KATEGORI : KENAKALAN REMAJA

PERUNDUNGAN

13 July 2023 12:43:20 Dibaca : 5355

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

Pengertian Perundungan

Bullying berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata bull yang berarti banteng yang senang menyerunduk kesana kemari, istilah ini akhirnya diambil menguraikan suatu tindakan destruktif. Sedangkan dalam bahasa Indonesia secara etimologi kata perundungan berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah (Novan.2012;11). “Bullying is a repeated aggressive behavior where one person (or group of people) in a position of power deliberately intimidates, abuses, or coerces an individual with the intention to hurt that person physically or emotionally(EDC learning trasform live)”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,Anies Baswedan lebih cenderung menggunakan kata “perundungan” atau “rundung” bagi padanan istilah bullying. Perkataan perundungan atau rundung dapat mewakili istilah bullying yang bermakna mengganggu korbannya atau mengusik secara terus-menerus seperti melakukan intimidasi, penghinaan, pemalakkan, pemukulan, penindas atau penganggu orang lain yang lebih lemah sehingga korban terlukan atau depresi(Baswedan.2016;1).

Olweus (1993;34) mendefinisikan perundungan mengandung 3 unsur mendasar yaitu bersifat menyerang (agresif), dilakukan secara berualang kali dan adanya ketidakseimbang kekuatan antar pihak yang terlibat.Contoh perilaku perundungan antara lain: mengejek, menyebarkan rumor, menghasut, mengucilkan, menakut- nakuti (intimidasi), mengancam, menindas, memalak, atau menyerang secara fisik. Sebagian orang berpendapat bahwa perilaku perundungan tersebut merupakan hal sepele atau normal dalam tahap kehidupan manusia atau dalam kehidupan sehari-hari.

Namun faktanya, perilakumerupakan learned behaviors karena manusia tidak terlahir sebagai penggertak dan pengganggu yang lemah. Perundungan merupakan perilaku tidak normal, tidak sehat, dan secara sosial tidak bisa diterima. Hal yang sepelepun kalau dilakukan secara berulang kali pada akhirnya dapat menimbulkan dampak serius dan fatal.

Menurut Olweus (1993;43) perundunganatau Bullying diindentifikasikan dua subtipe perundungan yaitu perilaku secara langsung (Direct Bullying) misalnya penyerangan secara fisik dan perilaku secara tidak langsung (Inderect bullying) seperti pengucilan secara sosial atau sosial aggression

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perundungan adalah perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalanggunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menakuti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik.  Ketidakseimbangan antara pelaku dan korban bisa bersifat nyata maupun bersifat perasaan. Perundungan dapat terjadi dimana saja. Adapun tempat-tempat terjadinya antara lain: sekolah, tempat kerja, internet, lingkungan politik, lingkungan militer dan perpoloncoan.

Dalam kasus perundungan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korbannya menghalangi kedua untuk menyelesaikan konflik mereka sendiri sehingga perlu kehadiran pihak ketiga. Sebagai contoh anak kecil mendapat perlakuan perundungan dari teman sebayanya, perlu bantuan orang dewasa. Apabila perilaku perundungan dilakukan disekolah maka pihak ketiga yang menyelesaikan masalahnya adalah guru bimbingan konseling sebagai orang tua atau dewasa yang sedang mebimbing pertumbuhan fisik dan psikis mereka.

Perundungan adalah perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006;35). Menurut Coloroso (2007;64) perundungan merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulangulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Sullivan, Cleary & Sullivan (2005;342) perundungan adalah tindakan agresi atau manipulasi atau pengucilan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan berulang-ulang oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain. Berdasarkan pengertian perundungan dapat disimpulkan bahwa perundungan merupakan tindakan agresi yang dilakukan oleh pelaku secara sadar dan berulang-ulang kepada individu atau kelompok lain yang bertujuan untuk melukai secara verbal, fisik dan emosional. Tindakan yang dilakukan melalui perundungan akan menyisakan dampak trauma bagi korban dan mengakibatkan perilaku-perilaku baru yang dapat merugikan korban.

Dalam memahami perundungan ada beberapa hal yang harus dikenal sebagai tanda-tanda perundungan. Menurut Coloroso (2007;75) perundungan mengandung tiga elemen yaitu kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya ancaman akan dilakukannya agresi. Olweus (2006;57) perundungan memiliki tiga unsur yaitu menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Tanda-tanda perundungan akan membantu dalam mengenal pelaku sebelum melakukan perundungan hal ini akan dapat mencegah lebih awal proses terjadinya perundungan.

