KREATIVITAS KONSELOR

17 March 2020 19:44:22 Dibaca : 84265

 Oleh; Jumadi M. Salam Tuasikal, M.Pd

Dalam pelaksanaan proses konseling, adakalanya seorang konselor mengalami kesulitan disetiap kali melakukan wawancara dan pengambilan keputusan terhadap konselinya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan keterampilan baik dalam berbicara, mewawancarai konselinya, bahkan pengambilan tindakan dan keputusan. Dewasa ini, kekuatan utama dalam melakukan komunikasi atau wawancara pada proses konseling tergantung pada kreativitas dan ketelitian konselor. Usaha untuk terus-menerus belajar mengenai diri dan orang lain harus menjadi tuntutan seorang konselor. Menurut Willis (2005:134),”Konselor yang memiliki pengetahuan yang luas tentang permasalahan yang dihadapi konseli, akan lebih mudah menanganinya ketika proses konseling berlangsung.” Untuk dapat mencapai pengetahuan terhadap permasalahan konseli, konselor harus mengetahui ilmu perilaku, filsafat, dan pengetahuan tentang lingkungan sekitar konseli.

Di samping itu, pihak konseli harus memiliki rasa terlibat, terbuka, dan mampu mengambil keputusan pula. Sehingga menurut Sofyan (2004:134) “Hal-hal penting yang mampu mendukung tercapainya proses konseling yang baik adalah ketika konselor memiliki kreativitas dan generativitas tinggi dalam wawancara dan merespon konseli.” Selain itu, menurut McLeod (2010:537),”mampu mebentuk hubungan produktif dengan konseli, menyusun laporan atau kontak, merupakan hal yang dotekankan oleh semua pendekatan konseling.”

Menurut Yusuf (2014:246),”Kreativitas adalah kemampuan utnuk mencipta suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah.” Dalam hal ini, kreativitas adalah kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru dalam kondisi yang lama, bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta. Saat proses konseling, tugas konselor adalah membantu konseli dalam menciptakan altermatif-alternatif baru untuk bertindak. Diharapkan akhir dari pelaksanaan konseling adalah terciptanya suasana nyaman baik fisik, jiwa, dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanto & Farid (2015:28) yang menyatakan “Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, dan sosialnya.” Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan, dimana perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup warga masyarakat.

Tugas konselor dalam hal ini adalah membantu konseli menciptakan alternative-alternatif baru untuk bertindak. Tentang kreativitas konselor, beberapa teori konseling membahasanya dalam Psikodinamika dan freud, teori behavioral tentang kreativitas, dan teori psikologi eksistensial-humanistik. Menurut Freud (dalam Prawira 2012:186) menjelaskan “bahwa Freud percaya bahwa mind (pikiran) manusia terdiri atas tiga lapisan yakin kesadaran, ambang sadar, dan bawah sadar.” Dari penjelasan-penjelasan tersebut, walaupun seseorang menerima pandangan-pandangan ketidaksadaran yang kreatif dari Freud, konsep-konsep sistematik tentang behaviorisme dan teori pertumbuhan alamiah dari Rogers, suatu hal yang amat penting bahwa semua teori-teori konseling memberikan perhatiannya pada proses kreativitas.

A. Posisi Kreativitas dalam Proses Konseling

Di dalam proses konseling, pemikiran kreatif adalah amat penting baik terhadap konselor maupun konseli. Seperti yang telah dibahasiakan sebelumnya, mengenai kreativitas konseling juga terdapat pandanagan dari Freud tentang Psikodinamika. Menurut McLeod (2010:89), “Konseling psikodinamika memberikan perhatian besar terhadap kemampuan konselor untuk menggunakan apa yang terjadi dalam hubungan antara konseli dan konselor yang bersifat segera serta terbuka, utnuk mengeksplorasi tipe perasaan dan dilemma hubungan yang mengakibatkan kesulitan bagi konseli dalam kehidupannya sehari-hari.” Sehingga di lain sisi konselor harus pertama mendengarkan dengan aktif terhadap konseli dan memperhatikan kata-katanya dengan cermat dan tepat yang disampaikan konseli dengan sadar.

Berdasarkan informasi yang disampaikan konseli, konselor kemudian memunculkan defenisi-defenisi alternatif dari problem yang dikemukakan dan memberikan alternatif-alternatif solusi, membantu memutuskan sesuatu cara tindakan konseli dan memunculkan alternatif interpretasi dari hasil yang mungkin terhadap perilaku yang diharapkan. Yang kritis adalah mengembangkan insigts (Pemahaman-pemahaman) baru konseli yaitu dengan berbagai skill, kualitas pribadi konselor, dimensi-dimensi wawasan, dan teori-teori konseling.” Hal ini mungkin bisa dikembangkan pertama sekali melalui upaya yang disadari (Counscious efforts). Ketika diserap dan dipraktikkan, pengetahuan ini mungkin masuk ke preconscious dan inconscious dan dipanggil kembali jika dibutuhkan dalam sesi-sesi konseling.

Menurut Willis (2005:136) “Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka konselor yang efektif bukan sama sekali karena sihir atau sulap akan tetapi adalah karena hasil kerja yang bertahun-tahun melalui studi sistematik dalam profesi konseling digabungkan pengalaman-pengalaman melalui observasi dan mendengarkan beragam-ragam konseli didalam setting kantor (formal) dan jalanan (Informal) –office and street setting.” Selain itu, menurut McLeod (2010:536-537),”posisi kreativitas konselor sangat ditentukan oleh keterampilan interpersonalnya, keyakinan dan sikap personal, kemampuan konseptual, ketegaran personal, menguasai teknik, kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial.” Dari pendapat lain, yakni menurut Lubis (2011:25),” seorang konselor yang berperan sebagai”pembantu” bagi klien memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin kefektifannya dalam memberikan penanganan.

Konseli datang dengan permasalahan yang belum mampu ia pecahkan, bahkan kadang-kadang masih samar-samar tapi menekan. Konseli harus dapat mengemukakan ide-ide dan fakta-fakta secara sadar. Tapi ia sering tak dapat me-reorganisasinya menjadi suatu kesatuan yang dapat dimanfaatkan. Tugas konselor adalah membantu konseli menguji hal-hal yang disadari atau tak disadari dan membantu konseli untuk menampilkan respon-respon yang lebih kreatif untuk kehidupannya. Memunculkan ide-ide dan respom-respon baru tergantung kepada kreatifitas konselor yang kaya dengan alternatif-alternatif.

B. Mengambil keputusan

Konseli biasanya datang meminta bantuan karena mereka mempunyai hal-hal yang harus diputuskannya karena adanya konflik. Di samping itu, mereka datang karena mengalami hambatan dalam perilaku, pemikiran, dan perasaan. Juga berkonsultasi untuk menemukan upaya-upaya terbaik dalam mengembangkan dirinya agar potensinya teraktualisasikan dan tidak mubasir. Menurut Nurihsan (2006:12), “dalam konseling terdapat hubungan yang akrab dan dinamis. Individu merasa ditetima dan dimengerti oleh konselor. Dalam hubungan tersebut, konselor menerima individu secara pribadi dan tidak memberikan penilaian. Individu (konseli), merasakan adan orang yang mengerti masalah pribadinya, mau mendengarkan keluhan dan curahan perasaannya.

Konseli sering mempunyai persoalan-persoalan yang tak terselesaikan (unfinished business) dan kebutuhan-kebutuhan untuk meluaskan perspektif (cakrwala), meninggalkan pola-pola perilaku lama, mengembangkan perilaku baru, dan memilih alternatif-alternatif yang terbaik.Menurut Corey (dalam Lesama 2008:202-203) menyatakan,”langkah-langkah yang dapat membantu para konselor untuk membuat keputusan yang etis terdiri atas identifikasi masalah atau dilemma, identifikasi isu0isu potensial, lohatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai penuntun umum, pahamilah hukum atau aturan yang berlaku, carilah konslutasi lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai perspektif tentang dilemma tersebut, lakukanlah brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat dijalankan, jelaskanlah konsekuensi dari berbagai macam tindakan dan refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk konseli anda, dan tentukan langkah yang kemungkinannya paling baik.”

Menurut Willis (2005:137),”Tugas konselor adalah berupaya untuk membangkitkan alternatif-alternatif, membantu konseli menghilangkan pola-pola lama yang tak baik memudahkan terjadinya proses pengambilan keputusan, dan menemukan solusi-solusi yang mengarah untuk memecahkan masalah.” Terutama pada tahap awal konseling dapat memberi keuntungan untuk mengambil keputusan, karena di tahap ini konselor bersama konseli dapat mendefenisikan masalah konseli.

Secara sistematik, dari tahap awal itu dikembangkan ke tahap berikut (pertengahan dan akhir) yaitu : (1) memulai dengan mendefenisikan masalah; (2) meneruskan dengan membangkitkan altenatif-alternatif dari defenisi masalah; (3) menyimpulkan dan menyeleksi suatu alternatif dalam bentuk tindakan konseli (action) dan implementasi.

Pengalaman-pengalaman yang disekolah menunjukkan kebanyakan konselor-konselor (yang tidak efektif) sering gagal untuk mendefenisikan suatu masalah yang akan dipecahkan dalam interview konseling. Mereka seolah-olah bekerja tanpa tujuan dan hanya dari topik ke topik, dan menemukan banyak hal tapi sedikit sekali yang dapat terselesaikan.Konselor yang tidak efektif sering puas jika konselinya mempunya suatu pilihan baru atau menerima fakta bahwa dia sekarang sudah OK. Konselor yang tak efektif sering tak pernah sampai kepada tahap akhir (tahap tindakan) konseling yang berisi keputusan atau perencanaan yang efektif.

Konselor-konselor yang efektif tidak demikian. Mereka mendefenisikan isu dan masalah dengan segera, serta memegangnnya sampai akhir tuntasnya masalah tersebut. yaitu adanya suatu keputusan konseli berupa rencana konkrit yang mungkin dilaksanakan konseli dalam kehidupannya. Konselor yang efektif mengemukakan paling sedikit tiga alternatif pilihan bagi konseli manakala konseli tidak punya alternatif pemecahan.

Tahapan dalam proses konseling dalam perkembangannya terdapat beberapa pandangan. Seperti apa yang telah di sampaikan oleh Brammer, Abrego & shostrom (dalam Lubis 2010:83), “tahapan konseling terdiri atas membangun hubungan, identifikasi dan penilaian masalah, memfasilitasi perubahan konseling, dan evaluasi/terminasi. Dari pandangan lain yakni menurut Willis (2004:138), ”Dalam proses konseling, ada tiga tahapan konseling yakni; (1) tahap mendefenisikan masalah (tahap awal); (2) tahap atau fase bekerja dengan defenisi masalah (tahap pertengahan); (3) tahap keputusan untuk berbuat (action) disebut juga tahap akhir.”

