswa yang glamor dan penuh kebebasan. Ketika realitas tidak seindah yang terlihat di layar, mahasiswa merasa kecewa. Padahal, apa yang mereka lihat di media sosial sering kali hanya sebagian kecil dari kenyataan. Dampak dari rasa kecewa ini tidak bisa diabaikan. Mahasiswa yang merasa kuliah tidak sesuai dengan ekspektasi cenderung mengalami penurunan motivasi belajar. Mereka mungkin mulai menghindari kelas, menunda tugas, atau bahkan berpikir untuk berhenti kuliah. Jika tidak ditangani dengan baik, situasi ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.
Penting untuk memahami bahwa kekecewaan ini tidak selalu berarti kegagalan. Dalam banyak kasus, perasaan tersebut adalah bagian dari proses pendewasaan. Kuliah bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang belajar menghadapi tantangan dan menemukan jati diri. Salah satu cara untuk mengatasi rasa kecewa adalah dengan menyesuaikan ekspektasi. Mahasiswa perlu memahami bahwa kuliah adalah perjalanan yang penuh dengan pasang surut. Alih-alih fokus pada apa yang tidak sesuai harapan, mereka bisa mencoba mencari nilai dari pengalaman yang mereka dapatkan, baik itu melalui kegiatan akademik maupun non-akademik.
Membangun jaringan dukungan juga sangat penting. Mahasiswa yang merasa kesepian atau terisolasi bisa mencari teman, bergabung dengan komunitas, atau meminta bantuan dari konselor kampus. Dengan berbagi pengalaman dan mendengarkan perspektif orang lain, mereka bisa merasa lebih terhubung dan diterima. Disamping itu, pengelolaan waktu yang baik dapat membantu mengurangi tekanan akademik. Mahasiswa perlu belajar memprioritaskan tugas dan mengatur jadwal dengan bijak. Dengan begitu, mereka dapat menyeimbangkan antara akademik, kehidupan sosial, dan waktu untuk diri sendiri.
Dosen dan pihak universitas juga memiliki peran besar dalam mengatasi masalah ini. Metode pengajaran yang lebih interaktif dan relevan dengan dunia kerja dapat membantu mahasiswa merasa lebih terlibat dan termotivasi. Kemudian memberikan ruang untuk fleksibilitas dalam memilih mata kuliah dapat memberikan mahasiswa rasa kendali atas pendidikan mereka. Penting juga untuk mengedukasi mahasiswa tentang realitas dunia kerja sejak awal. Dengan memahami bahwa kesuksesan tidak datang secara instan, mereka bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Hal ini bisa dilakukan melalui program magang, seminar karier, atau pelatihan keterampilan praktis yang relevan.
Sehingganya mahasiswa perlu menyadari bahwa kuliah adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh, bukan hanya memperoleh gelar. Tantangan yang mereka hadapi selama masa kuliah adalah bagian dari proses membentuk karakter dan kemampuan mereka untuk menghadapi dunia nyata. Ketika mahasiswa mampu melihat kuliah sebagai perjalanan, bukan tujuan akhir, mereka bisa menemukan makna yang lebih dalam dari pengalaman mereka. Dengan cara ini, rasa kecewa bisa diubah menjadi peluang untuk belajar dan berkembang, membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
BUDAYA LEMBUR MAHASISWA APAKAH BUKTI DEDIKASI ATAU TANDA TIDAK SEHAT?
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Budaya lembur telah menjadi fenomena yang lazim di kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Mereka sering kali terlihat sibuk hingga larut malam, baik di perpustakaan, laboratorium, maupun kamar kos mereka, mengejar tenggat waktu tugas, mempersiapkan presentasi, atau menyelesaikan penelitian. Fenomena ini kerap dipandang sebagai bukti dedikasi dan semangat belajar yang tinggi. Namun, apakah budaya lembur ini benar-benar mencerminkan komitmen terhadap pendidikan, atau justru menjadi indikasi gaya hidup yang tidak sehat?
Mahasiswa yang terbiasa lembur sering kali didorong oleh tekanan akademik yang tinggi. Tugas yang menumpuk, ekspektasi dosen, dan keinginan untuk mencapai prestasi akademik yang gemilang menjadi pemicu utama. Tidak jarang, mereka mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan demi memenuhi semua tuntutan tersebut. Hal ini menciptakan persepsi bahwa lembur adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya positif. Banyak mahasiswa yang akhirnya terjebak dalam siklus lembur yang terus-menerus. Mereka menganggap bahwa tidur cukup atau meluangkan waktu untuk bersantai adalah bentuk kemalasan. Akibatnya, mereka mulai kehilangan keseimbangan antara kehidupan akademik dan kesehatan fisik maupun mental.
Dalam budaya lembur, mahasiswa sering kali merasa bangga ketika berhasil begadang untuk menyelesaikan tugas. Hal ini menjadi semacam badge of honor yang menunjukkan dedikasi mereka terhadap studi. Sayangnya, kebanggaan ini sering kali datang dengan harga yang mahal, seperti kelelahan kronis, kurang konsentrasi, dan gangguan kesehatan lainnya. Dari perspektif psikologi, lembur yang berlebihan dapat memicu stres yang berkepanjangan. Ketika mahasiswa terus-menerus berada di bawah tekanan untuk memenuhi tenggat waktu, tubuh mereka memproduksi hormon kortisol secara berlebihan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, termasuk gangguan tidur, penurunan imunitas, dan masalah kardiovaskular.
