Ryan Hidayat Rafiola, Permata Sari, Mardia Bin Smith, Ilham Khairi Siregar, Jumadi Mori Salam Tuasikal

Abstrak

Perkembangan teknologi dan informasi memberikan dampak yang signifikan pada perilaku remaja. Tidak hanya dampak positif, namun dampak negatif juga diterima remaja yang belum mampu menyaring dan mengontrol diri. Untuk itu, perlu adanya strategi yang tepat untuk mendampingi remaja yang berada pada masa pubertas, salah satunya melakukan pelatihan konselor sebaya. Metode kegiatan ini menggunakan model pelatihan dan bimbingan untuk membentuk konselor sebaya di SMA Negeri 1 Poso. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pembentukan konselor sebaya dapat membantu berbagai permasalahan remaja yang tidak bisa diakses guru BK, terutama mengenai pergaulan remaja. Diharapkan pembentukan kelompok konselor sebaya menjadi model baik untuk ditiru sekolah lain.

Keywords: Konselor Sebaya; Perkembangan Remaja

Full Text: PDF DOWNLOAD

Publish: Vol 1 Nomor 1 Desember 2022: ABDIKA: Jurnal Pengabdian Pedagogika

KONSELING KELUARGA

06 September 2022 11:00:10 Dibaca : 5357

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

1.    Hakikat Keluarga

Pernikahan merupakan salah satu proses kehidupan yang sepantasnya dilaksanakan oleh manusia dewasa yang memiliki kesiapan matriil dan psikologis untuk menjalankan pernikahan itu. Allah Yang Mahakuasa juga mewajibkan  menikah bagi orang-orang dewasa yang berkemampuan dan berkesiapan mental untuk membina dan mempertahankan pernikahannya. Departemen agama telah mempunyai program untuk pembinaan kesiapan orang-orang yang yang akan menikah, yaitu memberikan nasehat pernikahan sewaktu akad nikah dilaksanakan oleh calon pengantin. Program itu bertujuan untuk menjadikan para calon pengantin memahami tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam menjalankan pernikah dengan bahagia dan berkekalan. Keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak , baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.

 2.    Fungsi Keluarga

Esensi pelayanan konseling keluarga adalah membantu keluarga agar harmonis dan berbahagia. Tipe keluarga pada umumnya dibedakan menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga yang diperluas (extended family). Beberapa karakteristik keluarga yang bahagia, yang menjadi keluaran (outcome) dari konseling keluarga antara lain : (1) menunjukkan saling penyesuaian yang tinggi, (2) menunjukkan kerja sama yang tinggi, (3) mengekspresikan perasaan cinta kasih sayang, altruisi dan teman sejati dengan sikap dan kata-kata (terbuka), (4) tujuan keluarga difokuskan kepada kebahagiaan anggota keluarga, (5) menunjukkan komunikasi yang terbuka, sopan, dan positif, (6) menunjukkan budaya saling menghargai dan memuji, (7) menunjukkan budaya saling membagi, (8) kedua pasangan menampilkan emosi yang stabil, suka memperhatikan kebutuhan orang lain, suka mengalak, peramah, berkeyakinan diri, memiliki penilaian diri yang tinggi, dan (9) komunikasi dengan 3M, terbuka, dan positif. Keberadaan sebuah keluarga pada hakikatnya untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut : (1) fungsi kasih sayang, yaitu memberikan cinta erotik, cinta kasih sayang, cinta altruistic, dan cinta teman sejati, (2) fungsi ekonomi, (3) fungsi status, (4) fungsi pendidikkan, (5) fungsi perlindungan, (6) fungsi keagamaan, (7) fungsi rekreasi, dan (8) fungsi pengaturan seks. Pada umumnya masalah-masalah yang muncul dalam keluarga adalah berkenaan dengan : (1) masalah hubungan social-emosional antar anggota keluarga, (2) masalah hubungan antar keluarga, (3) masalah ekonomi, (4) masalah pekerjaan, (5) masalah pendidikan, (6) masalah kesehatan, (7) masalah seks, dan (8) masalah keyakinan atau agama.