1. Tahap pertama (Awal): Mendefenisikan masalah

Konselor yang tidak efektif sering gagal untuk mengidentifikasi masalah pokok konseli. Paling bisa dia hanya mampu menemukan defenisi tunggal dari kepedulian konseli. Artinya, kemungkinan besar dia kehilangan butir-butir kritis (Critical points) pada tahap awal konseling tersebut. isu-isu utama konseling yang ditemukan konselor adalah untuk membuat komitmen dengan konseli tentang pokok-pokok yang akan diperbincangkan. Konseli sering mengemukakan masalahnya hanya diperlukan saja (at a surface level). Konselor dan konseli bersama membangun alternatif masalah dan membuat defenisi yang dimufakati bersama sejak awal. Keputusan untuk melahirkan defenisi masalah sudah harus terjadi pada fase pertama (awal).

Pengambilan keputusan di tahap awal mengimplikasikan tiga fase aktivitas yakni; (1) mendefenisikan masalah; (2) mempertimbangkan alternatif defenisi masalah; (3) komitmen konselor-konseli tentang defenisi yang terbaik dari sekian alternatif.

Mari kita perhatikan dialog konseling tahap awal dibawah ini.

Bagaimana kemungkinan konselor menangkan isu-isu utama? Isu apa yang hendak ditangani terlebih dahulu jika saudara seorang konselor? Apakah hipotesa-hipotesa konselor dalam menangani masalah itu terutama latar belakangnya? Apakah masalah itu akan saudara garap dari sisi konseli atau lingkungan? Defenisikan masalah konseli dengan pertanyaan singkat dari sudut pandanganan anda.

Ko: “Yeni, saya dengar tadi selingtingan bahwa kamu ingin membicarakan sesuatu mengenai pekerjaan.”Ki: “Ya pak, pekerjaan saya banyak hambatan.”Ko: “Banyak hambatan? Bagaimana itu?”Ki: “Coba bapak pikir, boss saya yang telah anak empat mulai menggoda saya sehingga membuat saya puyeng. Tadinya saya bekerja dibagian pemasaran. Saya senang dibagian itu karena sesuai dengan minat. Dan saya ingin betul-betul mengembangkan diri di situ. Tiba-tiba, saya dipindahkan menjadi sekretaris boss. Dan si Tuti dialihtugaskan kebagian lain. Kasihan teman itu. saya tidak berminat menjadi sekretaris boss. Terutama karena sifat boss yang doyan cewek cantik. Namun saya perlu uang untuk biaya hidup keluarga karena ayah saya sudah meninggal dan saya adalah anak tertua di keluarga. Jadi saya amat bingung apakah saya harus bertahan disana atau pindah saja demi keamanan jiwa saya.’’

Biasanya godaan yang muncul pada diri konselor adalah menerima saja masalah sebagaimana yang diberi oleh konseli, dan kemudian mengangkatnya segera untuk mencarikan solusi. Definisi dan alternatif pemecahan masalah oleh konseli besar kemungkinan merupakan definisi yang terbatas tentang kejadian yang mengenai dirinya.Dari dialog di atas misalnya dapat dilihat bahwa jika konselor hanya menangkap isu utama adalah hambatan dalam pekerjaan yakni faktor lingkungan (luar diri konseli), lalu mengupayakan agar hambatan luar saja yang dibenahi, munkin konselor ini tidak akan efektif. Padahal masalah internal (konflik) dalam diri konseli adalah amat penting untuk diungkap.

Konflik yang terjadi dalam diri Yeni adalah, antara kebutuhan uang dengan menjaga keselamatan diri dari kemungkinan pelecehan seksual oleh boss. Dan antara pekerjaan sebagai sekretaris relatif hal baru,dibandingkan bidang pemasaran yang sudah dikuasainya. Sebaiknya konselor mengatakan kepada Yeni sebagai berikut;

KO: “Yeni, dari ungkapan perasaanmu tadi saya melihat bahwa kamu sedang mengalami konflik batin yang cukup berat dalam pekerjaan. Pertama, kamu ingin punya uang untuk membiayai keluarga. Akan tetapi disamping itu berdasarkan isu-isu selama ini, jabatan sekretaris boss adalah sumber pelecehan seksual oleh boss, sehingga rasanya kamu tidak tahan memegang jabatan barumu tersebut. kedua, kamu sudah mulai ahli dengan pekerjaan pemasaran, dan dengan jabatan sekretaris tentu kamu akan mengulangi karirmu sejak awal lagi.”

Keputusan yang diambil konselor untuk memperluas dan memperjelas definisi masalah konseli tadi, adalah terobosan yang amat penting dan merupakan aspek mendasar bagi seorang konselor yang efektif. Walaupun informasi dari Yeni tidak begitu luas, konselor harus dapat menangkap isu sentral dari pesan-pesan Yeni tadi.

Masalah Yeni adalah konflik karena jabatan baru tidak sesuai dengan keinginannya dan kekhawatiran akan mengalami pelecehan seksual oleh bosnya. Dengan sedikit informasi dari Yeni, konselor harus mampu membuat beberapa kemungkinan definisi masalah. Jika Yeni dapat menerima definisi-defenisi masalah itu, maka proses konseling dapat dilanjutkan ke tahap II, atau tahap pertengahan disebut juga tahap kerja (work phase)

KO: “Yeni, dari pembicaraan sekitar 20 menit, saya menangkap bahwa pertama. Anda sedang mengalami konflik karena jabatan baru (sekretaris) tidak sesuai dengan keinginan anda atas dasar jabatan lama (pemasaran) rasanya makin anda kuasai. Kedua, adanya kecemasan anda dengan kedudukan sebagai sekretaris bos, yaitu tentang kemungkian terjadinya pelecehan seksual terhadap diri anda. Ketiga, anda berpikir bahwa kebutuhan biaya yang besar untuk adik-adik anda membuat anda terpaksa harus bekerja, namun menghadapi risiko dengan kemungkinan pelecehan.”Yeni: “Ya pak, saya sependapat dengan rumusan-rumusan bapak tadi, karena itulah yang amat saya rasakan.”

2. Tahap II (Pertengahan): Tahap kerjaTugas fase ini adalah untuk memeriksa kembali definisi masalah dan mengembangkan suatu solusi-solusi alternatif. Proses ini terutama memasukkan pengujian masalah sehingga menjadi fakta-fakta spesifik tentang situasi felling, thinking, dan experiences konseli yang terjadi saat ini. Apa yang terjadi pada fase kerja ini banyak tergantung kepada konselornya dengan latar belakang teori konseling yang dia kuasai.

Konselor psikodinamika akan cenderung kurang tertarik pada data-data tetapi akan meneliti data tentang proses ketidaksadaran konseli. Sebaliknya konselor trait and factor akan cenderung tertarik pada pengungkapan sebanyak mungkin data atau fakta. Konselor humanistik menekankan pada kondisi self yang realistik memahami kelemahan dan potensi diri dalam situasi lingkuangan saat ini, percaya kualitas self yang mampu mengatasi.Pandangan berdasarkan satu teori adalah kurang bijaksana, karena itu pendekatan ekletisistik (meramu semua unsur-unsur baik ditiap teori) adalah lebih objektif mengingat amat beragamnya konseli dan problemnya (potensi dan masalah). Pendekatan ekletisistik cenderung menghargai semua pendekatan, namun memiliki bagian-bagian penting dan sesuai dengan masalah konseli yang dihadapi, karena itu bisa jadi pendekatan humanistik digandengkan dengan trait and factor atau psikodinamika.

3. Tahap III (Akhir): Tahap Penentuan Keputusan untuk Bertindak

Pada tahap yang ketiga ini, akan dibahas mengenai hal-hal yang dilakukan pada proses konseling yakni penentuan keputusan untuk bertibdak. Dimana, tahap ini berhubungan dengan:

(a) Mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah.(b) Menguji solusi-solusi itu pada kenyataan, keinginan dan harapan konseli.(c) Memutuskan mana solusi yang paling tepat dengan konseli.(d) Konseli menyusun rencana atas solusi yang telah dia ambil tadi.Jika rencananya sudah meyakinkan konseli, dan berdasarkan pada kenyataan potensi diri dan lingkungan konseli, maka sesi konseling sudah dapat diakhiri.

C. Efektivitas Konselor dalam Wawancara Konseling

Menurut Nurihsan (2005:54),” Dalam konseling diharapkan konseli dapat mengubah sikap, keputusan diri sendiri sehingga ia dapat lebih baik menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memberikan kesejahteraan pada diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.” Pemilihan dan penyesuaian yang tepat dapat memberikan perkembangan yang optimal kepada individu dan dengan perkembangan ini individu dapat lebih baik menyimbngkan dirinya atau ambil bagian yang lebih baik dalm lingungannya. Konseling bertujuan membantu individu untuk memecahkan masalah-masalah pribadi, baik sosial maupun emosional yang dialami saat sekarang dan yang akan datang. Oleh karenanya, seorang konselor dituntut untuk dapat melakukan wawancara atau komunikasi yang efektif.

Proses konseling yang intensional(mendalam) dan efektif akan membantu konseli untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling berjalan berjalan tidak efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat dipastikan akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak konseli. Oleh karena itu, seorang konselor harus memiliki karakteristik yang baik seperti yang tekah disampaikan oleh Hikmawati (2016:59),”seorang konselor harus memiliki pengetahuan mengenai diri sendiri, memiliki kompetensi, kesehatan psikologis yang baik, dapat dipercaya, kejujuran, kekuatan dan daya, kehangatan, pedengar yang baik, kesabaran, kepekaan, kebebasan, dan kesadaran holistik atau utuh.”Menurut hasil penelitian Hadley dan Stupp (dalam Willis 2004:144) faktor-faktor penyebab yang bisa merusak konseli adalah:

(1) Konselor terlalu dalam menggali konseli.Hal ini sampai melampaui batas toleransi. Konselor terlalu dalam menggali diri konseli, sehingga cenderung terburu-buru dan menekan pribadi konseli. Akibatnya konselor kehilangan kunci atau isu sentral, sebagai contoh, konselor sering terlalu asik menggali pribadi konseli yaitu tentang usia, situasi kehidupan pribadi seks, faktor ras, lingkungan budaya dan sebagainya. Disamping itu konselor terjebak diskusi dengan konseli mengenai latar belakang kesulitan konseli, menjelaskan nilai-nilai fungsional konseling, menjelajahi tingkat motivasi, dan juga tentang kekuatan ego konseli.