Selain itu, budaya lembur juga berdampak negatif pada kualitas belajar. Penelitian menunjukkan bahwa belajar dalam kondisi lelah tidak seefektif belajar dengan tubuh dan pikiran yang segar. Mahasiswa yang terbiasa begadang cenderung mengalami kesulitan dalam mengingat informasi dan mengolah konsep yang kompleks. Akibatnya, hasil akademik mereka justru bisa menurun. Budaya lembur juga sering kali didorong oleh pengaruh sosial. Dalam lingkungan kampus, mahasiswa yang sering begadang sering kali dianggap lebih serius dan berdedikasi. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang mendorong mahasiswa lainnya untuk mengikuti pola yang sama, meskipun sebenarnya mereka tidak mampu atau tidak nyaman melakukannya.
Teknologi juga berperan dalam memperkuat budaya lembur. Kemudahan akses ke perangkat digital membuat mahasiswa bisa terus bekerja kapan saja dan di mana saja. Namun, penggunaan teknologi yang berlebihan, terutama pada malam hari, dapat mengganggu pola tidur alami mereka. Cahaya biru dari layar gadget, misalnya, dapat menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur. Di sisi lain, lembur tidak selalu berdampak negatif. Dalam situasi tertentu, lembur bisa menjadi strategi yang efektif untuk menyelesaikan proyek besar atau menghadapi ujian penting. Namun, masalahnya adalah ketika lembur menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Mahasiswa yang terjebak dalam budaya lembur sering kali merasa kesulitan untuk mengelola waktu. Manajemen waktu yang buruk adalah salah satu alasan utama mengapa mereka harus lembur. Mereka cenderung menunda-nunda pekerjaan hingga tenggat waktu semakin dekat, yang akhirnya memaksa mereka untuk begadang demi menyelesaikannya. Selain manajemen waktu, kurangnya keterampilan dalam mengatur prioritas juga menjadi faktor pendukung. Banyak mahasiswa yang merasa harus menyelesaikan semua tugas sekaligus, tanpa mempertimbangkan mana yang lebih penting dan mendesak. Hal ini membuat mereka merasa kewalahan dan akhirnya memilih lembur sebagai solusi.
Dukungan dari institusi pendidikan juga memengaruhi budaya lembur di kalangan mahasiswa. Kurikulum yang padat dan ekspektasi yang tinggi sering kali memaksa mahasiswa untuk bekerja di luar batas waktu normal. Sebagai contoh, banyak mahasiswa yang harus mengerjakan proyek kelompok hingga larut malam karena jadwal perkuliahan mereka sudah penuh di siang hari. Namun, budaya lembur tidak selalu terjadi karena tuntutan eksternal. Ada pula mahasiswa yang memilih lembur karena merasa lebih produktif di malam hari. Mereka menikmati suasana yang tenang dan minim gangguan, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada pekerjaan mereka.
Apapun alasan di balik lembur, penting bagi mahasiswa untuk menyadari dampak jangka panjangnya. Tubuh manusia membutuhkan istirahat yang cukup untuk dapat berfungsi secara optimal. Kurang tidur tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan mental dan kemampuan kognitif. Untuk mengatasi budaya lembur, mahasiswa perlu belajar mengelola waktu dengan lebih baik. Membuat jadwal harian, menetapkan prioritas, dan menghindari penundaan adalah langkah-langkah sederhana yang dapat membantu mereka menyelesaikan tugas tanpa harus begadang. Disamping itu, penting bagi mahasiswa untuk memahami batas kemampuan mereka sendiri. Mereka perlu belajar untuk mengatakan "tidak" pada pekerjaan tambahan yang tidak mendesak atau tidak relevan dengan tujuan akademik mereka. Dengan demikian, mereka dapat menjaga keseimbangan antara tugas akademik dan kebutuhan pribadi.
Institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam mengatasi budaya lembur. Dosen dan pihak kampus perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keseimbangan hidup mahasiswa. Misalnya, dengan memberikan tenggat waktu yang realistis, mengurangi beban tugas yang berlebihan, dan menyediakan program dukungan untuk kesehatan mental. Mahasiswa juga dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas mereka, bukan untuk memperpanjang waktu kerja. Aplikasi manajemen waktu, misalnya, dapat membantu mereka mengatur jadwal dan mengingatkan tenggat waktu tanpa harus mengorbankan waktu tidur mereka.
Kemudian penting bagi mahasiswa untuk menjaga pola hidup sehat. Mengatur pola makan, berolahraga secara teratur, dan meluangkan waktu untuk bersantai adalah cara-cara efektif untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka. Membangun kebiasaan tidur yang baik juga sangat penting. Mahasiswa perlu menciptakan rutinitas tidur yang konsisten dan menghindari penggunaan gadget sebelum tidur. Hal ini akan membantu mereka mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik dan bangun dengan energi yang cukup untuk menghadapi hari berikutnya. Sehingga dapat dipahami bahwa budaya lembur bukanlah solusi jangka panjang untuk menghadapi tantangan akademik. Mahasiswa perlu belajar untuk bekerja dengan cerdas, bukan hanya bekerja keras. Dengan mengelola waktu dan menjaga keseimbangan hidup, mereka dapat mencapai prestasi akademik yang baik tanpa harus mengorbankan kesehatan mereka.