 3.    Posisi Konseling dalam Keluarga

Pelaksanaan bimbingan dan konseling(utamanya dalam keluraga) pada hakikatnya bertitik tolak pada pemikiran bahwa setiap manusia memiliki keunikan berupa ragam potensi, bakat, minat, kemampuan, dan lain sebagainya. Seperangkat keunikan ini tentunya memerlukan bantuan dan atau bimbingan  yang khusus (terstruktur dan dinamis) dalam rangka memperoleh ketercapaian kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangga/keluarga. Dalam memberikan pelayanan konseling dalam keluarga, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor yaitu:

1)        Kode pengarahan perilaku konselor

  1. konselor memberikan layanan  secara professional kepada semua orang
  2. konselor tidak boleh memanfaatkan hubungan konseling mereka untuk kepentingan pribadi, agama, politik dan bisnis.
  3. Konselor tidak diperkenankan untuk membayar atau menerima bayaran dalam referal.
  4. Konselor tidak diperbolehkan untuk memberikan layanan kepada klien yang masih berada dalam penanganan dari orang profesional lain
  5. Konselor tidak boleh menghina sesama rekan sejawat
  6. Konselor memiliki kewajiban untuk meneruskan pendidikan dan pengembangan professional
  7. Konselor berusaha menghindari hubungan dengan konseli yang mungkin dapat merusak penilaian professional atau yang menambah risiko karna mengeksploitasi konseli.
  8. Konselor tidak boleh memberikan diagnosis, memberikan resep, mengobati diluar batas-batas kemampuannya
  9. Asosiasi profesi mendorong atau mengajukan para anggotanya untuk bergabung dengan kelompok-kelompok professional

2)        Hubungan dengan konseli

  1. Seorang konselor harus hati-hati memberikan dukungan yang wajar dan penghargaan dalam tahap prognosis
  2. Konselor harus mementingkan pemahaman yang jelas tentang keuangan bersama klien.
  3. Konselor harus membuat catatan-catatan bagi setiap kasus dan menyimpannya dengan aman dan terjamin kerahasiaannya
  4. Konselor mengadakan hubungan dalam semua tahap kehidupan, menghargai setiap waktu terhadap hak-hak konseli untuk membuat keputusan mereka sendiri.

 Esensi konseling keluarga sebagai salah satu layanan profesional seorang konselor didasari oleh asumsi dasar sebagai berikut.

  1. Sakit atau bermasalahnya seorang anggota keluarga (gangguan psikis) bukan selalu disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh karena interaksinya yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain.
  2. Walaupun satu atau lebih anggota keluarga berfungsi dengan baik atau penyesuaian dirinya baik, akan tetapi jika ada sebagian anggota keluarga yang lain mengalami maladjusment, maka anggota keluarga yang sehat itu akan terpengaruh.
  3. Keluarga dapat menampakkan dirinya untuk mencapai keseimbangan emosional melalui aktivitas konseling keluarga.
  4. Hubungan di antara kedua orang tua akan mempengaruhi hubungan semua anggota keluarga.

   Mempertegas asumsi di atas, Perez (1979) menyatakan sebagai berikut:

Is the system approach to family therapy which is very much in vogue. This approach focuses on the family current problems (the now is the issues). How family members interactive closely observed by the systems therapist.Neuroses, event psychosis in a member of the interaction between and among the various family members.The believe is that an individual health is the result of his adaptation to the sick environment created by the family.

Uraian Perez di atas sekurang-kurangnya memuat dua implikasi, yaitu pertama, sakitnya seorang anggota keluarga merupakan hasil adaptasi/interaksinya terhadap lingkungan yang sakit yang diciptakan oleh si keluarga. Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalamai gangguan emosional akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain, sehingga perlu diupayakan melalui konseling keluarga. Biasanya yang terlibat dalam konseling keluarga adalah individu yang menjadi pasangan dalam pernikahan. Namun dapat juga ornag –orang lain seperti anak, mertua dan lain-lainnya  tergantung kepada siapa saja yang berperan dalam permasalahan keluarga itu.Dalam melaksanakan konseling keluarga sebagian konselor menekankan prosedur penggalian sejarah perkembangan klien dan ada pula yang menekankan kepada kondisi kepribadian klien dan masalah klien pada saat sekarang.Ada pula yang memusatkan pada perasaan di dalam diri dan ada pula yang menekankan pada tingkah laku nyata sekarang.Ada pula konselor memberikan pemecahan langsung dalam bentuk nasehat, dan ada yang menjauhi pemberian nasehat.Pendek kata metode yang dilakukan tergantung kepada pelatihan yang diterima, pengalaman pengalaman dan filsafat mendasari praktik itu dan diyakini oleh konselor sebagai teori yang tepat.