(2) Konselor terlalu hati-hati dalam menggali konseliHal ini menyebabkan konselor gagal membuat perubahan diri konseli. Karena inti masalah atau isu sentral tak pernah tersinggung oleh konselor.Kehati-hatian konselor mungkin karena dia kurang penguasaan teknik atau lemah dalam memahami etika konseling. Munkin pula kepribadian konselor kurang mantap atau cenderung tidak stabil, jadi konseli tidak mampu menggali.

(3) Aplikasi teknikSeorang konselor terlampau percaya diri karena merasa mengetahui banyak mengenai apa saja tentang teknik konseling. Padahal dia sebenarnya kurang terampil menggunakan teknik-teknik konseling. Juga kekurangan pengetahuan atau teori konselingdan tentang konseli. Ada lagi seorang konselor munkin mampu menggunakan teknik yang baik namun kurang tepat dalam menggunakannya terhadap konseli.

(4) Hubungan konselingDi dalam hubungan konseling mungkin saja konselor terlalu banyak atau terlalu sedikit rapport. Tambahan lagi terjadi tranferensi dan countertransferensi dimana terjadi suasana emosional pribadi yang kuat antara konselor dan konseli. Konseli mungkin merasakan konselor sebagai pacarnya atau sebaliknya, atau konseli merasakan konselor sebagai ayahnya atau ibunya. Atau sebaliknya terjadi countertransferensi yaitu konseli diserang habis-habisan oleh konselor. Terjadinya hal-hal seperti itu disebabkan:a) Kurangnya respek atau penghargaan terhadap konselib) Konselor gagal mengarahkan konseli untuk memilih pengalamanc) Konselor terlalu bersemangat menyerang self-defense konselid) Konselor kurang menghargai keberhasilan konselie) Egoistik konselor terlalu besar (kesombongan ilmiah-scientific arrogance)

(5) Masalah komunikasiMasalah-masalah yang berhubungan dengan komunikasi adalah: (a) ketidakmampuan konselor untuk berkomunikasi dengan jelas dan tidak mampu menangkap apa yang dikatakan konseli; (b) konselor gagal mengenali generalisasi dan distorsi(penyimpangan).

(6) FokusDalam hal fokus pada saat proses konseling juga terdapat masalah-masalah yaitu:a) Konselor gagal membuat fokus masalah atau mengembangkan isu sentral.b) Kadang-kadang fokus tidak ada atau kebanyakan membuat fokus yang sempit dan kaku dengan topik tunggal.c) Terdapat fokus yang eksklusif tentang konseli akan tetapi mengabaikan konteks lingkungan dan sosial budaya.d) Hasil wawancara konselor dengan konseli merupakan hasil kekurangan pengertian dan kelemahan struktur konseling.

(7) Kelemahan konselora) Konselor terikat pada teori sendiri sehingga gagal melihat pendekatan lain yang mungkin lebih efektif.b) Kesalahan proses konseling berasal dari perilaku konselor.c) Penafsiran konselor tidak correct (tidak cermat) sehingga tidak menjangkau kebutuhan dan sensivitas konseli.d) Konselor tidak mempunyai beragam alternatif, sehingga tidak mampu merespon perilaku konseli yang beragam.

Menurut Lubis (2011:81),”Apapun masalah yang terjadi dalam proses konseling, sudah menjadi kewajiban bagi konselor untuk segera mungkin mengambil tindakan yang dapat meminimalisir permasalahn tersebut.” Konselor yang efektif mempunyai kemampuan melihat bagaimana keadaan konseli saat ini, dan dapat memilih intervensi yang sesuai (strategi dan teknik). Untuk menunjang kemampuan dan keterampilan konselor perlu kepribadian yang empati. Empati merupakan kunci menjadikan hubungan konseling berkualitas.

Empati diartikan oleh Carl Rogers (dalam Willis 2004:145) sebagai “kemampuan merasakan dunia pribadi konseli, merasakan apa yang dirasakannya tanpa kehilangan kesadaran diri.” Empati mempunyai subkomponen yaitu; (1) positive regard (penghargaan positif); (2) respect (rasa hormat); (3) warmth (kehangatan); (4) concreteness (kekonkritan); (5) immediacy (kesiapan, kesegaran); (6) confrontation (konfrontasi); (7) congruence/ genuineness (keaslian).

Zimmer (dalam Willis 2004:145)” menjelaskan bahwa konselor yang menggunakan empati cenderung menggunakan attending dimana komponen-komponennya termasuk didalam empati (kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan).” Empati dekat dengan perilaku attending, paraphrasing, refleksi feeling. Bahkan komponen-komponen attending amat besar perannya dalam empati.

Dengan perkataan lain bahwa jika ia ingin memahami empati secara mendasar haruslah melalui perilaku attending. Sebab dengan perilaku attending maka konselor akan mudah melakukan empati. Dengan adanya empati dan attending maka konseli akan terlibat dan terbuka dalam hubungan konseling.

Bagaimana kata Rogers konselor membatu konseli dengan sikap empati? Ikutilah hal-hal berikut ini.(1) Dalam hubungan konseling, konselor merasakan hubungan yang sejajar dan terintegrasi dengan klien.(2) Konselor bersikap unconditional positive regard terhadap konseli(3) Komunikasi yang empati dengan konseli.

Berdasarkan empati yang dikemukakan Rogers, Egan (dalam Willis 2004:149) “mengembangkan dua jenis empati yakni: (1) empati primer (primary emphaty-PE), yaitu suatu perasaan bagaimana masuk ke dunia dalam konseli merasakan apa yang dirasakannya,dan dengan perilaku attending; (2) empati tingkat tinggi yang lebih akurat (advanced accurate emphty-AAE) yatu konselor memberi empati yang lebih mendalam dan mengena sehingga pengaruhnya lebih terasa mendalam pada diri konseli, dan pada gilirannya lebih membangkitkan suasana emosional konseli.”

Menurut Lesmana (2008:62),”memahami orag dari sudut pandang kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melalukan empati harus orang yang kuat, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain.” Sehinganya empati dilaksanakan konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi (influencing skill) dengan komponen-komponennya, keterbukaan diri (self-disclosure), pengarahan (direvtive), dan penafsiaran (interprelation). Dengan adanya komponen-komponen itu maka empati akan menjadi mendalam dan akurat serta nilainya tinggi sehingga serta dapat mengubah perilaku konseli.

Berikut ini sebuah contoh dialog konselor dengan konseliKI: “Yahh…, keadaan saat ini telah membuat saya sangat gugup dan tegang. Setiap kami berdua pergi keluar, selalu saja pacar saya itu menemui wanita lain. Hal itu menimbulkan persaan tidak aman pada diri saya. Kadang-kadang saya mau memukulnya. Kami sering bertengkar. Akan tetapi dia selalu menolak tuduhan saya. Suatu malam di sebuah klub malam saat kami minum berdua, dia menemui seorang wanita, sampai saya putuskan pulang sendirian.”KO (PE): “Anda merasa tidak aman ketika melihat dia. Saya merasakan perasaan anda. Akan tetapu anda mempunyai kekuatan untuk bangkit dan pergi meninggalkannya.”KO (AAE): ”Saya merasakan perasaan cemas yang anda alami. Saya ikut terluka dengan peristiwa tersebut. namun saya terkesan dengan kekuatan anda untuk bangkit meninggalkan dia.”

Dalam PE yang ditampilkan di atas adalah kombinasi dengan menangkap inti permasalahan dan membahasakan dengan bahasa konselor sendiri (paraphrasing), refleksi perasaan (felling), dan interpretasi (interpretation) yang sesuai.Penjelasan:(1) Konseli terluka tapi masih bisa bangkit menangkap inti permasalahan (paraphrasing);(2) Memahami perasaan konseli yang terluka, cemas, akan tetapi memiliki kekuatan mental, direfleksikan kepada konseli refleksi perasaan (reflection of feeling);(3) Mengatakan bahwa konseli punya kekuatan untuk bertindak dan pergi meninggalkan pacarnya yang menyeleweng –interpretasi konselor (interpreatation).Dalam empati PE dan AAE konselor akan mampu menggali keterbukaan diri konseli (self-disclosure). Hal ini membuat perasaan konseli terbuka lalu menyatakan perasaan dengan bebas dan terus bergerak kearah pemahaman dan penyadaran diri. Akibatnya konseli menjadi rasional dalam menghadapi masalahnya sehingga melahirkan rencana-rencana yang realistis untuk mengatasinya.

Carkhuff (dalam willis 2004:147) mengemukakan lima tingkat empat yakni “Level 1-3 adalah empati untuk menyalurkan perasaan-perasaan negatif atau detruktif konseli. Level 4,5 adalah empati tambahan (additive empathy) yang bersifat akurat, mendalam, dan self-disclosure yang lebih kuat.”

Secara ideal, empati merupakan suatu arus atau aliran antara konselor dan konseli, dan kebanyakan merupakan proses bantuan yang diberikan seperti berikut ini.

(1) Mendengar, memperhatikan dengan penuh hati-hati, teliti terhadap konseli dengan mengunakan keterampilan-keterampilan attending dalam berkomunikasi, sehingga konseli merasakan bahwa dia didengar dan diperhatikan.Pada level ini konselor menggunakan empati primer (Primary empathy-PE) dimana respon konselor masih kasar dan belum begitu tajam.

(2) Mendengarkan dengan hati-hati terhadap konseli lalu menilai ketepatan komunikasi konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi (influencing skill) dengan teknik-teknik mengarahkan secara halus (directing), self disclosure, dan interpretasi.Jika menggunakan keterampilan-keterampilan tersebut, sehingga dapat menyentu dunia dalam konseli maka empati konselor meninkat menjadi advance accurate empathy (AAE) yaitu empati tingkat tinggi yang akurat. Menggunakan AAE adalah jika emosi konseli begitu mendalam, sehingga membutuhkan empati yang tajam dan mendalam.

(3) Konselor mengecek teknik yang digunakan dengan bertanya seperti “Apakah saya cukup akurat dalam mendengarkan (keluhan) anda?” atau “Bagaimana kedengarannya oleh anda apakah saya benar?”Terjadilah hubungan konselor-konseli yang timbal balik, dan hubungan itu efektif yakni membuat konseli lebih self-disclosed, maka empati konselor makin akurat dan bergerak maju dengan lancer.Empati amat dekat dengan dimensi-dimensi konselor lainnya yaitu menghargai dengan positif (positif regard), menghormati (respect), hangat (warmth), ketelitian (concreteness), konfrontasi (confrontation), kesegaran (immediacy), dan genuine atau congruence (jujur, asli).