Jadi, apakah budaya lembur mahasiswa merupakan bukti dedikasi atau tanda tidak sehat? Jawabannya tergantung pada bagaimana lembur itu dilakukan dan apa dampaknya. Jika dilakukan secara bijaksana dan hanya sesekali, lembur bisa menjadi bentuk dedikasi. Namun, jika menjadi kebiasaan yang merugikan kesehatan, maka itu adalah tanda gaya hidup yang tidak sehat. Mahasiswa perlu memahami hal ini agar dapat membuat keputusan yang tepat untuk masa depan mereka.
TINDAKAN PREVENTIF TERHADAP PELECEHAN SEKSUAL
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Pelecehan seksual merupakan isu yang kompleks dan sering kali menjadi topik yang sulit dibahas secara terbuka. Namun, pemahaman dan kesadaran tentang tindakan preventif sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman, terutama bagi mahasiswa dan remaja. Tulisan ini akan membahas langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk mencegah pelecehan seksual, baik di lingkungan kampus, sekolah, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu langkah pertama dalam mencegah pelecehan seksual adalah memahami apa itu pelecehan seksual. Pelecehan seksual mencakup berbagai tindakan, baik verbal, fisik, maupun non-verbal, yang bertujuan untuk melecehkan, menghina, atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Contoh tindakan ini bisa berupa komentar yang tidak pantas, sentuhan yang tidak diinginkan, atau pengiriman pesan dengan konten vulgar.
Pendidikan merupakan kunci utama dalam upaya preventif. Edukasi tentang pelecehan seksual perlu dimulai sejak dini, baik di rumah, sekolah, maupun komunitas. Orang tua, guru, dan dosen harus memberikan pemahaman kepada anak-anak dan remaja mengenai pentingnya menghormati batasan pribadi orang lain dan bagaimana mengenali tanda-tanda perilaku yang tidak pantas. Selain itu, kampus dan sekolah dapat mengambil peran aktif dengan mengadakan seminar, lokakarya, atau diskusi kelompok tentang pelecehan seksual. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran, tetapi juga membuka ruang bagi mahasiswa dan remaja untuk berbagi pengalaman serta belajar cara menangani situasi yang berpotensi mengarah pada pelecehan seksual.
Lingkungan yang aman dan inklusif juga sangat penting dalam mencegah pelecehan seksual. Institusi pendidikan harus memastikan bahwa setiap individu merasa dihormati dan didengar. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menyediakan layanan bimbingan konseling, di mana mahasiswa dan remaja dapat berbicara secara bebas dan mendapatkan dukungan yang diperlukan. Mahasiswa dan remaja juga perlu diberdayakan untuk menjaga keselamatan mereka sendiri. Mengembangkan kemampuan asertif, seperti berkata “Tidak” dengan tegas, dan memiliki keberanian untuk melapor ketika mengalami atau menyaksikan pelecehan seksual adalah langkah penting. Kemampuan ini bisa diasah melalui pelatihan keterampilan hidup atau program pengembangan diri.
Di era digital seperti sekarang, pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga melalui media online. Oleh karena itu, literasi digital menjadi aspek yang tidak kalah penting. Mahasiswa dan remaja harus diajarkan untuk menjaga privasi mereka di media sosial, mengenali modus pelecehan online, dan melaporkan pelaku kepada platform yang bersangkutan atau pihak berwenang. Selain melindungi diri sendiri, penting juga untuk berperan aktif dalam membantu orang lain. Jika melihat teman atau seseorang berada dalam situasi yang tidak nyaman, beranikan diri untuk memberikan bantuan. Tindakan sederhana seperti mengalihkan perhatian pelaku atau mendampingi korban dapat membuat perbedaan besar.
Lembaga pendidikan juga harus memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terkait pelecehan seksual. Prosedur pelaporan yang mudah, transparan, dan melindungi privasi korban harus disediakan. Hal ini memberikan rasa aman bagi korban untuk berbicara tanpa takut akan stigma atau pembalasan. Selain itu, penting untuk mendorong budaya saling menghormati di lingkungan sekitar. Mahasiswa dan remaja harus diajak untuk menghargai perbedaan, baik dalam hal gender, latar belakang budaya, maupun pandangan hidup. Dengan begitu, potensi konflik atau pelecehan dapat diminimalkan.
Peran komunitas tidak dapat diabaikan dalam upaya ini. Kelompok atau organisasi yang peduli terhadap isu ini bisa menjadi wadah bagi mahasiswa dan remaja untuk mendapatkan informasi, dukungan, dan tempat berbagi pengalaman. Komunitas ini juga dapat bekerja sama dengan pihak institusi untuk mengampanyekan tindakan preventif. Sebagai individu, penting untuk selalu waspada terhadap situasi sekitar. Hindari tempat-tempat yang sepi atau tidak aman, terutama pada malam hari. Jika memungkinkan, pergi bersama teman atau menggunakan transportasi yang terpercaya untuk mengurangi risiko.
Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keamanan. Aplikasi keamanan pribadi, seperti yang memungkinkan pengguna untuk membagikan lokasi mereka secara real-time, dapat membantu mahasiswa dan remaja merasa lebih aman, terutama ketika berada di tempat baru atau tidak familiar. Kita juga perlu menyadari bahwa pelecehan seksual tidak selalu dilakukan oleh orang asing. Dalam banyak kasus, pelaku adalah orang yang dikenal korban. Oleh karena itu, penting untuk tetap berhati-hati dan menjaga batasan dalam setiap hubungan, baik di lingkungan akademik maupun pribadi. Selain tindakan preventif, memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual adalah bagian penting dari upaya ini. Mendengarkan dengan empati, tanpa menghakimi, dapat membantu korban merasa dihargai dan diperhatikan. Dukungan psikologis juga sebaiknya disediakan oleh lembaga pendidikan.
Kesadaran kolektif menjadi pilar utama dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari pelecehan seksual. Semua pihak, mulai dari individu, keluarga, hingga institusi, harus bekerja sama untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan, penghormatan, dan keberanian untuk melawan segala bentuk pelecehan. Penting untuk diingat bahwa pelecehan seksual adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Dengan mengambil tindakan preventif yang tepat, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil dan aman bagi semua. Melalui pendidikan, kesadaran, dan kerja sama, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan mahasiswa dan remaja secara optimal tanpa rasa takut atau tekanan. Mari bersama-sama melangkah untuk masa depan yang lebih baik.
Belajar dari Buku "Bersikap Tegas dalam Segala Situasi" Karya Sue Hadfield dan Gill Hasson
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Sikap tegas dalam kehidupan sehari-hari bukanlah sekadar pilihan, melainkan keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu. Dalam buku "Bersikap Tegas dalam Segala Situasi" karya Sue Hadfield dan Gill Hasson, penulis menyajikan panduan lengkap mengenai bagaimana cara untuk bersikap tegas dengan penuh rasa hormat dan empati, tanpa harus menjadi agresif atau pasif. Buku ini memberikan wawasan yang mendalam tentang pentingnya membangun keberanian dalam menghadapi situasi sulit dan bagaimana menghadapi tekanan sosial serta profesional dengan percaya diri.
Tegas, dalam konteks buku ini, bukan berarti keras atau tidak toleran. Sebaliknya, tegas adalah kemampuan untuk menyampaikan kebutuhan, keinginan, dan batasan dengan jelas dan tanpa rasa takut, sambil tetap mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain. Hal ini sangat penting dalam menjaga hubungan yang sehat, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. Dalam banyak situasi, kita sering kali merasa terjebak antara menjadi terlalu lembek atau terlalu dominan. Buku ini mengajarkan kita untuk menemukan keseimbangan di antara keduanya. Salah satu konsep utama yang dibahas adalah perbedaan antara bersikap tegas, pasif, dan agresif. Dalam banyak kesempatan, seseorang mungkin merasa tidak nyaman mengatakan "tidak" atau mengekspresikan pendapat karena takut menyinggung perasaan orang lain. Namun, jika kita terus mengabaikan kebutuhan dan keinginan kita sendiri, kita akan mengorbankan kebahagiaan dan kesejahteraan diri kita. Tegas, dalam hal ini, memberi kita kemampuan untuk mengekspresikan diri tanpa merugikan orang lain, sambil tetap menghargai diri sendiri.
Buku ini menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dan efektif sebagai inti dari sikap tegas. Saat kita mampu mengomunikasikan batasan dengan cara yang konstruktif, kita membuka ruang untuk pemahaman yang lebih baik antara kita dan orang lain. Penulis mengajak pembaca untuk lebih sadar terhadap bahasa tubuh dan nada suara yang digunakan, karena keduanya memainkan peran yang sangat penting dalam mengomunikasikan ketegasan. Salah satu topik menarik yang diangkat oleh Hadfield dan Hasson adalah pentingnya mengenali hak kita untuk mengatakan "tidak". Banyak orang merasa terpaksa untuk memenuhi harapan orang lain, terutama dalam situasi sosial atau profesional yang menuntut kesediaan untuk selalu membantu atau berkompromi. Buku ini menegaskan bahwa kita berhak untuk menetapkan batasan tanpa merasa bersalah. Kemampuan untuk mengatakan "tidak" dengan tegas akan membantu kita untuk mengelola waktu, energi, dan emosi dengan lebih baik.