Ada beberapa bentuk perundungan yang sering terjadi pada korban sehingga menimbulkan trauma. Menurut Sullivan, Cleary & Sullivan (2005; 354) yaitu perundungan fisik merupakan tindakan yang yang dilakukan pelaku melalui tindakan fisik atau menyentuh korban seperti memukul, menendang, meninju, meludahi dan mendorong, perundungan psikologis berupa perundungan verbal dan non verbal. Perundungan verbal yaitu tindakan yang dilakukan pelaku perundungan seperti menghina, mengejek bahkan berbicara kasar, perundungan non verbal yaitu tindakan pelaku perundungan seperti merusak persahabatan melalui fitnah.

Perundungan merupakan tindakan yang agresif, merugikan dan dapat mengakibatkan ketidak nyamanan dan trauma bagi korban. Dampak perundungan menurut Coloroso (2007;80) yaitu mengakibatkan depresi dan kemarahan. Swearer, dkk (2010;197) korban perundungan juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi. Dampak perundungan berakibat sangat mengerikan apabila korban tidak dibantu dalam menyelesaikan masalahnya. Proses pencegahan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan tetapi bagi korban yang sudah mengalami maka diperlukan solusi sehingga masalah yang di hadapinya dapat terselesaikan dan korban dapat keluar dari masalah yang dihadapinya

Bentuk-Bentuk Perilaku Perundungan

Perundungan dapat juga diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk merendahkan, memojokkan, menghina orang lain, hingga membuat korbannya tertekan dan tidak berdaya. Bentuk perundungan itu sendiri bisa bermacam-macam. Sejiwa (2008:2) menjelaskan bahwa perundungan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

a.    Perundungan fisik,

yaitu segala bentuk kekerasan yang menggunakan fisik atau melibatkan serangan fisik. Contoh perundungan fisik antara lain memukul, mendorong, menjambak, menampar, mencubit, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, dan melempari dengan barang.

b.  Perundungan verbal,

yaitu penggunaan kata-kata yang tidak baik untuk menyakiti orang lain sehingga membuat seseorang berada dalam tekanan. Contoh perundungan verbal antara lain menghina, mengejek, mencela, memfitnah, mencemooh atau menyindir, menuduh, dan memaki.

c.  Perundungan psikologis,

yaitu perundungan paling berbahaya karena langsung menyerang mental atau psikologis korban, sehingga meninggalkan luka psikis yang mendalam. Contohnya antara lain memandang sinis, memelototi, menjulurkan lidah, memperlihatkan tatapan yang merendahkan, mempermalukan, mengabaikan, mengucilkan, meneror lewat media sosial, dan lain sebagainya.

Faktor Penyebab Perilaku Perundungan

Akar masalah dan sumber perundungan itu berasal dari lingkungan yang ditempati. Menurut Priyatna (2010:5) bahwa perundungan bisa terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor pribadi, keluarga, dan pergaulan sosial.

1.  Faktor pribadi

Dilihat dari faktor pribadi, perundungan dapat terjadi karena:

a.  Rasa kurang percaya diri dan mencari perhatian. Seseorang yang kurang percaya diri sering kali ingin diperhatikan (salah satunya adalah dengan melakukan perundungan). Dengan melakukan itu, mereka merasa puas, lebih kuat dan dominan.

b.  Perasaan dendam. Seseorang yang pernah disakiti atau ditindas biasanya akan menyimpan rasa dendam yang ingin disalurkan kepada orang lain sehingga orang lain merasakan hal yang sama, salah satunya adalah dengan melakukan perundungan.

2.  Faktor Keluarga

Dilihat dari sisi keluarga, perundungan dapat terjadi karena:

a.  Kurangnya kehangatan, kurangnya pengawasan dan rendahnya tingkat kepedulian orang tua terhadap anaknya.

b.  Pola asuh orang tua yang terlalu permisif (serba membolehkan) sehingga anak pun bebas melakukan tindakan apapun yang dia mau, atau sebaliknya.

c.  Pola asuh orang tua yang terlalu keras sehingga anak menjadi akrab dengan suasana yang membuatnya tertekan dan mengancam.

d.  Sikap orang tua yang suka memberi contoh perilaku perundungan, baik disengaja ataupun tidak. Dan pengaruh dari perilaku saudara-saudara kandung di rumah.