Masing-masing dimensi akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Positive Regard

Dalam upaya membantu konseli supaya dia berubah, seorang konselor harus percaya bahwa konseli itu dapat berubah. Konseli mempunyai aspek-aspek positif untuk menunjang perubahan itu. Agar konseli berubah, seorang konselor harus memiliki sikap positive regard yaitu perhatian terseleksi terhadap aspek-aspek positif dari pada ucapan dan perilaku konseli.Konselor-konselor yang efektif berasumsi sama yakni bahwa konseli dapat dibantu dengan modal potensi konseli. Jika konselor tak percaya dengan asumsi ini maka konseli akan merasakannya, dan selanjutnya dia tak dapat dibantu lagi. Rogers percaya bahwa manusia harus dihargai, manusia berpotensi untuk maju, dia positif dan dapat berkembang.Positive regard menuntut konselor agar menemukan asset dan kekuatan konseli dan terus terang memberikan penghargaan terhadap keunggulan konseli. Keunggulan adalah dunia konseli, karena itu harus dipahami konselor.

2. Respect and Warmth (Hormat dan Hangat)

Konselor yang pura-pura hormat dan hangat yaitu dipertemukan saja (facade) mungkin merupakan ungkapan bahwa sadarnya. Keadaan ini tak disukai konseli. Konselor efektif (intensional) selalu hangat, senang dan respek terhadap orang lain. Konselor yang dingin dan kurang respek mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) terlalu formal; (2) berjarak; (3) hormat dibuat-buat; (4) kaku; (5) merasa tinggi dan; (6) menyombongkan diri; (7) berlebih-lebihan dalam mengungkap soal seks dan ras, dan; (8) kurang rasa hormat.Ciri-ciri tersebut tidak mungkin ada pada konselor professional, tapi bisa saja terjadi karena mereka adalah manusia biasa. Sebagai contoh, seorang konselor mengeluarkan pernyataan negatif tentang konseli apakah secara terang-terangan ataupun secara halus.Ada beberapa cara-cara yang positif tentang bagaimana mengkomunikasikan rasa hormat;(1) Dengan cara memperkaya (enhancing), misalnya(a) “Saudara telah mengemukakan dengan cara yang sangat baik(b) “Pemahaman yang tepat!”(2) mengahargai walaupun beda pendapat (apresiasi), misalnya(a) “Saya belum begitu yakin dengan ide anda, tetapi sebagai suatu pendapat saya sangat menghargainya.”(b) “Saya kurang setuju dengan cara anda, tetapi kalau memang demikian maunya saya akan mendukungnya.”Tampaknya rasa hormat dan menghargai dengan positif sangat berdekatan. Jika anda mendemonstrasikan bahwa anda respek terhadap konseli, yang anda lakukan adalah apakah anda mendorong atau mengembangkan potensi konseli dengan ucapan-ucapan (verbal) anda, namun harus pula didukung oleh bahasa badan anda.Zimmer dan Anderson (1968) menyebutkan istilah verbal support sebagai ungkapan verbal untuk mendongkrak kecerdasan dan potensi konseli dengan cara empati yang tinggi. Respek atau rasa hormat, penghargaan positif, dan kehangatan, bisa berkembang adanya dukungan rasa empati dari konselor. Dengan respek yang didukung empati akan membuat hubungan konseling menjadi terus terang, blak-blakan, sehingga dapat mempercepat proses konseling tanpa rasa tersinggung konseli. Bahkan dia senang dengan kritik konselor umpamanya menggunakan teknik konfrontasi, dan dianggap sebagai obat baginya. Akan tetapi bagi konselor yang kurang intensional dan kurang efektif (kaku dalam perilakunya, terlalu formal, tidak fair, tidak professional, tidak empati), maka rasa hormat pura-pura tidak akan membuat konseli terbuka (disclosed) dan berkata terang-terangan. Jika konselor demikian beraksi, maka besar kemungkinan konseli akan tersinggung, dan akan terjadi drop-out (memutuskan hubungan konseling dan tak akan datang lagi pada sesi berikut).

3. Warmth (Rasa Hangat)

Pada prinsipnya warmth berhubungan erat dengan empati. Warmth (rasa hangat) dapat didefinisikan dengan suatu sikap emosional terhadap konseli, yang dinyatakan dengan cara-cara nonverbal dan didukung dengan verbal. Menurut Hikmawati (2016:61),”kehangatan mempunyai makna sebagai satu konidis yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli dan dapat menghibur orang lain.”

Bentuk-bentuk nonverbal konselor yakni: (1) nada suara; (2) posisi tubuh; (3) gerakan isyarat tubuh (gesture); (4) air muka, dan; (5) sentuhan (sesuai etika moral). Semua perilaku nonverbal mendukung pernyataan verbal dengan hangat dan akan member dorongan pada diri konseli. Menurut hasil penelitian Bayes (1973) senyum adalah salah satu ciri warmth (kehangatan) yang mempunyai keunggulan tersendiri.Dalam perilaku konselor disaat melakukan konseling, tidak mungkin sama sekali untuk memisah-misahkan antara kehangatan, penghargaan positif, dan rasa hormat. Karena saat melakukan kehangatan, maka otomatis rasa hormat dan penghargaan positif harus terjadi.Mengormati pendapat konseli adalah mutlak, walaupun kadang-kadang mungkin saja tidak sesuai dengan nilai-nilai. Namun sebagai konselor yang efektif, harus mampu menemukan celah-celah asset atau kekuatan konseli sehingga hal inilah yang harus kita kembangkan. Sebagai contoh, berikut ini adalah kasus wanita hamil karena berzinah. Mari kita ikuti pernyataan konseli berikut ini.KI: “Anda telah mendengarkan penjelasan saya yang cukup panjang. Bagaimna pendapat bapak konselor, apa yang harus saya lakukan? Saya dalam keadaan sangat bingung.”Dari ungkapan itu terlihat bahwa konseli mengharapkan sekali saran, pendapat, bahkan nasehat konselor, sebab dia dalam keadaan bingung sekali karena menghadapi kehamilan diluar nikah. Orang tuanya tidak setuju, bahkan ayahnya mengusir dia. Disamping itu sang pacar tidak bertanggung jawab.Dalam kondisi seperti ini sebaiknya konselor tidak cepat-cepat untuk member nasehat, sebab akan mengurangi kemandirian konseli. Kedua, mungkin saja nasehat konselor tidak mengena atau meleset. Yang pasti seorang konselor yang intensional (efektif) berupaya menemukan potensi-potensi konseli dan menghargainya dengan pernyataan yang mendorong dan meyakinkan konseli. Karena itu pernyataan konseli tadi sebaiknya direspon dengan kalimat-kalimat seperti iniKO: “Sayaa pahami dari perasaan dan ucapan-ucapanmu sejak tadi, tampaknya anda cenderung untuk memelihara bayi itu, bukan melakukan aborsi. Saya suka perasaan anda tersebut, yang menghargai kehidupan dan menjaga amanah tuhan. Jika saya seperti anda, saya kira saya akan seperti perasaan anda. Terus terang, saya berharap anda memiliki bayi itu. Namun, semua terserah pada keputusan saudara. Apakah pendapat anda mengenai jawaban saya? Saya anda tentu dapat mengatasinya, keputusan yang jernih benilai tinggi”Dari respon konselor di atas ada beberapa tujuan yang hendak dicapainya terhadap konseli tadi;(a) Meyakinkan konseli bahwa dia memiliki asset/potensi penting yakni nilai kemanusiaan untuk memelihara bayi. Hal itu dikemukakan oleh konselor, lalu konselor memberi teknik refleksi felling dab refleksi content yaitu dengan ungkapan “Tampaknya abda cenderung ingin memelihara bayi itu.”(b) Nilai kemanusiaan sebagai asset konseli, dihargai dan dihormati oleh konselor dengan ucapan “saya suka perasaan anda itu.”(c) Konselor tidak langsung member nasehat kepada konseli, akan tetapi member empati atas assetnya yaitu nilai luhur untuk memlihara bayi, kemudian menghargai asset tersebut. Berarti memberi dorongan terhadap potensi nilainya untuk menjadi manusia yang bermoral. Cuma sedikit saja konselor berharap agar konseli memilikin bayi itu, serta memberi keyakinan bahwa konseli akan mampu mengatasi persoalannya.(d) Tujuan terakhir adalah agar konseli menjadi terbuka. Dimana dengan self-disclosed itu konseli mengeluarkan perasaan-perasaannya terus, dan pada gilirannya keluar akal sehatnya.

4. Concreteness (Kekonkritan-Bersikap konkrit)

Dalam hubungan konseling, sering konseli datang dengan keluhan-keluhan yang samar-samar (tidak jelas), dan kadang-kadang bermakna ganda. Tugas konselor yang intensional/efektif adalah memperjelas dan memahami ide-ide dan masalah yang samar-samar yang dikemukakan konseli.Wawancara konseling yang efektif bergerak dari deskripsi-deskripsi yang samar-samar tentang isu-isu global menuju diskusi yang konkrit, spesifik tentang apa yang telah terjadi dan yang terus terjadi dalam kehidupan keseharian konseli. Sebagai contoh, seorang konseli perempuan mengatakan tentang pacranya, bahwa dia telah berkelahi dengan Doni dan dia yakin bahwa hubungan mereka akan putus. Di sini digaris bawahi berkelahi dan hubungan putus, seolah-olah sudah jelas, sehingga konselor dapat meneruskannya. Padahal jika konselor teliti, dia belum pasti, sebab berkelahi dan hubungan putus itu masih samar-samar. Karena dialog berikut akan mengarah kepada yang lebih konkrit atau spesifik

5. Konfrontasi

Konfrontasi di dalam proses konseling didefinisikan sebagai adanya perbedaan-perbedaan antara sikap-sikap, pemikiran-pemikiran, atau perilaku-perilaku. Menurut Willis (2004:154), ”Dalam teknik konfrontasi, konseli dihadapkan secara langsung dengan fakta, dimana konseli mungkin mengatakan lain daripada yang dia maksud; atau melakukan yang lain/berbeda dari apa yang dia katakan.”Suatu konfrontasi bukan bermaksud mengatakan bahwa konseli itu orang yang salah atau orang yang jelek. Kritik dalam konfrontasi adalah mengemukakan dalm bentuk kata-kata tentang adanya incongruity (ketidaksesuaian) dan discrepancy (perbedaan). Konseli sering mengungkapkan cerita yang ganda dalam wawancara konseling.Disamping hal-hal yang dapat merusak proses konseling, perlu kiranya pemahaman terkait hal-hal yang perlu kita dalami terkait efektivitas dalam melakukan wawancara, keterampilan intervensi, dan memcahkan masalah. Menurut Anthony (dalam Yusuf 2016:66),”Seorang konselor harus memiliki karakteristik seperti beliefs, Self-awarness, Knowledge and skills, a rapor view of his role, personal qualities, dan Interpersonal skills”. Ketika hal-hal seperti itu telah dimiliki oleh seorang konselor makan bukan tidak mungkin proses konseling ia akan kuasai dengan baik khusunya dalam keterampilan wawancara konseli.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hikmawati, Fenti. 2016. Bimbingan dan Konseling. PT Raja Grafindo Persada; Jakarta.