Penulis juga mengajak pembaca untuk menghadapi ketakutan yang sering muncul ketika berusaha untuk bersikap tegas. Rasa takut akan penolakan atau konflik bisa sangat menghalangi seseorang untuk berbicara dengan tegas. Namun, dengan latihan dan kesadaran, kita bisa mengurangi kecemasan tersebut dan mulai berbicara dengan lebih jelas dan lugas. Tegas bukan berarti agresif, melainkan menyampaikan kebutuhan kita dengan cara yang tidak merugikan orang lain. Selain itu, buku ini membahas tentang pentingnya rasa percaya diri dalam bersikap tegas. Ketika kita yakin dengan diri sendiri, kita lebih mudah untuk mengungkapkan pendapat dan kebutuhan kita tanpa takut dihukum atau ditolak. Kepercayaan diri ini bukan datang begitu saja, tetapi perlu dibangun melalui pemahaman diri yang lebih baik dan penguatan keyakinan akan hak kita untuk didengar. Konsep tegas juga sangat relevan dalam hubungan interpersonal. Dalam konteks hubungan pertemanan, keluarga, atau pasangan, sering kali kita dihadapkan pada situasi di mana kita perlu membicarakan masalah atau ketidaknyamanan. Menyelesaikan masalah ini dengan cara yang tegas dan tidak menyakiti perasaan orang lain memerlukan keterampilan komunikasi yang baik. Buku ini menawarkan pendekatan yang memungkinkan kita untuk mengungkapkan perasaan kita tanpa menyakiti orang lain, yang pada akhirnya membangun hubungan yang lebih sehat dan harmonis.
Dalam lingkungan profesional, kemampuan untuk bersikap tegas juga sangat krusial. Banyak orang merasa tertekan untuk selalu menyetujui permintaan atau harapan dari atasan atau rekan kerja, padahal hal tersebut bisa berdampak negatif pada kualitas pekerjaan atau keseimbangan hidup. Buku ini mengajarkan cara untuk menegosiasikan permintaan dengan cara yang tegas namun tetap profesional, menjaga keseimbangan antara memenuhi kewajiban dan menjaga kesejahteraan pribadi. Tegas juga berarti mampu mengelola konflik dengan cara yang konstruktif. Konflik dalam hubungan atau tempat kerja tidak selalu buruk; yang penting adalah bagaimana kita menanggapi dan menyelesaikannya. Tegas mengajarkan kita untuk tetap tenang, mengungkapkan pandangan kita secara jujur, dan berusaha menemukan solusi yang saling menguntungkan. Dengan keterampilan ini, kita bisa mengurangi ketegangan dan meningkatkan kolaborasi dalam situasi yang penuh tekanan.
Dalam konteks kehidupan sosial, buku ini juga mengingatkan kita untuk menjadi tegas dalam menetapkan batasan terhadap perilaku orang lain yang mungkin tidak kita sukai. Banyak kali kita merasa terjebak dalam interaksi sosial karena tidak tahu bagaimana cara untuk berkata "tidak" tanpa merasa bersalah. Sue Hadfield dan Gill Hasson mengajarkan kita bahwa kita berhak untuk melindungi diri sendiri dan menuntut rasa hormat dari orang lain. Kemampuan untuk bersikap tegas juga mendukung perkembangan pribadi kita. Dengan sering berlatih untuk menyatakan pendapat dan keinginan kita, kita secara tidak langsung memperkuat rasa percaya diri dan mengasah kemampuan kita untuk mengambil keputusan yang lebih baik. Ini adalah langkah penting dalam menuju kehidupan yang lebih seimbang dan bahagia.
Buku ini juga menekankan pentingnya latihan dalam mengembangkan sikap tegas. Seperti halnya keterampilan lainnya, ketegasan bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan perlu dipraktikkan secara konsisten. Setiap orang bisa belajar untuk lebih tegas dalam menghadapi situasi yang menantang, dan semakin sering kita melakukannya, semakin alami pula sikap tegas itu dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penulis juga menyarankan untuk memperhatikan dampak dari keputusan kita terhadap orang lain. Bersikap tegas tidak berarti mengabaikan perasaan orang lain, tetapi lebih kepada menemukan cara untuk menyampaikan pesan kita tanpa menyakiti atau merugikan mereka. Dengan demikian, kita dapat membangun hubungan yang saling mendukung dan saling menghormati.
Buku ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya mengetahui kapan kita harus berbicara dan kapan kita harus diam. Dalam beberapa situasi, berbicara dengan tegas bisa menjadi sangat penting, tetapi dalam situasi lain, diam dan mendengarkan bisa lebih bijaksana. Kemampuan untuk menilai situasi dan mengambil keputusan yang tepat tentang kapan harus bersikap tegas atau tidak berbicara adalah keterampilan yang perlu diasah dalam kehidupan. Menerapkan sikap tegas dalam kehidupan sehari-hari juga berarti berani untuk tidak selalu mengikuti arus atau harapan orang lain. Buku ini mengajarkan bahwa kita memiliki kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita pegang. Tegas bukan berarti melawan, tetapi memilih untuk mengikuti jalan yang benar bagi diri kita.
Sebagai penutup, "Bersikap Tegas dalam Segala Situasi" mengajak pembaca untuk lebih sadar akan kekuatan mereka dalam mengendalikan hidup mereka sendiri melalui komunikasi yang tegas. Dengan menerapkan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam buku ini, kita bisa menjadi individu yang lebih percaya diri, lebih mandiri, dan lebih mampu menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain. Ketegasan bukan hanya tentang mengungkapkan pendapat, tetapi tentang menghargai diri sendiri dan orang lain dalam setiap interaksi yang kita lakukan.