Konselor harus berusaha menenangkan perasaan klien, jika dia menunjukkan perasaan negatif dalam konseling. Konselor menyokong tingkah laku klien yang menunjukkan tingkah laku baru yang merupakan  perubahan kearah positif dalam pemecahan masalah pernikahan klien itu. Konselor tidak mengambil tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang cara yang hendaknya dilakukan klien dalam memecahkan masalahnya. Juga konselor tidak membuat perencanaan sendiri tentang cara mengatasi masalah klien. Konseling keluarga dapat dihentikan apabila anggota keluarga yang terlibat dalam proses konseling keluargabisa bekerjaa sama dengan baik sebagai suatu unit atau kelompok untuk memecahkan masalah-masalah mereka dan mengubah perilaku-perilaku mereka yang destruktif. Di samping itu mereka juga telah mampu mengembangkan suatu internal support system dan tidak bergantung kepada orang lain, termasuk tidak bergantung kepada konselor. Indikator-indikator lainnya adalah mereka telah mampu berkomunikasi secara terbuka, eksplisit, dan jelas, mampu melakukan peranan masing-masing secara fleksibel, kekuatan-kekuatan di dalam keluarga seimbang, dan setiap anggota keluarga mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajibannya masing-masing dalam keluarga.

KARAKTERISTIK INTEGRITAS

06 September 2022 09:36:45 Dibaca : 1673

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Gostik & Telford memaparkan ada 10 karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh orang-orang dengan integritas. Integritas adalah konsistensi antara tindakan dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya. Kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial. Jika setiap orang tidak lagi memegang kata-katanya, hubungan fundamental yang berkaitan dengan kepercayaan, seperti perkawinan dan keluarga, berada diambang kehancuran. Jika perusahaan tidak lagi menghormati segala komitmennya, tidak mungkin perdagangan berkembang, karena pada dasarnya kontrak, dimana salah satu pihak menyediakan barang dengan keyakinan bahwa pihak lain akan memberikan kompensasi dimasa depan, tidak terjadi jika janji-janji selalu diingkari. Konselor sebagai tenaga pendidik professional sudah seharusnya memiliki karakter yang menunjukkan bahwa ia memiliki keunggulan integritas. Adapun kesepuluh karakteristik integritas itu adalah :

  1. Menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting: Agar memiliki keunggulan integritas, tidak boleh berbohong dalam hal-hal kecil; dan sebagai hasilnya, tidak akan tergoda oleh hal-hal yang lebih besar- kekuasaan, prestise, atau uang. Hal yang juga penting sebagai orang yang berintegritas adalah setia pada nilai moral internalnya, bahkan bila itu berarti anda harus berhadapan dengan resiko kehilangan tempat yang nyaman di dunia.
  2. Menemukan yang benar (saat yang lain melihat warna abu-abu): Untuk mendapatkan keunggulan integritas, seseorang tidak boleh mengambil keputusan sendiri. seseorang mengajukan pertanyaan, menerima saran, berefleksi, dan melihat jauh ke depan. Ringkasnya, pastikan bahwa mengambil keputusan yang tidak bertentangan dengan kode integritas pribadi.
  3. Bertanggung jawab: Untuk memiliki keunggulan integritas, harus menyadari bahwa pencarian integritas merupakan bagian yang integral dari kepemimpinan. Untuk memiliki integritas harus bersikap terbuka dan jujur, mengungkapkan cerita yang baik maupun yang buruk secara lengkap. Selain itu, berbagi semua informasi penting, tidak hanya informasi yang menguntungkan konselor, mengaku ketika berbuat salah, meminta maaf, dan memperbaikinya
  4. Menciptakan budaya kepercayaan: Dengan memiliki keunggulan integritas seseorang membantu menciptakan lingkungan kerja yang benar, memperkuat integritas itu melalui prinsip, control, dan teladan pribadi serta memberikan penghargaan pribadi dalam segala tindakan mereka.
  5. Menepati janji: Untuk memperoleh keunggulan integritas, perlu berlaku penuh integritas, guna memperoleh kepercayaan.
  6. Peduli terhadap kebaikan yang lebih besar: Untuk memiliki keunggulan integritas, hatus berkomitmen sangat kuat untuk memberikan keuntungan terhadap organisasi tempat bernaungnya.
  7. Jujur namun rendah hati: Untuk memiliki keunggulan integritas, tidak memproklamasikan kebaikan atau kejujurannya. Itu seperti menyombongkan kerendahan hati. Hal yang seharusnya dilakukan adalah membuat tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata.
  8. Bertindak sebagai sedang diawasi: Untuk memiliki keunggulan integritas, perlu berfikir bahwa setiap tindakannya selalu diawasi. Selain itu juga perlu memastikan bahwa integritasnya itu diteruskan ke generasi-generasi mendatang melalui teladan yang telah diberikan.
  9. Mempekerjakan Integritas: Untuk memiliki keunggulan integritas, perlu mempekerjakan dan mengelilingi dirinya dengan orang-orang berintegritas tinggi. Selain itu perlu juga mempromosikan orang yang memperlihatkan kemampuan untuk dipercaya.
  10. Konsisten: Untuk memiliki keunggulan integritas, harus memiliki konsistensi dan keterdugaan etis. Hidup mencerminkan keutuhan dan keselarasan antara nilai dan tindakannya.