3.  Faktor Pergaulan Sosial

Dilihat dari sisi pergaulan sosial, penyebab perundungan di antaranya:

a.  Suka bergaul dengan anak yang biasa melakukan bullying dan bergaul dengan anak yang suka dengan tindak kekerasan.

b.  Anak agresif yang berasal dari status sosial tinggi dapat saja menjadi pelaku perundungan demi mendapatkan penghargaan dari kawan-kawan sepergaulannya, atau sebaliknya. Anak yang berasal dari status sosial yang rendah pun dapat saja menjadi pelaku tindakan perundungan demi mendapatkan penghargaan dari kawan-kawan di lingkungannya.

c.  Permusuhan dan rasa kesal di antara pertemanan bisa memicu seseorang melakukan tindakan perundungan.

Selain itu, perundungan bisa disebabkan oleh pengaruh negatif dari media, yaitu semakin banyaknya gambaran kekerasan di media baik televisi, internet, dapat menjadi contoh buruk yang bisa menginspirasi seseorang untuk melakukan kekerasan tanpa alasan yang jelas.

Dampak/Bahaya Perilaku Perundungan

Perundungan memberi rasa tidak aman, membuat para korban perundungan merasa takut, mengurung diri sendiri, tidak tergerak untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, enggan bersekolah, menjadi pribadi yang tak percaya diri, sulit berkomunikasi, serta sulit berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi akademisnya dapat terancam merosot. Para korban  perundungan akan mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah di mana korban akan merasa tidak nyaman, merasa takut, rendah diri, menarik diri dari pergaulan, bahkan berkeinginan untuk bunuh diri. Secara fisik, korban akan mengalami goresan, memar, lebam  atau pun luka fisik lainnya.

Fenomena Perundungan di Sekolah (School Bullying)

Salah satu fenomena yang menyita perhatian dunia pendidikan zaman sekarang adalah kekerasan di sekolah. Baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswa maupun oleh siswa terhadap siswa lainnya. Maraknya aksi tawuran dan kekerasan yang dilakukan siswa di sekolah yang semakain banyak menghiasi deretan berita dihalaman media cetak maupun elektronik menjadi bukti telah tercabutnya nilai-nilai kemanusiaan. Tentunya kasus-kasus kekerasan tesebut tidak saja mencoreng citra pendidikan yang selama ini dipercaya oleh banyak kalangan sebagai sebuah tempat dimana proses humanisasi berlangsung tetapi juga menimbulkan sejumlah pertanyaan. Bahkan gugatan  dari berbagai pihak yang semakin kritis mempertanyakan esensi pendidikan di sekolah dewasa ini.

Setiap perilaku agresif, apapun bentuknya, pasti  memilki dampak buruk bagi korbannya. Para ahli menyatakan bahwa perundungan mungkin merupakan bentuk agresivitas antar siswa yang memilk dampak paling negatif bagi korbannya. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dimana pelaku yang berasal dari kalangan siswa/siswi yang merasa lebih senior melakukan tindakan tertentu kepada korban, yaitu siswa/siswi yang lebih junior dan mereka merasa tidak berdaya karena tidak dapat melakukan perlawanan.

Dampak lain yang dialami oleh korban perundungan adalah mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologi yang rendah atau low psychological well-being dimana korban merasa tidak nyaman, takut, rendah diri, serta tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk, korban tidak mau pergi ke sekolah, menark diri dari pergaulan, prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar, bahkan berkeinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi tekanan-tekanan berupa hinaan dan hukuman. Menurut Priyatna (2010;10) bahwa selain berakibat buruk bagi korban, saksi dan pelaku, efek dari perundungan ini terkadang membekas sampai anak ini menginjak dewasa.

KENAKALAN REMAJA

10 October 2020 12:38:05 Dibaca : 120736

Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA

1. Pengertian Kenakalan

Istilah kenakalan remaja merupakan penggunaan lain dari istilah kenakalan anak sebagai terjemahan dari juvenile delinquency. Menurut Simanjuntak (1984) pengertian juvenile delinquency ialah apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup. Menurut Sudarsono (2012) bahwa kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.

2. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1998 : 107) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Selanjutnya menurut pendapat Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012 : 10) “fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik”. Pada umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan tersebut.