PATRONASE POLITIK KAMPUS
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Patronase politik kampus adalah praktik di mana jaringan hubungan pribadi, kelompok, atau organisasi digunakan untuk memengaruhi keputusan dan kebijakan di dalam institusi pendidikan tinggi. Patronase ini sering kali melibatkan penggunaan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial untuk memperkuat posisi seseorang atau kelompok tertentu dalam struktur kepemimpinan kampus. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas institusi pendidikan tetapi juga mengancam kebebasan akademik dan keadilan dalam lingkungan kampus.
Secara umum, patronase politik di kampus dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk dalam proses pemilihan para pimpinan, pengangkatan staf akademik dan administratif, alokasi dana penelitian, serta pemberian beasiswa dan fasilitas. Dalam konteks ini, keputusan-keputusan penting sering kali lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan afiliasi pribadi daripada meritokrasi atau kualitas akademik. Hal ini menunjukkan bahwa patronase politik telah menjadi isu sistemik yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak yang terlibat. Masalah patronase politik di kampus sering kali muncul dari adanya keterkaitan antara universitas dan aktor politik eksternal. Keterlibatan pihak luar, seperti pemerintah, partai politik, atau korporasi, dalam urusan kampus dapat memengaruhi independensi institusi akademik. Sebagai contoh, beberapa universitas di Asia dan Afrika dilaporkan telah mengalami tekanan dari pihak politik untuk mengadopsi kebijakan atau mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan agenda pemerintah atau partai politik tertentu.
Di sisi lain, patronase politik juga dapat dipicu oleh dinamika internal di kampus. Jaringan kekuasaan lokal yang terdiri dari dosen senior, administrator, dan kelompok mahasiswa tertentu sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk memengaruhi pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus, mereka dapat menggunakan patronase untuk mempertahankan status quo atau untuk melawan perubahan yang dianggap mengancam kepentingan mereka. Dalam konteks global, patronase politik kampus telah menarik perhatian sebagai isu yang dapat menghambat kemajuan akademik dan reformasi pendidikan tinggi. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Higher Education Policy Institute (HEPI) menunjukkan bahwa universitas-universitas yang terlibat dalam praktik patronase cenderung memiliki tingkat inovasi yang lebih rendah dan lebih sedikit menarik talenta internasional. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana patronase politik beroperasi di kampus dan mencari cara untuk mengatasinya.
Patronase politik di kampus bukanlah fenomena baru. Jejaknya dapat dilacak hingga ke abad pertengahan ketika universitas pertama kali didirikan di Eropa. Pada masa itu, hubungan erat antara universitas dan gereja atau negara sering kali menyebabkan pengaruh politik yang kuat dalam keputusan akademik. Banyak posisi kepemimpinan di universitas diisi berdasarkan kedekatan dengan penguasa politik atau gerejawi, daripada kompetensi akademik. Seiring berjalannya waktu, patronase politik terus berkembang dan mengalami transformasi, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di banyak negara, pemerintah mulai melihat universitas sebagai instrumen penting untuk membentuk ideologi dan identitas nasional. Ini menyebabkan meningkatnya intervensi politik dalam urusan kampus, termasuk dalam hal kurikulum, pengangkatan staf, dan kebijakan lainnya.
Pada era pasca-Perang Dunia II, dengan meningkatnya gerakan dekolonisasi dan demokratisasi, banyak universitas di seluruh dunia mulai memperoleh lebih banyak otonomi dari pemerintah. Namun, ini tidak sepenuhnya menghilangkan praktik patronase politik. Di beberapa negara, terutama yang mengalami rezim otoriter atau semi-otoriter, pemerintah tetap mempertahankan pengaruh kuat di kampus melalui kontrol pendanaan, penunjukan kepemimpinan, dan tekanan politik (Altbach, 2020). Dalam beberapa dekade terakhir, globalisasi dan meningkatnya persaingan di sektor pendidikan tinggi telah mengubah lanskap patronase politik kampus. Banyak universitas kini berada di bawah tekanan untuk menarik dana eksternal, baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Hal ini menciptakan peluang bagi aktor politik dan ekonomi untuk menggunakan patronase sebagai cara untuk memperoleh pengaruh di kampus. Misalnya, di beberapa negara berkembang, universitas yang bergantung pada pendanaan pemerintah sering kali dipaksa untuk mengadopsi kebijakan yang sesuai dengan agenda politik tertentu.
Namun, patronase politik di kampus juga mengalami perubahan signifikan dengan munculnya teknologi digital dan media sosial. Di satu sisi, teknologi ini memungkinkan lebih banyak transparansi dan pengawasan terhadap praktik-praktik patronase. Di sisi lain, teknologi juga dapat digunakan untuk memperkuat jaringan patronase melalui kampanye propaganda, disinformasi, atau manipulasi opini publik. Oleh karena itu, penting untuk memahami evolusi patronase politik di kampus dalam konteks perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang lebih luas. Meskipun ada banyak tantangan yang terkait dengan patronase politik, ada juga upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengurangi pengaruhnya. Beberapa universitas, terutama di negara-negara maju, telah mengadopsi kebijakan transparansi yang lebih ketat, prosedur pengangkatan yang lebih adil, dan mekanisme pengawasan independen untuk memastikan integritas dalam pengambilan keputusan. Namun, di banyak tempat lain, patronase politik tetap menjadi bagian integral dari dinamika kampus yang memerlukan perhatian dan tindakan lebih lanjut.