Sedangkan menurut Cloud (2005) integritas lebih dari sekedar kejujuran. Dalam integritas terdapat enam kualitas karakter yang mendefinisikan integritas, yaitu : 1) mampu terhubung dengan orang lain dan membangun rasa percaya, 2) berorientasi pada kenyataan, 3) menyelesaikan dengan baik, 4) merangkul yang negatif, 5) berorientasi pada peningkatan dan 6) memahami hal-hal transenden. Konselor adalah tenaga pendidik professional. Seorang professional sudah seharusnya menjadi pribadi yang berintegritas tinggi. Untuk menjadi seorang konselor yang berintegritas, konselor sudah semestinya menerapkan karakteristik integritas tersebut.

KONSEP KARAKTER

31 August 2022 14:14:48 Dibaca : 13655

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

Pengertian Karakter

          Karakter merupakan salah satu tolak ukur manusia dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Abidin (2012:33) yaitu “Karakter berasal dari bahasa Yunani kasairo yang berarti cetak biru atau format dasar. Berdasarkan asal katanya karakter dianggap sebagai sekumpulan kondisi yang dimiliki oleh seseorang. Kondisi ini biasanya bersifat bawaan ataupun bentukan. Kondisi yang bersifat bentukan inilah yang kemudian melandasi pemikiran bahwa karakter dapat dibentuk yang salah satu caranya adalah melalui pendidikan”. Sementara itu, pendapat yang sama disampaikan oleh Kurniawan (2016:28) bahwa “Istilah karakter yang dalam bahasa Inggris character, berasal dari istilah Yunani, chacacter dari kata charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam. Karakter juga dapat berarti mengukir. Sifat utama ukiran adalah melekat kuat diatas benda yang diukir. Karena itu, Wardani seperti dikutip Endri Agus Nugraha menyatakan bahwa karakter adalah ciri khas seseorang dan karakter tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya karena karakter terbentuk dalam lingkungan sosial budaya tetentu”. Karakter seperti yang dikutip dari kamus besar bahasa Indonesia Depdiknas 2008a (dalam Abidin, 2012:34) yaitu “Karakter marupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai nilai yang unik, baik, yang terpatri dalam dari dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang”.

          Ahli psikologi memendang karakter sebagai sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Berdasarkan konsep ini karakter dapat dipandang sebagai sikap dan prilaku seseorang. Artinya, karakter merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu objek yang disertai dengan kecenderungan berperilaku sesuai dengan cara pandangnya tersebut. Tinjauan teoretis perilaku berkarakter secara psikologis merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotien (IQ), Emotional Quotien (EQ), Spiritual Quotien (SQ), dan Adverse Quotien (AQ) yang dimiliki oleh seseorang. (Abidin, 2012:34). Dalam pandangan agama, seseorang yang berkarakter adalah seseorang yang dalam dirinya terkandung potensi-potensi, yaitu: sidik, amanah, fatonah, dan tablig. Berkarakter menurut teori pendidikan apabila seseorang memiliki potensi kognitif, afektif dan psikomotor yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Menurut teori sosial, seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam menjalin hubungan intrapersonal dalam kehidupan bermasyarakat. Karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berprilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatlah dikatakan orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berprilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Istilah karakter juga erat kaitanya dengan ‘personality’. Seseorang baru bias disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), tetapi juga merasakan dengan baik atau loving the good (moral feeling) dan perilaku yang baik (Abidin, 2012:34).

          Salah satu cara membangun karakter adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang ada, baik itu pendidikan di keluarga, masyarakat, atau pendidikan formal di sekolah harus menanamkan nilai-nilai untuk pembentukan karakter. H. Teguh Sunaryo berpendapat bahwa pendidikan karakter menyangkut bakat (potensi dasar alami), harkat (derajat melalui penguasaan ilmu dan teknologi), dan martabat (harga diri melalui etika dan moral). Sementara menurut Rahardjo, pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan (Kurniawan, 2016:30). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Muchson dan Samsuri (2013:104) bahwa “Ada beberapa nomenklatur untuk merujuk pada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan religius, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan karakter itu sendiri”. Secara rinci Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha (dalam Kurniawan, 2016:30) mendefinisikan “Pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil”. Karakter sebagai pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan sikap-sikap luhur kepada anak didik sehingga mereka mamiliki karakter luhur tersebut, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dengan demikian, pendidikan karakter yang baik sehingga dapat membentuk kepribadian seseorang guna mencapai derajat kesempurnaan dalam berperilaku adalah dengan memadukan kedua unsur yaitu pendidikan dan kebudayaan yang dapat di pelajari secara langsung melalaui lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat tertentu bersama para pelaku pendidikan dan penggiat budaya yang berorientasi pada perbaikan akhlak manusia sehingga dapat dikatakan individu tersebut telah kembali pada fitrah penciptaannya.