Lesmana, Jeanette M. 2005. Dasar-Dasar Konseling. UI Press; Jakarta.

Lubis, Namora L. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Kencana Prenada Media Group; Jakarta.

McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Kencana Prenada Media Group; Jakarta.

Nurihsan, Ahmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Refika Aditama; Bandung.

------------------------. 2006. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Refika Aditama; Bandung.

Prawira, Purwa A. 2012. Psikologi Kepribadian dengan Perspektif Baru. AR Ruzz Media; Jogjakarta.

Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktik. Alfabeta; Bandung.

Yusuf, Syamsu & Juntika Nurihsan. 2014. Landasan Bimbingan dan Konseling. PT Remaja Rosdakarya; Bandung.

Yusuf, Syamsu. 2016. Konseling Individual Konsep Dasar dan Pendekatan. Refika Aditama; Bandung.

http://wadahgurubk.com/download/media/proceding-seminar-nasional-upgris-2018.html

50 DEFENISI KONSELING

30 January 2020 14:57:43 Dibaca : 46183

Oleh; Jumadi Mori salam Tuasikal, M.Pd

Begitu banyak defenisi konseling menurut para ahli, berikut saya hadirkan 50 diantaranya;

1) A.C. EngliSH

Konseling merupakan proses dalam mana konselor membantu konseli (klien) membuat interprestasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya.

 2) A.M. Schmuller & D.G. Mortenson

Konseling adalah suatu proses hubungan seorang dengan seorang, di mana yang seorang dibantu oleh orang lainnya untuk meningkatkan pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya.

3) American Counseling Association (ACA)

Konseling yaitu aplikasi kesehatan mental, prinsip psikologis, perkembangan; melalui intervensi kognitif, afektif, perilaku, atau sistemik; strategi untuk menangani kese jahteraan, pertumbuhan pribadi, perkembangan karier, dan kelainan.

4) American Personel Guidance Association (APGA)

Konseling adalah hubungan antara seorang individu yang memerlukan bantuan untuk mengatasi kecemasannya yang masih bersifat normal atau konflik atau masalah pengambilan keputusan.

5) American School Conselor Association (ASCA)

Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu klien mengatasi masalah-masalahnya.

6) British Association of Counselling (BAC)

Konseling merupakan suatu proses bekerja dengan orang banyak, dalam suatu hubungan yang bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah.

7) Baruth & Robinson

Konseling berasal dari kata Counselium yang berarti “people coming together to gain an understanding of problem that beset them were evident”.

8) Berdnard & Fullmer

Konseling merupakan pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut.

9) Blocher

Konseling adalah membantu individu agar dapat menyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengrauh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku dimasa yang akan datang.

10) Burk & Stefflre

Konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien, hubungan yang terbentuk biasanya bersifat individu ke individu, kadang juga melibatkan lebih dari satu orang suatu misal keluarga klien. Konseling didesain untuk menolong klien dalam memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap suatu masalah yang sedang mereka hadapi melalui pemecahan masalah dan pemahaman karakter dan perilaku klien.

11) Casey

Konseling merupakan proses baik berupa perkembangan atau intervensi. Konselor berfokus pada sasaran klien. Jadi konseling melibatkan pilihanmaupun perubahan. Dalam beberapa kasus konseling adalah latihan sebelum bertindak.

12) Cavanagh

Konseling merupakan “a relationship between a trained helper and a person seeking help in which both the skills of the helper and the atmosphere that he or she creates help people learn to relate with themselves and others in more growth-producing ways.”

13) Cormier

Counseling is the helping relationship, which include (a) someone seeking help, (b) someone willing to give help who is (c) capable of, or trained to, help (d) in a setting that permit’s help to be given and received.

14) Division of Conseling Psychology

Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu.

15) Fatchiah E. Kertamuda

Konseling adalah hubungan yang direncanakan antara seorang konselor dengan seorang agar konseli dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.

16) Gibson

Konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

17) Gladding

Konseling adalah hubungan pribadi antara konselor dengan klien atau konseli. Dalam hubungan pribadi tersebut, konselor membantu konseli untuk memahami diri sendiri di setiap keadaan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Konseli dapat menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat.

18) Gustad

Counseling is a learning-oriented prosess carried on in simpole one to social environment in which the counselor, professionalally competent in relevant psycological skill and knowledge, seeks to assist the client by methods appropriate to the latter’s needsm and within the context of the total personal program, to learn how to p[ut such understanding into effect in relation to more clearly perceived, realitically defined goals, to the end that the client may become a happier and more productive member of society.

19) Hansen

Konseling adalah proses bantuan kepada individu dalam belajar tentang dirinya, lingkungannya, dan metode dalam menangani peran dan hubungan.

20) Hellen

Konseling individual yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik atau konseli mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan masalah pribadi yang diderita konseli.

21) H.M. Burks

Konseling adalah suatu proses yang berorientasikan belajar, dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial, antara seorang dengan seorang yang lain, di mana seorang konselor harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang keterampilan dan pengetahuan psikologi. Konselor berusaha membantu klien dengan metode yang sesuai atau cocok dengan kebutuhan klien tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan program, agar individu mempelajari secara lebih baik mengenai dirinya sendiri dan belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman mengenai dirinya untuk memperoleh tujuan-tujuan hidup yang lebih realistis, sehingga klien dapat menjadi anggota dari masyarakat yang berbahagia dan lebih produktif.

22) Hoffman

Perjumpaan secara berhadapan muka antara konselor dengan konseli atau orang yang disuluh sedeng dalam pelayanan bimbingan.

23) Holipah

Proses konseling individu berpengaruh besar terhadap peningkatan klien karena pada konseling individu konselor berusaha meningkatkan sikap siswa dngan cara berinteraksi selama jangka waktu tertentu dengan cara beratatap muka secara langsung untuk menghasilkan peningkatanpeningkatan pada diri klien, baik cara berpikir, berperasaan, sikap, dan perilaku.

24) James F. Adam

Konseling adalah Suatu pertalian timbal balik antara 2 orang individu dimana yang seorang (counselor) membantu yang lain (conselee) supaya ia dapat memahami dirinya dalam hubungan denfgan masalah-masalah hidup yang dihadapinya waktu itu dan waktu yang akan datang.

25) Jones

Konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan. Dimana ia diberi panduan pribadi dan langsung dalam pemecahan untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan.

26) Latipun

Secara etimologi Istilah konseling berasal dari bahasa latin, yakni “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasan dari kata “sellan” yang berarti“menyerahkan” atau “menyampaikan”.

27) Lewis

Konseling adalah proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.

28) Mohammad Surya

Konseling adalah suatu proses berorientasi belajar, dilakukan dalam suatu lingkungan sosial, antara seseorang dengan seseorang, dimana seorang konselor yang memiliki kemampuan profesional dalam bidang keterampilan dan pengetahuan psikologis, berusaha membantu klien dengan metode yang cocok dengan kebutuhan klien tersebut, dalam hubungaannya dengan keseluruhan program ketenagaan, supaya dapat mempelajari lebih baik tentang dirinya sendiri, belajar bagaimana memanfaatkan pemahamkan tentang dirinya untuk realistik, sehingga klien dapat menjadi anggotamasyarakat yang berbahagia dan lebih produktif.

29) Palmer & McMahon

Konseling bukan hanya proses pembelajaran individu akan tetapi juga merupakan aktifitas sosial yang memiliki makna sosial. Orang sering kali menggunakan jasa konseling ketika berada di titik transisi, seperti dari anak menjadi orang dewasa, menikah ke perceraian, keinginan untuk berobat dan lain-lain. Konseling juga merupakan persetujuan kultural dalam artian cara untuk menumbuhkan kemampuan beradaptasi dengan institusi sosial.

30) Pepinsky & Pepinsky

Konseling merupakan interaksi yang (a) terjadi antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien ; (b) terjadi dalam suasana yang profesional (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.

31) Pietrofesa, Leonard & Hoose

Konseling merupakan suatu proses dengan adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan.

32) Pietrofesa

Konseling merupakan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli.

33) Prayitno & Erman Amti

Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.

34) Prayitno

Konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga professional kepada seorang atau sekelompok individu untuk pengembangan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan focus pribadi mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses pembelajaran.

35) Robinson

Konseling ialah hubungan antara dua orang di mana yang seorang klien merupakan klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Suasana hubungan di dalam konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk mendapatkan dan memberikan berbagai informasi, mengajar dan juga melatih.

36) Rogers

Konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.

37) Samsul Munir Amin

Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara, atau dengan cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidup.

38) Schertzer & Stone

Konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya.

39) Smith

Konseling merupakan proses dalam mana konselor membantu konseli (klien) membuat interprestasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya.

40) Soli Abimanyu & M. Tayeb Manrihu

Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara dan teknik-teknik perubahan tingkahlaku lainya oleh seorang ahli (disebut Konselor) kepada individu atau individu-individu yang sedang mengalami masalah (disebut konseli) yang bermuara kepada teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli.

41) Stefflre dan Grant

Counseling denotes a professional relationship between an trained counselor with a client. Counseling is a process, that is a derlying better choices making are such matter is learning, personality depelovment, and self knowledge which can be translated into better role perception and more effective role behavior.

42) Syamsu Yusuf

Konseling merupakan pelayanan terpenting dalam program bimbingan. Layanan ini memfasilitasi untuk memperoleh bantuan pribadi secara langsung untuk mengatasi masalah yang timbul pada siswa.

43) Talbert

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.

44) Tohari Musnawar

Konseling dalam Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kesemuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya merupakan sumber pedoman kehidupan umat Islam.

45) Walgito

Konseling menuntut adanya keaktifan dari dua arah, baik dari konselor maupun dari konseli, bahkan dalam konseling keaktifan harus lebih banyak dari konseli, di mana konselor hanya membantu konseli agar dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri dengan pilihan-pilihan yang ada.

46) Willis

Konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien memecahkan kesulitanya.