Patronase politik memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan dan kebebasan akademik di kampus. Situasi patronase politik dapat mengganggu otonomi institusional. Ketika keputusan-keputusan penting di kampus didasarkan pada pertimbangan politik daripada kriteria akademik, hal ini dapat merusak integritas institusi tersebut. Misalnya, pengangkatan pimpinan kampus yang lebih didasarkan pada afiliasi politik daripada kompetensi dapat mengarah pada kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan akademik yang lebih luas (Altbach, 2020). Selain itu patronase politik dapat menciptakan lingkungan akademik yang represif. Dalam beberapa kasus, pihak kampus mungkin merasa terpaksa untuk memberlakukan kebijakan yang membatasi kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, atau kebebasan penelitian. Hal ini sering terjadi di negara-negara di mana pemerintah memiliki pengaruh besar terhadap universitas dan menggunakan kekuasaannya untuk menekan kritik atau perbedaan pendapat (Hillman, 2022). Akibatnya, atmosfer kampus menjadi tidak kondusif bagi pertumbuhan intelektual dan inovasi.
Disisi lain patronase politik dapat memengaruhi alokasi sumber daya kampus. Dana penelitian, beasiswa, dan fasilitas lainnya sering kali dialokasikan berdasarkan hubungan patronase daripada kebutuhan atau prestasi akademik. Ini menciptakan ketidakadilan dan merusak meritokrasi, di mana mahasiswa atau staf yang lebih berhak tidak mendapatkan dukungan yang seharusnya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kualitas akademik dan reputasi universitas (Perkin, 2015). Beberapa kajian juga menyebutkan bahwa patronase politik dapat memperkuat praktik korupsi di kampus. Ketika pengaruh politik mendominasi proses pengambilan keputusan, peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya meningkat. Beberapa studi menunjukkan bahwa universitas yang terlibat dalam praktik patronase politik lebih rentan terhadap kasus-kasus korupsi, seperti suap dalam pengangkatan staf atau penerimaan mahasiswa. Ini tidak hanya merusak reputasi universitas tetapi juga mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Dampak patronase politik juga terlihat dalam rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan mahasiswa. Mahasiswa yang merasa bahwa keputusan di kampus dikendalikan oleh jaringan patronase cenderung kurang termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan kampus atau untuk menyuarakan pendapat mereka. Ini dapat menyebabkan apatisme politik dan sosial, serta menghambat perkembangan keterampilan kepemimpinan dan kewarganegaraan yang penting bagi masa depan mereka.
Mahasiswa dan dosen di berbagai universitas telah merespons praktik patronase politik dengan berbagai cara. Salah satu respon yang paling umum adalah melalui protes dan demonstrasi. Di beberapa negara, mahasiswa telah turun ke jalan untuk menuntut transparansi, keadilan, dan otonomi akademik. Demonstrasi ini sering kali dipicu oleh ketidakpuasan terhadap proses pemilihan pimpinan kampus, pengangkatan staf, atau kebijakan kampus yang dianggap tidak adil. Di sisi lain, banyak dosen dan akademisi yang merespons patronase politik dengan menulis dan menerbitkan kritik akademik terhadap praktik-praktik tersebut. Artikel dan buku yang ditulis oleh akademisi ini sering kali bertujuan untuk mengungkapkan ketidakadilan dan korupsi yang terjadi di kampus, serta untuk mendorong reformasi. Tulisan-tulisan ini juga berfungsi sebagai upaya untuk menjaga integritas akademik dan mempromosikan transparansi.
Selain protes dan publikasi, ada juga upaya untuk memperkuat organisasi mahasiswa dan serikat dosen. Organisasi-organisasi ini berperan penting dalam mengadvokasi hak-hak mahasiswa dan staf, serta dalam menekan pihak kampus untuk lebih transparan dan akuntabel. Beberapa organisasi bahkan berhasil mempengaruhi kebijakan kampus dan memenangkan perubahan signifikan dalam pengangkatan dan prosedur pemilihan. Namun respon ini tidak selalu berhasil. Dalam beberapa kasus, protes mahasiswa dan dosen menghadapi represifitas dari pihak kampus atau pihak berwenang. Ada laporan tentang mahasiswa yang ditangkap, diintimidasi, atau dikeluarkan dari kampus karena keterlibatan mereka dalam kegiatan protes. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan patronase politik di kampus sering kali menghadapi tantangan yang berat.
Di sisi lain, ada juga kelompok mahasiswa dan dosen yang memilih untuk bekerja dalam sistem yang ada dengan cara yang lebih kolaboratif. Mereka mencoba bernegosiasi dengan pihak otoritas kampus dan mengadvokasi perubahan melalui dialog dan mediasi. Pendekatan ini kadang-kadang berhasil, terutama jika pihak kampus terbuka untuk melakukan reformasi, tetapi di tempat lain, pendekatan ini mungkin menghadapi batasan yang signifikan.