Nilai-nilai Karakter

          Menurut pendapat Kurniawan (2016:39) bahwa “Karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebaikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional”. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pengembangan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber (Kurniawan, 2016:39-40), sebagai berikut:

  • Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaan. Secara politis, kehidupa kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
  • Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
  • Ketiga, Budaya. Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang sedemikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidika budaya dan karakter bangsa.
  • Keempat, tujuan Pendidikan Nasional. UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas disebutkam bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi beberapa nilai karakter di lingkungan masyarakat (Kurniawan, 2016:205-218), sebagai berikut:
        1.  Religius: Seperti telah diuraikan bahwa tempat-tempat ibadah dapat menjadi pusat penyemaian nilai-nilai karakter masing-masing individu di masyarakat, khususnya nilai-nilai religius. Masjid misalnya, banyak sekali kegiatan-kegiatan religius yang dapat diselenggarakan oleh masjid, baik yang bersifat rutin maupun temporer. Kegiatan rutin seperti shalat fardhu berjamaah, kultum, kajian kitab yang diselenggarakan setelah shalat maghrib berjamaah, pengajian bulanan, TPA untuk anak-anak yang ingin belajar membaca Al Quran, dan lain-lain. Sementara kegiatan temporer seperti peringatan hari-hari besar Islam dan kegiatan bulan suci Ramadhan. Disamping kegiatan yang sifatnya ritual, juga dapat diselenggarakan kegiatan sosial terutama untuk masyarakat sekitar, seperti kunjungan remaja masjid ke panti asuhan, sntunan fakir miskin dan anak yatim, santunan massal dan lain-lain. Kegiatan diatas diharapkan dapat membentuk karakteristik religius personal atau kelompok jamaah masjid yang religius dan ber-akhlakul karimah.
        2. Jujur: Kejujuran adalah lawan dari dusta dan memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana dengan fakta. Jujur dapat dimaknai sebagai kebenaran. Artinya, jika tidak ada kebenaran dalam sebuah berita yang disampaikan seseorang, ia dapat disebut tidak jujur. Jujur juga bermakna keselarasan. Selain jujur dalam ucapan, kejujuran terdapat juga pada perbuatan. Boleh jadi ini lebih bersifat individual, dimana seseorang bisa disebut jujur ketika ia melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan batinnya.
        3. Toleransi: Peran tokoh agama dan tokoh masyarakat terutama dalam mensosialisasikan secara terus-menerus kepada warga masyarakat tentang pentingnya mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, bersikap lapang dada, menerima perbedaan, saling pengertian, kesadaran dan kejujuran. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar keagamaan atau kegiatan-kegiatan seremonial di masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mensosialisasikan hal tersebut. Selain itu peran aparat penegak hukum juga diperlukan terutama dalam mencegah timbulnya sikap-sikap intoleran di masyarakat. Maka, aparat penegak hukum harus lebih aktif mencegah sikap-sikap intoleran di masyarakat. Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran lebih terorganisasi dan menggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran.
        4. Disiplin: Kedisiplinan masyarakat kita tergolong rendah, contohnya dalam berlalu lintas. Terhadap peraturan traffic light, masyakat hanya taat karena ada pihak kepolisisan yang berjaga-jaga di daerah tersebut. Namun, ketika pihak kepolisian tidak ada yang berjaga-jaga, para pengendara motor dan mobil sering mengabaikan rambu-rambu lalu lintas khususnya di persimpangan yang menggunakan traffic light. Padahal, melalaui edukasi soal tata tertib lalu lintas dan penegakan hukum yang maksimal secara tidak langsung masyarakat dapat belajar untuk berdisiplin. Seperti yang kita ketahui, disiplin adalah salah satu di antara karakter-karakter yang penting untuk kita kembangkan.
        5. Kerja Keras: Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa kerja keras adalah kunci utama untuk meraih kesuksesan dan kebahagian dalam hal apapun. Sudah pasti memperoleh sesuatu itu bukanlah perkara yang gampang semudah membalikan telapak tangan atau hanya dengan meminta, melainkan sekali lagi harus dengan kerja keras. Kerja keras adalah bekerja dengan waktu yang cukup lama dan energi sebesar mungkin. Agar bisa memberikan energi yang besar dalam bekerja, artinya seorang harus fokus pada pekerjaannya. Itulah cara memberikan energi terbesar. Kerja keras juga berarti perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyaelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kerja keras merupakan suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai apa yang ia inginkan dalam hidup ini. Tanpa kerja keras dan bermalas-malasan tentu akan sulit mencapai tujuan. Makna lain dari kerja keras adalah berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan keinginan pencapain hasil yang maksimal.
        6. Demokratis: Pemilu merupakan ekspresi perilaku politik yang mampu menjadi indikator dalam menunjukan kematangan dalam berpolitik dan berdemokrasi, mulai dari lingkup individu, komunitas dan golongan, maupun secara nasional. Proses pemilu, baik dalam memilih anggota legislatif pusat dan derah, maupun memilih presiden dan wakil presiden, memerlukan ragam tahapan yang saling berkesinambungan. Mulai dari penysunan undang-undang, peraturan pemerintah, pembentukan institusi, pelaksana dan pengawas pemilu, legalitas partai-partai politik peserta pemilu, penetuan para calon legislatif, penentuan calon presiden dan wakil presiden, sampai penyusunan daftar pemilih yang berhak mengikuti pemilu. Ragam tahapan yang berkesinambungan tersebut merupakan rangkaian proses sebagai sebuah pembuktian berjalannya demokrasi pada jalurnya.
        7. Cinta Tanah Air: Mengingat pentingnya rasa cinta tanah air ini, sudah semestinya dapat di tumbuh-kembangkan pada setiap warga masyarakat. Beberapa hal positif yang dapat dikembangkan di lingkungan masyarakat untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, di antaranya;