47) Williamson

Konseling adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia. Membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri. Dalam hubungan konseling, individu diharapkan mampu menghadapi, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Dari pengalaman ini individu belajar untuk menghadapi situasi konflik di masa mendatang.

48) Winkell

Konseling merupakan serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli / klien secara tatap muka langsung dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap bebagai persoalan atau masalah khusus maka masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi semuanya.

49) Wolberg

Konseling adalah bentuk wawancara di mana klien ditolong untuk mengerti lebih jelas dirinya sendiri, untuk memperbaiki kesulitan yang berkaitan dengan lingkungan atau untuk dapat memperbaiki kesukaran penyesuaian.

50) Wren

Konseling adalah suatu relasi antara pribadi yang dinamis, antara dua orang yang berusaha untuk memecahkan sebuah masalah dengan mempertimbangkannya secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya orang yang lebih muda atau orang yang mempunyai kesulitan yang lebih banyak diantara keduanya dibantu oleh yang lain untuk memecahkan masalahnya berdasarkan penentu diri sendiri.

BERSAMBUNG...

BUDAYA MALU YANG MENGHAMBAT PERKEMBANGAN MAHASISWA

30 January 2020 14:49:07 Dibaca : 3471

Siti Salama Tuasikal

       Sejatinya sifat malu merupakan suatu hal penting yang harus dimiliki oleh manusia, sebagai pertanda bahwa perasaannya masih berada pada kondisi normal dalam merespon setiap stimulus yang datang untuk dipertimbangkan secara emosional sehingga mampu menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang. Hal tersebut bermaksud bahwa setiap perilaku manusia dalam bertindak dan mengambil keputusan akan dipertimbangkan secara manusiawi melalui hati nuraninya sebagai bentuk ekspresi dari rasa malu.

    Malu bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua. hal ini dikarenakan malu dapat dipandang suatu perilaku yang positif namun di satu sisi dapat berdampak negatif. Kondisi ini yang kemudian menjadi suatu dilema dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fenomena ini dapat kita lihat pada kasus-kasus tertentu misalkan ketika seseorang berbuat kesalahan, sudah sewajarnya dia merasa malu atas sikapnya itu dan mulai meminta maaf. Hal ini menggambarkan sifat malu berdampak positif yang dapat menyadarkan perilaku tidak baik yang telah di perbuat. Pada kasus lain yaitu ketika seseorang ingin mengungkapkan ide dan gagasannya kepada orang lain dia merasa malu, karena dia meyakini bahwa apa yang hendak disampaikan mungkin saja tidak akan diterima atau malah ditertawakan. Hal ini merupakan salah satu kasus yang berdampak negative terhadap tugas perkembangan seseorang.

     Berdasarkan gambaran di atas kita dapat mengambil suatu benang merah bahwa rasa malu merupakan hal yang penting, namun kiranya perlu melihat situasi dan kondisi yang tepat untuk mengekspresikan rasa malu tersebut, dalam istilah yang saya gunakan  adalah memperhatikan "SIKONTOL PANJANG" (Situasi, Kondisi, Toleransi, Pantauan dan Jangkauan). Banyak orang yang tidak sadar di dalam kehidupan sehari-harinya mengalami hambatan dalam mengekspresikan perasaan sebenarnya karena belum mampu mengelola dan menempatkan serta memahami karakteristik pribadinya di dalam memposisikan rasa malu tersebut. Di Indonesia sendiri budaya malu seakan-akan menjadi identitas diri masyarakatnya. Sayangnya, kondisi tersebut tidak berbanding lurus dengan cara berpikir dalam menanggapi masalah yang dihadapi karena kadang-kadang rasa malu yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari malah berdampak memalukan. Sebut saja fakta yang sering kita temui orang desa yang sering merasa malu dengan orang kota, orang miskin yang merasa malu dengan orang kaya dan sebaliknya dikarenakan berbagai alasan yang diyakini. Keberadaan budaya malu akan terus menyertai perilaku manusia dalam setiap aktifitasnya sebagai sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah mahluk yang berperasaan. Apakah itu dalam lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan di mana saja. Tanpa sadar sifat malu mampu mengarahkan seseorang untuk memahami rasa tanggungjawab di setiap kondisi yang di hadapi ataupun bisa saja lari dari tanggungjawab yang diemban dalam setiap situasi kehidupan.

      Di antara sekian banyak aktifitas yang dilalui oleh manusia ada hal menarik yang bisa kita tinjau di dalam kehidupan kampus yang dihuni oleh masyarakat intelektual, dalam artian bagaimana mahasiswa memposisikan dirinya dalam membudayakan rasa malu yang ada pada diri dan lingkungannya. Kita ketahui bersama bahwa mahasiswa ditempatkan pada jenjang pendidikan paling tinggi di antara status pendidikan lainnya, itu artinya bahwa lingkungan kampus diharapkan mampu menstimulus mahasiswa dalam memahami arti sebenarnya dari rasa malu. Fenomena kekinian yang terjadi dunia kampus menggambarkan bahwa mahasiswa seakan-akan berada dalam posisi terjebak pada dampak negatif dari rasa malu. Kenapa demikian, karena banyak potensi yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa tidak diekspresikan sebagaimana layaknya. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa dari sekian banyak factor tidak bisa dipungkiri bahwa rasa malu mengambil peran penting dalam membentuk karakter mahasiswa. Sebut saja banyak aktifitas-aktifitas kemahasiswaan mulai dari dalam kampus hingga keluar kampus membutuhkan kemampuan mental untuk mengaktualisasikan potensinya secara optimal.

     Berbagai kasus yang dialami oleh mahasiswa dalam mengaktualisasikan diri banyak dihambat oleh sikap kurang percaya diri, ragu-ragu, mudah menyerah, cepat putus asa, gugup, demam panggung dan, takut ditertawakan orang. Sikap-sikap tersebut kadang muncul ketika mahasiswa diperhadapkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Hal tersebut tak lepas dari bagaimana mahasiswa memadang dan memberikan persepsi-persepsi subjektif terhadap dirinya yang menggambarkan perasaan malu terhadap kehidupan bersosial disekelilingnya. Mungkin benar, bahwa rasa malu tidak sepenuhnya memberikan sumbangsih negatif terhadap perilaku mahasiswa. Namun juga perlu diingat bahwa kita tidak bisa memungkiri kebiasaan malu yang sudah membudaya bisa jadi susah untuk dikendalikan karena sudah mengakar dan menjadi karakter turun-temurun.

     Secara psikologis jika luapan emosi yang menjadi kebiasaan seseorang dan dilakukan terus-menerus akan menjadi otomatis tersimpan di dalam alam bawah sadar dan akan mengarahkan setiap perilaku untuk dilakukan tanpa disadari. Itu artinya jika rasa malu yang sudah tertanam di alam bawah sadar setiap mahasiswa, maka tanpa sadar mereka akan digiring untuk bersifat malu pada setiap aktifitas tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu secara rasional situasi dan kondisi yang paling tepat untuk bersikap malu. Banyak contoh yang mampu membuktikan kasus-kasus tersebut, diantaranya ada mahasiswa yang tidak mau untuk berbicara di depan banyak orang dikarenakan kebiasaannya ketika hendak berbicara di dalam keluarga tidak diizinkan oleh orang yang lebih tua dengan alasan budaya malu, dilain pihak diremehkan hingga ditertawakan, dicaci dan itu akan memberikan pengalaman kecemasan atau bisa jadi pada tingkat trauma sehingga mampu menghambat perkembangan mahasiswa dalam meningkatkan kualitasnya. Selain itu, disatu pihak dengan adanya rasa malu menuntut mahasiswa supaya engan membicarakan masalah-masalah orang lain, namun dilain pihak akan mematikan daya kritis dan kontrol social mahasiswa terhadap realita yang terjadi, belum lagi malu untuk menolak ajakan teman untuk melakukan hal-hal negative misalnya merokok, narkoba, minum alcohol dan hal-hal lainnya dan akhirnya memberi dampak terhadap terhambatnya perkembangan mahasiswa.

     Senada dengan itu, kasus seperti membicarakan masalah seksual, kebiasaan pamali, mistik dan hal-hal lainnya masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Kesemuanya masih kategorikan sebagai hal yang masuk dalam larangan yang masih berkaitan dengan budaya malu di masyarakat kita, padahal kita tahu bahwa sebagai mahasiswa sudah seharusnya hal-hal tersebut sudah bisa dikaji dan eksplorasi secara ilmiah dan bertanggungjawab. Sudah seharusnya mahasiswa membentengi pikirannya dengan bersikap kritis terhadap realita yang dihadapi sehingga perasaan emosional yang dimilikinya dapat dikontrol. Maksud control di sini adalah mahasiswa harus menempatkan atau memposisikan rasa malu sebagai suatu rasa yang objektik melalui sudut pandang yang lebih menguntungkan, terlebih lagi untuk membantu perkembangan kualitasnya.

      Mahasiswa harus bisa mendobrak beberapa perilaku yang timbul dari budaya rasa malu yang terkesan tradisional dan dan kadang memberi dampak memalukan. Kondisi tersebut seharusnya bisa disesuaikan dengan perkembangan jaman dengan realita masalah yang semakin kompleks dan kemajuan perkembangan yang setiap saat selalu beranjak maju. Kedepannya dunia membutuhkan mahasiswa yang mampu berkreasi dan berinovasi dalam menghasilakan dan menciptakan hal-hal kreatif yang berdaya saing untuk mampu menjawab tantangan dunia kerja. Oleh karenannya jika mahasiswa masih tengelam dengan budaya malu yang menghambat perkembangan cara berpikir kritis maka bisa dipastikan tidak ada tempat untuk mereka di dunia kerja. Dalam rangka menjembatani mahasiswa untuk memilih dan memilah perilaku budaya malu yang cocok, harus dimulai dari cara berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggungjawab dengan tepat. Dari itulah, melalui tulisan ini mari sebagai mahasiswa bagun karakter positif dimulai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan di kampus misalkan, diskusi public, kajian rutin, budayakan literasi atau mengikuti organisasi-organisasi kemahasiswaan selain mengikuti kegiatan rutin akademik di ruang kuliah.