3. Pengertian Kenakalan Remaja

Menurut Kartini Kartono (2011 : 6) kenakalan remaja (Juvenile delinquency) ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Menurut Sudarsono (2012) bahwa juvenile delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa juvenile delinquency ialah perbuatan anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma kelompok, dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan pengamanan/penangkalan. Berdasarkan pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan).

B. JENIS-JENIS KENAKALAN REMAJA

Menurut Jensen (dalam Sarlito, 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu;

  1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.
  2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
  3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.
  4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

 C. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KENAKALAN REMAJA

1. Lingkungan Keluarga

Menurut Kartini Kartono (2011) keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Selanjutnya menurut Sudarsono (2012) keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Koestoer (1983) berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu kelompok yang terkecil dalam tiap masyarakat dimana anak untuk pertama kalinya mendapat latihan-latihan yang diperlukan untuk hidupnya kelak dalam masyarakat. Pentingnya peran keluarga dalam proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaaruh yang positif terhadap perkembangan anak dan sebaliknya keluarga yang jelek akan memberikan pengeruh negatif. Sejak kecil anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga, maka besar kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga. Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya (Kartini Kartono, 2011).Menurut Kartini Kartono (2011) sebagai berikut: Delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendali. Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak muda yang belum matang dan sangat labil. Dikemudian hari proses ini berkembang menadi bentuk defektif secara mental sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh lingkungan sosial yang buruk jahat. Pada umumnya remaja yang melakukan kejahatan adalah remaja yang memiliki pengontrolan diri rendah, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam bertingkah laku. Dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mengadakan hubungan sosial dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya, anak yang tumbuh di dalam keluarga yang penuh kasih sayang mereka cenderung memiliki sifat-sifat yang baik dibandingkan dengan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang buruk. Menurut Kartini Kartono (2011) pola kriminal ayah, ibu, atau salah seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga lainnya.

Menurut Kartini Kartono (2011 : 59) sebab terjadinya kenakalan remaja dilingkungan keluarga antara lain:a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.c. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik. Sebagai akibat dari tiga sebab diatas adalah anak menjadi sedih, malu, merasa tidak berguna dan muncul perasaan benci baik terhadap oraang lain maupun terhadap diri sendiri, kemudian mereka mencari tempat yang mereka rasa nyaman di luar lingkungan keluarga.Dengan adanya modernisasi banyak struktur keluarga rusak dan berakibat pada meningkatnya jumlah kenakalan dan kejahatan anak-anak. Kerusakan pada keluarga dapat berupa perceraian, tidak harmonisnya hubungan antar anggota keluarga yang berakibat pada rendahya tingkat komunikasi di dalam keluargadan percekcokan yang terjadi dalam keluarga. Menurut Koestoer Partowisastro (1983) anak-anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan percekcokan atau pertengkaran dapat menjadi anak yang bingung (nervous), gugup, tidak tenang, ia merasa tidak aman dirumah. Anak-anak seperti itu merasa tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat berpijak sehingga menimbulkan kenakalan-kenakalan yang merupakan bentuk pelampiasan gejolak batinnya. Menurut kartini kartono (2011) bahwa tingkah laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan kelurga berantakan.Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja ialah anak-anak yang memiliki pola-pola kebiasaan delinkuen pada umumnya merupakan anak-anak yaang berasal dari keluarga yang berantakan/penuh konflik. Anak yang terlahir dari keluarga yang harmonis/penuh kasih sayang akan manunjukkan perilaku yang positif, sedangkan anak yang terlahir dari keluarga yang tidak harmonis akan berperilaku negatif dan memandang dunia penuh dengan rasa kecurigaan (merasa tidak aman dan nyaman) sehingga mencari tempat yang bersedia menerima mereka dengan baik diluar lingkungan keluarga, biasanya lingkungan ini dapat mendorong anak untuk bertingkah laku negatif yang mengarah pada perilaku delinkuen.

2. Lingkungan Sekolah

Menurut Sudarsono (2012) bahwa sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa Setiap pendidikan menyiratkan bahwa pendidikan sebagai proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosialnya. Kultur/budaya akademis, kritis dan kreatif, serta sportif harus terbina dengan baik demi terbentuknya kestabilan emosi sehingga tidak mudah goncangan dan menimbulkan akses-akses yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan berbahaya serta kenakalan. Menurut penelitian, bila dibandingkan dengan anak yang tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara kuantitatif anak nakal tercatat sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan secara kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih berani mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak nakal kurang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak nakal. Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan mendapatkan nafkah. Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat (Sudarsono: 2012).