1)      Menyanyikan Lagu Kebangsaan pada setiap kegiatan-kegiatan resmi di lingkungan masyarakat;

2)      Mengibarkan Bendera Merah Putih pada momen-momen hari besar nasional;

3)      Memperingati hari besar nasional dengan kegiatan lomba atau pentas budaya;

4)      Menggunakan batik pada hari batik nasional dan lain-lain

        1. Bersahabat/Komunikatif: Gotong royong merupakan warisan budaya nenek moyang dan tradisi positif di tengah masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong harus dipelihara dan pertahankan di tengah perkembangan gaya hidup modern dan perkembangan teknologi saat ini, karena dapat menjadi sarana bagi warga untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Di dalam gaya modern sekarang ini, kecendrungan gotong royong berkurang karena semua dimudahkan oleh kemajuan teknologi yang ada. Dengan demikian, kecendrungan gaya hidup individual, tidak peduli terhadap lingkungan sekitar muncul. Untuk itulah, budaya gotong royong harus dijaga dan dipertahankan.
        2. Cinta Damai: Situasi dan kondisi aman, tertib serta tentramnya kehidupan masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam tercapainya tujuan nasional, ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentuan yang mengandung kemampuan dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang meresahkan masyarakat.
        3. Peduli Lingkungan: Kepedulian lingkungan perlu ditumbuhkan di kalangan masyarakat. Seperti dapat difahami, semakin berkembangnnya zaman dan teknologi, lingkungan adalah salah satu yang mengalami dampak buruk. Hutan misalnya, banyak hutan yang ditebangi secara liar. Padahal, hutan memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Dengan demikian, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan termasuk hutan dalam hal ini perlu ditumbuhkan. Untuk itu, baik pemerintah, swasta, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain hendaknya dapat secara kontinu mensosialisasikan pentingnya kepedulian terhadap lingkungan ini.
        4. Tanggung Jawab: Sikap tanggung jawab perlu ditumbuhkan di kalangan masyarakat.  Sikap ini salah satunya dapat di tumbuhkan dengan cara membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat, misalnya dalam usaha memelihara ketertiban dan meminimalisasi kasus-kasus kejahatan. Maka, masyarakat dapat dilibatkan polisi untuk ikut bekerja sama dalam memecahkan persoalan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat terlarang, gangguan keamanan, dan masalah lain yang dapat mengganggu ketentraman masyarakat.

KONSEP EMPATI

30 August 2022 19:13:48 Dibaca : 28035

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

Pengertian Empati

          Empati berperan meningkatkan sifat kemanusiaan, keadaban dan moralitas untuk menimbulkan rasa simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. “Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang terhahadap berbagai macam hal, menjadi pendengar dan penanya yang baik” (Budiningsih, 2008:48). Betapa seringnya sekarang menemukan anak yang bertutur kata kurang sopan, kurang memperdulikan dan memahami kesulitan teman. Menurut May (2010:75), bahwa: “Empati merupakan suatu dasar di dalam pengalaman artistik jika ingin merasakan suatu objek secara estetis, dengan cara tertentu orang harus mengidentifikasi diri dengan objek tersebut”. Orang-orang bicara bahwa musik mengangkatnya keawang-awang, biola mendetingkan dawai-dawai emosi, atau perubahan warna saat matahari tenggelam menciptakan perubahan senada di dalam rasa. Carl Gustav Jung (dalam May, 2010:75), bahwa: “Empati sebagai pusat teorinya tentang estetika, bila orang memandangi suatu objek artistik maka ia menjadi objek tersebut, ia mengidentifikasikan diri dengannya, dan dengan cara itu ia menyingkirkan dirinya sendiri”.