    Semua itu di maksudkan untuk membuka cakrawala berpikir mahasiswa agar tidak terpenjara pada pemahaman sempit. Melalui kegiatan-kegiatan ekstra tersebut mahasiswa akan terlibat dengan banyak data, transaksi informasi, bersosialisasi, dan membangun banyak jaringan antar teman atupun lintas antar kampus, mulai dari dalam hingga luar negeri, sehingganya mental diri mahasiswa tidak mudah terjerumus untuk perilaku budaya malu yang berunjung memalukan karena mampu memandang dunia ini secara objektif, realistis dan universal. Mengubah suatu budaya tidaklah muda, namun bukan berarti tidak bisa. Semua hal jelas memerlukan proses, jika budaya sebelumnya turun melalui pengajaran dan system didikan dari generasi sebelumnya, maka untuk merubahnya cukup dibiasakan dengan pola yang sama namun dengan maksud yang berbeda yakni mengubah cara pandang terhadap bagaimana memahami makna ataupun arti sebenarnya dari budaya malu. Kita semua yakin dan percaya bahwa atmosfir kampus selalu memberi ruang bagi budaya apa saja yang bisa diberdayakan untuk tujuan pengembangan potensi mahasiswa. 

      Oleh karenanya dengan melihat seluruh gambaran yang ada, mari sama-sama kita semua mengambil bagian untuk tidak mengembangkan budaya malu yang memberi efek penghambat bagi tumbuh kembangnya mahasiswa, mulai dari Rektor universitas sebagai pimpinan tertinggi lembaga dengan segala kebijakannya, disusul dengan para dosen dengan semua perangkat pembelajarannya, dan semua mahasiswa yang tak boleh henti-hentinya membaca dan belajar dari pengalaman dan berbagai literasi agar bisa mendapatkan hikmah guna perbaikan diri agar bisa menjadi mahasiswa yang handal, dan mampu menciptakan karya-karya bermanfaat, serta dapat mengabdikan diri untuk kepentingan dan tujuan bersama, berbangsa dan bernegara.

TEKNIK KONSELING KREATIF

30 January 2020 11:31:52 Dibaca : 6617

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

1. Konseling Kreatif Metafora

Dalam proses konseling, setiap konseli yang datang untuk meminta bantuan adalah unik, entah masalah yang dialami, sampai pada kepribadian atau realitas budaya yang begitu beragam. oleh karenanya sudah seharusnya konselor secara profesional mengunakan cara-cara-cara yang kreatif dalam menjalankan proses konseling tersebut. berikut beberapa teknik-teknik kreatif yang dapat digunakan oleh konselor;

Metafora pada umumnya didefinisikan sebagai transfer makna dari suatu elemen ke elemen lain (Robert & Kelly, 2010). Metafora merupakan upaya untuk mendeskripsikan suatu ide atau persoalan secara konkret, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Penggunaan metafora secara kreatif dalam sesi konseling akan membantu konseli dan konselor untuk memahami persoalan yang dihadapi serta mengembangkan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut. Metafora merujuk pada penggunaan bahasa kias (verbal dan nonverbal) secara kreatif dalam menyampaikan pikiran atau perasaan. Dalam konteks bimbingan dan konseling, metafora dapat digunakan untuk mengilustrasikan isu-isu interpersonal tertentu, membantu konseli untuk mengenali dan memahami diri dan lingkungan sekitarnya, serta membantu konseli untuk membingkai ulang masalahnya.

2. Konseling Kreatif Impact.

Jacobs (1992, 1994) menjelaskan bahwa impact merupakan pendekatan dalam konseling kreatif yang menghargai ragam cara belajar, cara berubah, dan cara berkembang konseli. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya membantu konseli untuk memahami permasalahan dan solusi permasalahan secara jelas dan konkret. Konseling impact menekankan pendekatan multisensori yang melibatkan dimensi verbal, visual, dan kinestetik dalam proses konseling.Pendekatan ini menekankan pada pentingnya membantu konseli untuk memahami permasalahan dan solusi permasalahan secara jelas dan konkret. Konseling impact sangat menekankan pada penggunaan teori-teori konseling secara kreatif. Proses perkembangan dan kemajuan pemahaman konseli selama sesi konseling merupakan hal yang penting dalam konseling impact. Sekalipun konselor telah ahli dalam mengimplementasikan teori konseling, akan tetapi improvisasi secara kreatif masih sangat dibutuhkan, sehingga konseli dapat berperan secara aktif dalam melibatkan verbal, visual, dan kinestetik mereka selama sesi konseling.

 3. Konseling Kreatif Ekspresif

Ekspresif merupakan salah satu cara agar konseli mampu mengekspresikan permasalahannya. Pendekatan ini digunakan apabila konselor menemui konseli yang merasa kesulitan dan enggan untuk mengekspresikan permasalahan yang mereka alami. Melalui konseling ekspresif konselor dapat membantu konseli mengekplorasi dan menggungkap perasaannya melalui seni (Gladding, 2016). Seni membantu seseorang yang memiliki masalah dapat melakukan relaksasi serta katarsis (metode pelepasan emosi) tanpa merasa terbebani untuk mengungkapkan masalahnya kepada orang lain. Menurut Malchiodi (2005) konseling ekspresif terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain: seni visual, musik, drama, menulis ekspresif, dan terapi dansa. Salah satu fenomena yang seringkali ditemui pada siswa saat ini adalah kecenderungan mereka untuk katarsis di jejaring sosial. Siswa saat ini cenderung lebih menyukai menyampaikan masalah mereka dengan menulis status di sosial media.

4. Konseling Kreatif Guided Imagery

Guided Imagery adalah strategi konsentrasi terfokus di mana gambar visual digunakan untuk membuat penguatan perasaan dan relaksasi (Thomas, 2010). Menurut (Cormier, 2009) dalam penggunaan prosedur guided imagery konseli dipandu untuk fokus pada fikiran positif atau gambar yang menyenangkan sambil membanyangkan situasi yang tidak nyaman atau menimbulkan kecemasan-kecemasan. Konseli diarahkan untuk dapat memblokir hal-hal negatif dengan memanfaatkan ketidak fokusan emosi antara perasaan senang dengan kejadian yang tidak menyenangkan. Pada pelaksanaan guided imagery konselor diarahkan untuk dapat bertindak sebagai fasilitator atau pemandu yang menyediakan konseli gambaran imajinasi positif yang akan diciptakan (Hall, 2006). Pada prinsipnya guided imagery menyerupai dengan salah satu teknik dalam pendekatan behavioral pelemahan, yakni desensitisasi sistematis. Selain itu, konsep yang sama juga dijelaskan oleh Jones (2003, 2005) terkait dengan salah satu komponen keterampilan berpikir (mind skills). Komponen yang dimaksud adalah menciptakan citra visual yang membantu. Internalisasi mind skills, termasuk salah satunya adalah menciptakan citra visual yang membantu terbukti efektif dapat membantu individu. Penelitian yang menunjukkan kefeektifan keterampilan citra visual yang membantu dilakukan oleh Purwaningrum (2013) dan Antika (2017). Kedua penelitian menunjukkan bahwa internalisasi mind skills dapat memberikan dampak positif terhadap mahasiswa. Terlebih bagi mereka yang memiliki daya imajinatif tinggi. Apabila konselor menemukan konseli yang over thinking atau memiliki kecenderungan selalu berpikir negatif dan pesimis untuk suatu hal yang belum tentu terjadi, konselor dapat menerapkan teknik guided imagery.

5. Konseling Kreatif Prop Intervention

Prop interventions yakni pendekatan konseling kreatif dengan menggunakan alat peraga. Penggunaan alat peraga dapat memiliki dampak yang kuat pada konseli dan dapat menjadi cara yang bermanfaat untuk melibatkan konseli agar berpartisipasi dalam konseling (Schimmel, 2007). Alat peraga didefinisikan sebagai objek fisik yang menggambarkan konsep dan/atau memfasilitasi proses konseling. Melalui penggunaan alat peraga, konselor sekolah dapat membantu konseli mendapatkan perspektif tentang masalah mereka, seperti: stres, harga diri, kemarahan, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Intervensi prop yang dapat dilakukan oleh konselor sekolah yaitu: shield (perisai), filter (saringan), small chair (kursi kecil), white board (papan tulis), one dollar bills (satu lembar uang dolar), behind you (di belakangmu), exploding soda bottle (ledakan botol soda), rubber bands (karet gelang), fuse (sekring), scaling (penggunaan skala), backpack (ransel), dan ego-gram (grafik ego). Implementasi prop intervention dalam konseling kreatif akan memicu konseli agar aktif terlibat selama proses konseling. Hal ini akan menjauhkan kesan jenuh dan membosankan daripada konseling dilakukan secara konvensional melalui percakapan sepanjang pertemuan. Keterlibatan konseli dan pengalaman langsung yang dialami memungkinkan untuk mendapat pengalaman dan pembelajaran yang mengesankan. Dengan demikian, konseling akan dirasakan kebermanfaatannya dan dinilai sebagai proses bantuan yang menyenangkan.

6. Konseling Kreatif Reading Intervention

Pendekatan ini dapat disejajarkan dengan layanan biblioterapi. Biblioterapi didefinisikan sebagai penggunaan literatur untuk nilai terapeutik (Hynes & Hynes-Berry, 1986). Senada dengan hal itu, Pardeck (1994) menemukan bahwa intervensi membaca memberikan informasi dan wawasan bagi pembaca. Membaca dapat membantu konseli untuk: (1) mendapatkan sikap dan keyakinan baru tentang diri dan dunia, (2) mengembangkan kesadaran tentang bagaimana orang lain mengatasi masalah yang sama, dan (3) mempertimbangkan kemungkinan untuk masalah. Ketika menggunakan intervensi membaca untuk konseli, konselor harus memilih buku yang membawa rasa koneksi ke penulis. Karakter atau ide antara konseli dan buku harus memiliki koneksi agar dapat memaksimalkan bantuan dari proses membaca (Bruneau, Bubenzer, & McGlothlin, 2010). Sesuai dengan perkembangan saat ini, bahan bacaan tidak harus dari buku cetak. Konselor dapat menyarankan sejumlah referensi buku elektronik yang mudah diakses dan menyenangkan untuk dibaca oleh konseli. Bagaimanapun, minat dan kemauan membaca menjadi faktor yang tidak dapat ditinggalkan dalam penerapan teknik ini. Konselor harus kreatif dalam menyediakan sumber bacaan yang menggugah konseli untuk membaca dan mendapatkan pengalaman atau pembelajaran.