3. Lingkungan Masyarakat

Menurut Sudarsono (2011) anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Dikalangan masyarakat banyak sekali terjadi kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan, pelecehan seksual, gelandangan, penganiayaan. Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja menurut Kartini Kartono (2011 : 25) di golongkan dalam 4 (empat) teori, yaitu :

a. Teori Biologis

Tingkah laku sosiopatik atau kenakalan pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :

  1. Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga di sebakan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi kenakalan secara potensial.
  2. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku kenakalan.
  3. Melalui pewarisan kelemahan konstitutional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tigkah laku yang sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydac-tylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes inspidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

b. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaan. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis.

c. Teori Sosiogenis

Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya di sebabkan oleh pengaruh subkultursosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atu konsep-dirinya. Jadi sebab-sebab kenakalan anak remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturnya.

d. Teori Subkultur

Subkultur delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dll) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelopok remaja brandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya. Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiamioleh para remaja delinkuen tersebut. Sedangkan menurut Zahratu (2012) faktor-faktor penyebab kenakalan remaja, yaitu:

1. Faktor internal:

a. Krisis identitas:

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.

b. Kontrol diri yang lemah:

Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

2. Faktor eksternal:

  1. Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
  2. Teman sebaya yang kurang baikc. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

D. DAMPAK KENAKALAN REMAJA

Kenakalan remaja dampak berdampak bagi siapapun (Haryanto, 2011), yaitu: Kenakalan dalam keluarga: Remaja yang labil umumnya rawan sekali melakukan hal-hal yang negatif, di sinilah peran orang tua. Orang tua harus mengontrol dan mengawasi putra-putri mereka dengan melarang hal-hal tertentu. Namun, bagi sebagian anak remaja, larangan-larangan tersebut malah dianggap hal yang buruk dan mengekang mereka. Akibatnya, mereka akan memberontak dengan banyak cara. Tidak menghormati, berbicara kasar pada orang tua, atau mengabaikan perkataan orang tua adalah contoh kenakalan remaja dalam keluarga. Kenakalan dalam pergaulan: Dampak kenakalan remaja yang paling nampak adalah dalam hal pergaulan. Sampai saat ini, masih banyak para remaja yang terjebak dalam pergaulan yang tidak baik. Mulai dari pemakaian obat-obatan terlarang sampai seks bebas.Menyeret remaja pada sebuah pergaulan buruk memang relatif mudah, dimana remaja sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal negatif yang menawarkan kenyamanan semu. Akibat pergaulan bebas inilah remaja, bahkan keluarganya, harus menanggung beban yang cukup berat. Kenakalan dalam pendidikan: Kenakalan dalam bidang pendidikan memang sudah umum terjadi, namun tidak semua remaja yang nakal dalam hal pendidikan akan menjadi sosok yang berkepribadian buruk, karena mereka masih cukup mudah untuk diarahkan pada hal yang benar. Kenakalan dalam hal pendidikan misalnya, membolos sekolah, tidak mau mendengarkan guru, tidur dalam kelas, dll.Dampak kenakalan remaja pasti akan berimbas pada remaja tersebut. Bila tidak segera ditangani, ia akan tumbuh menjadi sosok yang bekepribadian buruk. Remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan tertentu pastinya akan dihindari atau malah dikucilkan oleh banyak orang. Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan orang yang tidak berguna. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud gangguan kejiwaan bukan berarti gila, tapi ia akan merasa terkucilkan dalam hal sosialisai, merasa sangat sedih, atau malah akan membenci orang-orang sekitarnya. Dampak kenakalan remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga yang harus menanggung malu. Hal ini tentu sangat merugikan, dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya.Masa depan yang suram dan tidak menentu bisa menunggu para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan bila ada seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas, hampir bisa dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan cerah. Hidupnya akan hancur perlahan dan tidak sempat memperbaikinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Ari H. Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.
  • Haryanto. (2011). Akibat kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.
  • Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
  • Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  • Koestoer Partowisastro. (1983). Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
  • Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
  • Sarlito W. Sarwono. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Simanjuntak, B. (1984). Latar belakang kenakalan remaja. Bandung: Alumni.
  • Sudarsono. (2012). Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.Yudrik, J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
  • Zahratu Najedah. (2012). Dampak kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.