Mengatasi patronase politik di kampus memerlukan pendekatan yang komprehensif dan multisegmen. Salah satu cara efektif untuk mengurangi pengaruh patronase adalah dengan memperkuat transparansi dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan kampus yang lebih terbuka tentang penunjukan, alokasi dana, dan keputusan strategis lainnya dapat membantu mengurangi ketidakpercayaan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Penting juga untuk memperkuat mekanisme pengawasan independen di universitas. Lembaga-lembaga seperti dewan pengawas yang terdiri dari anggota yang bukan bagian dari struktur universitas dapat memberikan pengawasan yang lebih objektif terhadap praktik-praktik yang terjadi di kampus. Lembaga ini harus memiliki wewenang untuk menyelidiki dan mengevaluasi setiap dugaan pelanggaran etika atau penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, universitas dapat memperkenalkan sistem meritokrasi yang lebih ketat dalam penunjukan staf dan pemberian beasiswa. Penilaian kinerja yang transparan, berstandar tinggi, dan bebas dari intervensi politik dapat memastikan bahwa hanya individu yang paling kompeten dan berkualitas yang mendapatkan posisi dan sumber daya yang penting. Ini juga akan membantu meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian di kampus. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan mempromosikan kebijakan yang melindungi kebebasan akademik dan hak asasi manusia di kampus. Universitas harus memastikan bahwa semua anggotanya, baik mahasiswa maupun staf, memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan pembalasan. Ini termasuk mengadopsi kode etik yang kuat dan menyediakan mekanisme pengaduan yang aman dan rahasia.
Kategori
- ADAT
- ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
- BK ARTISTIK
- BK MULTIKULTURAL
- BOOK CHAPTER
- BUDAYA
- CERITA FIKSI
- CINTA
- DEFENISI KONSELOR
- DOSEN BK UNG
- HKI/PATEN
- HMJ BK
- JURNAL PUBLIKASI
- KAMPUS
- KARAKTER
- KARYA
- KATA BANG JUM
- KEGIATAN MAHASISWA
- KENAKALAN REMAJA
- KETERAMPILAN KONSELING
- KOMUNIKASI KONSELING
- KONSELING LINTAS BUDAYA
- KONSELING PERGURUAN TINGGI
- KONSELOR SEBAYA
- KULIAH
- LABORATORIUM
- MAHASISWA
- OPINI
- ORIENTASI PERKULIAHAN
- OUTBOUND
- PENDEKATAN KONSELING
- PENGEMBANGAN DIRI
- PRAKTIKUM KULIAH
- PROSIDING
- PUISI
- PUSPENDIR
- REPOST BERITA ONLINE
- SEKOLAH
- SISWA
- TEORI DAN TEKNIK KONSELING
- WAWASAN BUDAYA
Arsip
- December 2024 (18)
- October 2024 (2)
- September 2024 (15)
- August 2024 (5)
- July 2024 (28)
- June 2024 (28)
- May 2024 (8)
- April 2024 (2)
- March 2024 (2)
- February 2024 (15)
- December 2023 (13)
- November 2023 (37)
- July 2023 (6)
- June 2023 (14)
- January 2023 (4)
- September 2022 (2)
- August 2022 (4)
- July 2022 (4)
- February 2022 (3)
- December 2021 (1)
- November 2021 (1)
- October 2021 (1)
- June 2021 (1)
- February 2021 (1)
- October 2020 (4)
- September 2020 (4)
- March 2020 (7)
- January 2020 (4)
Blogroll
- AKUN ACADEMIA EDU JUMADI
- AKUN GARUDA JUMADI
- AKUN ONESEARCH JUMADI
- AKUN ORCID JUMADI
- AKUN PABLON JUMADI
- AKUN PDDIKTI JUMADI
- AKUN RESEARCH GATE JUMADI
- AKUN SCHOLER JUMADI
- AKUN SINTA DIKTI JUMADI
- AKUN YOUTUBE JUMADI
- BERITA BEASISWA KEMDIKBUD
- BERITA KEMDIKBUD
- BLOG DOSEN JUMADI
- BLOG MATERI KONSELING JUMADI
- BLOG SAJAK JUMADI
- BOOK LIBRARY GENESIS - KUMPULAN REFERENSI
- BOOK PDF DRIVE - KUMPULAN BUKU
- FIP UNG BUDAYA KERJA CHAMPION
- FIP UNG WEBSITE
- FIP YOUTUBE PEDAGOGIKA TV
- JURNAL EBSCO HOST
- JURNAL JGCJ BK UNG
- JURNAL OJS FIP UNG
- KBBI
- LABORATORIUM
- LEMBAGA LLDIKTI WILAYAH 6
- LEMBAGA PDDikti BK UNG
- LEMBAGA PENELITIAN UNG
- LEMBAGA PENGABDIAN UNG
- LEMBAGA PERPUSTAKAAN NASIONAL
- LEMBAGA PUSAT LAYANAN TES (PLTI)
- ORGANISASI PROFESI ABKIN
- ORGANISASI PROFESI PGRI
- UNG KODE ETIK PNS - PERATURAN REKTOR
- UNG PERPUSTAKAAN
- UNG PLANET
- UNG SAHABAT
- UNG SIAT
- UNG SISTER
- WEBSITE BK UNG