 

7. Konseling Kreatif writing intervention

Writing intervention merupakan bentuk intervensi kreatif dengan cara menulis yang biasanya terdiri dari empat jenis: puisi, surat, jurnal, dan mendongeng/bercerita. Puisi dapat membantu konseli mengekspresikan diri, mencari kemandirian, dan menemukan diri (Alexander, 1990; Bowman, 1992). Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk surat, Kress, Hoffman, & Thomas (2008) berpendapat bahwa menulis surat dapat membantu konseli dalam eksplorasi dan perubahan diri. Lebih lanjut Zyromski (2007) menjelaskan bahwa jurnal menyerupai buku harian yang dapat dimanfaatkan oleh konseli ketika mereka merasa stres, atau menuliskan sesuatu yang mereka lakukan setiap hari. Bagi konseli yang tidak suka menulis, pilihan alternatif adalah berpartisipasi dalam bercerita. Bercerita melibatkan konselor sekolah yang meminta konseli untuk membuat cerita yang memiliki pelajaran moral (Newsome, 2003). Teknik ini memiliki kedekatan dengan expressive writing, sangat sesuai jika diterapkan bagi konseli yang mungkin mengalami kesulitan untuk menyampaikan masalahnya secara langsung dan secara kebetulan suka menulis.

8. Konseling Kreatif Music Intervention

Music intervention adalah penggunaan musik sebagai bentuk intervensi kreatif. Campbell, Connell, & Beegle (2007) menjelaskan bahwa konseli mungkin menggunakan musik sebagai cara untuk mengekspresikan diri, mengatasi stres, bersantai dan bersenang-senang. Lebih dari itu, musik dapat memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana konseli merasakan dan mengalami dunianya (Glass, Curtis, & Thomas, 2005). Lebih lanjut Kimbel dan Protivnak (2010) memberikan beberapa contoh intervensi musik untuk konselor sekolah yang dapat digunakan, diantaranya; mendengarkan musik, revisi lirik, dan improvisasi. Pilihan musik konseli juga harus diperhatikan oleh konselor, karena hal itu dapat memberikan informasi bermanfaat tentang sifat masalah mereka. Terlebih saat ini hampir sebagian besar remaja gandrung akan musik. Mayoritas dari mereka selalu update dan mengikuti industri musik tanah air dan mancanegara. Musik seperti menjadi bagian dari hidup, banyak aktivitas yang dilakukan sambil mendengarkan music (mengerjakan tugas, bersih-bersih rumah, menikmati perjalanan, dll.). Bahkan musik juga menjadi sarana efektif penghantar tidur bagi sebagian orang. Oleh karena itu, konselor dapat berinovasi dengan mengkreasikan musik sebagai teknik pemberian layanan konseling.

9. Konseling Kreatif Play Intervention

Play intervention yaitu intervensi bermain yang dapat membantu konseli dalam berpikir secara berbeda tentang diri mereka, keluarga dan teman-teman, serta masalah sekolah melalui penggunaan kegiatan yang menyenangkan dan tidak mengancam. Bermain juga memberikan kesempatan untuk sosialisasi dan keterampilan membangun hubungan (Breen & Daigneault, 1998). Mengingat generasi saat ini yang lebih memilih berlama-lama dengan gadget daripada berinteraksi dengan teman, maka play intervention menjadi strategi efektif bagi konselor dalam memberikan layanan konseling. Langkah ini akan menjadi salah satu upaya agar generasi di era disrupsi ini tidak terlalu candu pada teknologi. Artinya, perkembangan dan kemajuan teknologi dapat digunakan dan dimanfaatkan dalam porsi yang tepat sehingga tidak menggeser nilai dan perilaku sosial serta budaya masyarakat. Melalui implementasi play intervention ini diasumsikan dapat mereduksi tingkat egosentris generasi remaja yang saat ini sudah pada taraf kritis.

 

 

Jumadi Mori Salam Tuasikal, S.Pd., M.Pd

A. Pendahuluan

Penerapkan guru bimbingan dan konseling peka dan tanggap terhadap adanya keragaman peserta didik dan adanya perbedaan karakteristik yang mendasar antar anak berkebutuhan khusus yang satu dengan lainnya, dan antara guru bimbingan dan konseling sendiri dengan peserta didik. Guru bimbingan dan konseling Harus sadar akan implikasi diversitas disabilitas anak terhadap proses bimbigan dan konseling.an layanan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus mengharus

Fokus Program dan Praktik bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus ini bermaksud memberikan kesempatan kepada calon Guru bimbingan dan konseling untuk memperoleh pengalaman secara langsung memberikan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik dengan latar belakang masalah yang bervariasi.

B. Tujuan

  1. Tujuan Umum: kegiatan praktik ini adalah agar calon guru bimbingan dan konseling memperoleh pengalaman langsung secara luas di lapangan dalam menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling kepada anak berkebutuhan khusus di sekolah.

2. Tujuan Khusus:

    1. Mengidentifikasi karakteristik dan keberagaman yang berbeda dari daripada anak-anak berkebutuhan khusus.
    2. Mengidentifikasi berbagai permasalahan yang ada dan mengidentifikasi apa yang dialami oleh anak berkebutuhaan khusus.
    3. Menyelenggarakan kegiatan layanan bimbingan dan konseling sesuai dengan permasalahan yang ada pada anak berkebutuhan khusus.
    4. Mencatat dan melaporkan variasi pada pertumbuhan dan perkembangan yang dijumpai pada anak berkebutuhan khusus dan implikasinya dalam pelayanan bimbingan dan konseling.

C. Kerangka Kerja

1. Strategi

Pengelolaan Program dan Praktik pelayanan pada anak berkebutuhan khusus dimulai dengan pembahasan (review) tentang esensi dan kerangka kerja bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus, serta kajian tentang karakteristik dan isu-isu pada anak berkebutuhan khusus dari berbagai segi; ragam anak berkebutuhan khusus, factor penyebab, masalahyang dialami, strategi, teknik dan pendekatan layanan, serta program perencanan pembelajaran atau pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus.

2. Volume

    1. Dengan mempelajari berbagai perbedaan yang diperkirakan ada pada anak berkebutuhan khusus, calon guru bimbingan dan konseling dapat menetapkan lokasi sekolah tertentu yang minimal memiliki tiga variasi kondisi yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, misalnya di dalamnya terdapat : (1) anak berkelainan fisik, (2) anak berkelainan mental/emosional dan (3) anak berkelainan akademik.
    2. Calon guru bimbingan dan konseling melakukan kegiatan identifikasi di lokasi tersebut terhadap: 1) Aspek-aspek dari tiap karakteristik yang berbeda mulai yang umum hingga yang khusus pada anak berkebutuhan khusus. 2) Permasalahan tertentu yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus.
    3. Berdasarkan hasil identifikasi masalah di atas, calon guru bimbingan dan konseling melalukan berbagai jenis pelayanan bimbingan dan konseling kepada anak berkebutuhan khusus.
    4. Kegiatan jenis layanan lainnya dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan anak di lokasi yang dimaksud.
    5. Untuk setiap kegiatan layanan dilakukan evaluasi (segera, jangka pendek, dan jangka panjang) serta melakukan tindak lanjutnya.
    6. Setiap penyelenggaraan layanan dicatat dengan menggunakan format yang telah ditetapkan

3. Pelaporan

    1. Pada pertemuan mingguan perkuliahan (terjadwal) proses dan hasil-hasil kegiatan dilaporkan, didiskusikan, dan dianalisis, selanjutnya kegiatan untuk minggu berikutnya didiskusikan dan direncanakan.
    2. Laporan akhir perkuliahan disusun secara tertulis yang isinya meliputi : 1) Hasil identifikasi aspek-aspek pad karakteristik anak yang berbeda dari sasaran kegiatan, dan 2) Sasaran, jenis layanan, proses, isi dan hasil-hasil layanan, serta aplikasi secara khusus aspek-aspek tertentu (yang berbeda) dari sasaran praktik.

D. Tempat dan Waktu

  1. Tempat Perkuliahan: pembelajaran secara teoritis untuk perdalam wawasan. pengetahuan, nilai dan sikap (WPKNS) calon guru bimbingan dan konseling dilakukan perkuliahan bertempat di Pusat Pelayanan Konseling dan Psikologi (PPKP) Universitas Negeri Gorontalo.
  2. Praktik Lapangan: Praktik pelayanan pada anak berkebutuhan khusus dilaksanakan di Lokasi yang telah ditentukan berdasarkan hasil identifikasi daripada dosen pengampu mata kuliah dan dibantu oleh mahasiswa.
  3. Waktu: Waktu penyelenggaraan praktik anak berkebutuhan khusus di lapangan  pada  bulan maret sampai dengan bulan semester genap. 

E. Persiapan Mahasiswa

1. Persiapan Akademik

Persiapan akademik yang dilakukan adalah mengkaji ulang pemahaman konsep dasar dan menyegarkan serta meningkatkan pemahaman tentang bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus dengan bebagai problematikanya. Materi yang dikaji adalah sebagai berikut :

    1. Konsep dasar Pendidikan/bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus
    2. Karakteristik Tunanetra, Tunarungu, Tunalaras, Tunadaksa, Tunagrahita, Anak berkebutuhan khusus dan anak berkesulitan belajar Persyarakat konselor lintas budaya
    3. Layanan Pendidikan anak berkebutuhan khusus
    4. Model Pendidikan anak berkebutuhan khususPendekatan Pendidikan anak berkebutuhan khusus
    5. Pelaksanaan Layanan Pendidikan anak berkebutuhan khusus
    6. Kerangka kerja Bimbingan dan Konseling anak berkebutuhan khusus, yang meliputi : (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) Evaluasi, (4) Analisis Hasil Evaluasi, (5) Tindak Lanjut, dan (6) Laporan.

2. Persiapan Administratif

Dalam pelaksanaan praktik mata kuliah anak berkebutuhan khusus, ada beberapa persiapan administrasi yang perlu dilaksanakan, yaitu :

    1. Mengurus perijinan dan survei tempat praktik bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus.
    2. Merancang pengelolaan program dan praktik bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tempat praktik.
    3. Mempersiapkan berbagai format kerja yang diperlukan dalam penyelenggaraan bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus.

3. Persiapan Fisik dan Psikis

Selain beberapa persiapan di atas, ada pula persiapan yang sangat menentukan suksesnya pelaksanaan praktik layanan bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus, yaitu :

    1. Mengelola dan mengatur kondisi dan energi fisik-psikis agar dapat mengelola layanan bimbingan dan konseling pada anak berkebutuhan khusus dengan prima dan optimal.
    2. Menjaga dan mentaati komitmen dan kode etik profesi konseling.

F. Usaha Mendapatkan Target Layanan

Usaha untuk mendapatkan target layanan yang akan diberikan layanan, dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya :

  1. Pemberian layanan informasi tentang pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak –pihak terkait.
  2. Bekerjasama dengan para guru dan perangkat sekolah.
  3. Berpartisipasi aktif dalam kelompok masyarakat dan organisasi setempat.
  4. Berkunjung secara langsung pada keluarga-keluarga yang ada di masyarakat.