           Tatanan masyarakat semakin acuh tak acuh hingga nilai-nilai kegotong royongan pada masyarakat semakin luntur. Lingkungan masyarakat yang demikian dapat menjadi pemicu tumbuh kembang anak menjadi orang yang individualis dan kurang memiliki rasa empati terhadap sesama. Kohut (dalam Taufik, 2012:40) bahwa: “Melihat empati sebagai suatu proses dimana seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada posisi orang lain itu”. Selanjutnya, dengan melakukan penguatan atas definisinya itu dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam orang lain. Rogers (dalam Sutanti, 2015:191) bahwa: “ empathy as the ability to perceive the internal frame of reference of another with accuracy and with the emotional component and meaning with pertain thereto as if one were the person without ever losing the as if condition. Empati adalah kemampuan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain dengan tepat, dan tanpa kehilangan kondisi nyata”.

           Memahami orang lain menjadikan individu tersebut seolah-olah masuk dalam diri oran lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain itu. Hurlock (1980:118) mengemukakan bahwa: “Empati membutuhkan pengertian tentang perasaan-perasaan dan emosi orang lain tetapi di samping itu juga membutuhkaen kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain”. Relatif hanya sedikit anak yang dapat melakukan hal ini sampai awal masa kanak-kanak berakhir. Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan para ahli, dapat disimpulkan bahwa empati sebagai suatu proses dimana seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada posisi orang lain itu, disinilah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain.

 Aspek-Aspek Empati

          Empati sebagai sesuatu yang jujur, sensitife dan tidak dibuat-buat didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Menurut Saam (2014:46), bahwa: Ada lima aspek empati, yakni:

  1. Kemampuan menyesuaikan/menempatkan diri. Memiliki kemampuan menyesuaikan/menempatkan diri dengan keadaan diri dan orang lain. Hal tersebut mencerminkan kepribadian yang pandai berempati.
  2. Kemampuan menerima keadaan, posisi atau keputusan orang lain. Hasil dan apa yang dilihat, diperhatikan, dirasakan, memengaruhi keputusan diri untuk bisa menerima atau menolak.
  3. Komunikasi. Komunikasi tercermin dan bagaimana seseorang menyampaikan informasi, kejelasan informasi dan ketepatan cara berkomunikasi memengaruhi diri untuk berempati.
  4. Perhatian. Orang-orang yang berempati biasanya adalah orang-orang yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap banyak hal yang terjadi disekitarnya, kemudian ia merasakan dan berempati.
  5. Kemampuan memahami posisi dan keadaan orang lain. Setelah, melihat mendengar, memerhatikan orang akan mendapatkan pemahaman sehingga orang tersebut bersikap sebagaimana orang lain menginginkannya bersikap.

Berdasarkan uraian aspek-aspek empati, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penelitian ini aspek-aspek yang dipakai sebagai acuan untuk melaksanakan penelitian yakni aspek-aspek empati yang meliputi 5 (lima) aspek, yaitu: (a) kemampuan menyesuaikan/menempatkan diri, (b) kemampuan menerima keadaan, (c) komunikasi, (d) perhatian, (e) kemampuan memahami posisi dan keadaan orang lain.

Manfaat Empati

          Empati menjadi salah satu sikap yang harus dipelihara setiap orang, karena dengan berempati seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, lebih membuka diri dengan orang lain dan tentunya akan menjadikan hidup seseorang lebih bermakna bagi diri seseorang. Anonim (dalam Heryanto, 2016:48) bahwa: “Manfaat empati antara lain: (a) empati memudahkan Anda untuk berhubungan baik dengan orang lain; (b) empati membuat Anda memiliki kepercayaan dari orang lain; (c) empati membuat Anda menjadi pribadi dengan memiliki pemikiran yang lebih matang; (d) empati membuat Anda  menjadi  pribadi  yang  bijaksana dalam  menghadapi  berbagai  situasi dalam  kehidupan  Anda;  (e)  empati  memudahkan  Anda  mengelola  emosi Anda yang tentunya sangat berpengaruh terhadap apa yang Anda kerjakan dan;  (f)  empati  membuat  Anda  mampu  keluar  dari  berbagai  situasi  sulit dalam   hidup   Anda,   seperti   kegagalan”. Kepedulian   terhadap   empati sebenarnya akan memberikan perubahan perilaku empathizer menjadi pribadi yang lebih baik untuk meraih sukses. Empati perlu dipelihara setiap orang, karena dengan berempati kita dapat merasakan apa yang dirasakan setiap orang lain, lebih membuka diri dengan orang lain dan tentunya akan menjadikan hidup kita lebih bermakna bagi diri kita dan orang lain.

Ada beberapa manfaat empati Menurut Goleman (2007:115), bahwa: Yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala seseorang mempunyai kemampuan berempati di antaranya:

  1. Menghilangkan sikap egois: Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika seseorang dapat merasakan apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami perilaku orang tersebut, maka seseorang tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk kepentingan diri orang lain tetapi orang itu akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan kepada orang lain.
  2. Menghilangkan kesombongan: Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang telah terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri orang tersebut. Manakala kita membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri seseorang jika Tuhan berkehendak.
  3. Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri: Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha seseorang untuk melakukan evaluasi diri sekaliguas mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari bagaimana orang tersebut akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri seseorang. Jika seseorang telah mempunyai kemampuan ini maka orang itu telah dapat mengembangkan kemampuan evaluasi diri yang baik dan akhirnya dapat melakukan kontrol diri yang baik.

 Berdasarkan manfaat empati yang telah diuraikan, dapat disimpulkan manfaat dari empati yakni, memberikan kemudahan untuk berhubungan baik dengan orang lain, menimbuhkan rasa percaya diri, memiliki pribadi yang lebih matang, menjadikan pribadi yang bijaksana dalam mengahadapi situasi kehidupan, melatih pribadi yang dapat mengolah emosi dan mampu keluar dari kesulitan hidup yang dialami individu tersebut. Dengan manfaat dari empati ini akan memberikan pengaruh yang positif berupa menghilangkan sikap egois, menghilangkan kesombongan serta mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri

Komponen-Komponen Empati

          Empati terdiri atas dua komponen, yakni kognitif dan afektif, ada perbedaan  pendapat sehubungan dengan komponen mana yang lebih menonjol, apakah komponen kognitif lebih menonjol dibandingkan komponen afektif, ataukah sebaliknya komponen afektif lebih menonjol dibandingkan komponen kognitif, atau bahkan keduanya dalam level yang sama. “Para teoritikus kontemporer menyatakan bahwa empati terdiri atas dua komponen, kognitif dan afektif” (Taufik, 2012:43). Selain dua komponen tersebut beberapa teoritikus lainya menambahkan aspek komunikatif seebagai faktor ketiga. Komponen komunikatif sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya, atau sebagai media ekspresi atau relalisasi dari komponen kognitif dan afektif. Menurut taufik (2012:44), bahwa: Komponen-komponen empati yakni:

  1. Komponen Kognitif: Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap persaan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa ilmuwan bahwa proses kognitif sangat berperan penting dalam proses kognitif sangat berperan penting dalam proses empati. Komponen kognitif juga sebagai kemampun untuk memperoleh kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dari memori dan kemampuan untuk memproses informasi semantik melalui pengalaman-pengalaman.
  2. Komponen Afektif: Empati sebagai aspek afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman emosional pada orang lain. Aspek empati ini terdiri atas simpati, sensitivitas, dan sharing penderitaan yang dialami orang lain seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri sendiri. Empati afektif dapat dikatakan suatu kondisi dimana pengalaman emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami bersama dengan orang lain.
  3. Komponen Komunikatif: Komponen ketiga dari empati yaitu komunikatif. Munculnya komponen komunikatif didasarkan pada asumsi awal bahwa komponen afektif dan kognitif akan tetap terpisah bila keduanya tidak terjalin komunikasi. Komunikatif yaitu perilaku yang mengeksprsikan perasaan-perasaan empatik. Komponen empati komunikatif adalah ekspresi dari pikiran-pikiran empatik dan perasaan-perasaan terhadap orang lain yang dapat diekspresikan melalui kata-kata dan perbuatan-perbuatan.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa empati terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif beruepa pemahaman atas kondisi orang lain, komponen afektif yang berarti kemampuan menyelaraskan pengalaman emosional pada orang lain dan komponen komunikatif yang menjembatani antara komponen kognitif dan afektif.

REFERENCE

  1. Budiningsih, Asri. 2008. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
  2. Goleman, D. 2007. social intelligence: Ilmu baru tentang Hubungan antar Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  3. Heryanto. 2016. Pembinaan Keluarga Broken Home. Jurnal Edueksos Volume V No 1, Juni 2016, hlm 48.
  4. Hurlock, B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
  5. May, Rollo. 2010. Seni konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  6. Saam, Zulfan. 2014. Psikologi Konseling. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  7. Sutanti. 2015. Efektivitas Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Empati Mahasiswa Prodi Bk Universitas Ahmad Dahlan. Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling Vol. 1 No. 2, hlm 191-193.
  8. Taufik. 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.