PRAKTIKUM BIMBINGAN DAN KONSELING SOSIAL

23 September 2020 16:13:34 Dibaca : 45188

 By: Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

1. Hakekat Perkembangan BK Sosial

A. Pengertian Perkembangan Sosial

            Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma- norma kelompok, moral dan tradisi. Meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama. Berikut pengertian perkembangan sosial menurut para ahli:

  1. Menurut plato secara potensial manusia dilahirkan sebagai makhluk social (zoon politicon).
  2. Syamsuddin (1995) mengungkapkan bahwa sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk social.
  3. Sedangkan menurut loree (1970) sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu terutama anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan social terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan kelompoknya serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.
  4. Muhibbin (1999) mengatakan bahwa perkembangan social merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.
  5. Hurlock (1978) mengutarakan bahwa perkembangan social merupakan perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntunan social. Sosialisasi adalah kemampuan bertingkah laku sesuai dengan norma, nilai atau harapan social.

 B. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

            Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

  1.  Keluarga: Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
  2. Kematanga; Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
  3. Status Sosial; Ekonomi Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
  4. Pendidikan Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan social anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
  5. Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi; Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik.

 C. Pengertian Bimbingan dan Konseling Sosial.

Bimbingan dan konseling sosial adalah proses bantuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengembangkan pemahaman dan keterampilan berinteraksi sosial atau hubungan insani (human realtionship) dan memecahkan masalah-masalah sosial yang dialaminya (Yusuf, 2009: 55). Menurut Sukardi (2007: 55), bimbingan sosial membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandasinya budi pekerti luhur, tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan. Bimbingan sosial, menyangkut pengembangan (a) pemahaman tentang keragaman budaya atau adat istiadat, (b) sikap-sikap sosial (sikap empati, altruis, toleransi, dan kooperasi), dan (c) kemampuan berhubungan sosial secara positif dengan orang tua, guru, teman, dan staf sekolah (Yusuf, 2009: 55). Bimbingan dan konseling sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan social sekolah yang kondusif, dan membangun interaksi pendidikan atau proses pembelajaran yang bermakna (memberikan nilai manfaat bagi perkembangan protensi siswa secara optimal) (Yusuf, 2009: 55).

 D. Ranan Lingkup BK Sosial

            Pelayanan bimbingan dan konseling memiliki peranan penting,baik bagi individu yang berada dalam lingkungan sekolah,rumah tangga ( keluarga ), maupun masyarakat pada umumnya.

  1. Pelayanan bimbingan dan konseling disekolah; Sekolah merupakan lembaga formal yang secara khusus dibentuk untuk menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat,dalam kelembaggaan sekolah terdapat sejumlah bidang pelayanan bimbingan dan konseling mempunyai kedudukan dan peranan yang khusus.
  2. Pelayan bimbingan dan konseling diluar sekolah; Bimbingan dan konseling keluarga; Keluaga merupakan satuan persekutuan hidup yang paling mendasar dan merupakan pangkal kehidupan bermasyarakat. Bimbingan dan konseling dalam lingkungan yang lebih luas. Permasalahan yang dialami oleh warga masyarakat tidak hanya terjadi dilingkungan sekolah dan keluarga saja,melainkan juga diluar keduanya.

 E. Tujuan Bimbingan Konseling Sosial.

Dahlan (1989) menyatakan bahwa tujuan bimbingan sosial adalah agar individu mampu mengembangkan diri secara optimal sebagai makhluk sosial dan makhluk ciptaan Allah Swt. Secara garis besar tujuan Bimbingan Konseling Sosial membantu seseorang agar mampu mengembangkan kompetensinya dalam hal, Bersifat respek (menghargai dan menghormati) terhadap orang lain,Memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap tugas, peran hidup dalam bersosialisasi. Adapun Tujuan Bimbingan dan Konseling Sosial antara lain:

  1. Supaya orang-individual, kelompok orang,peserta didik/siswa yang dilayani menjadi mampu menghadapi tugas perkembangan hidupnya secara sadar dan bebas mewujudkan kesadaran dan kebebasan itu dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana serta mengambil beraneka tindakan penyesuaian diri secara memadai (Winkle (2005:32).
  2. Untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status social ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama pelayanan bimbingan sosial adalah agar individu khususnya siswa yang dibimbing mampu melakukan interaksi sosial secara baik dengan lingkungannya. Bimbingan sosial juga bertujuan untuk membantu indiviu dalam memecahkan dan mengatasi kesulitan-kesulitan dalam masalah sosial, sehingga individu dapat menyesuaikan diri secara baik dan wajar dalam lingkungan sosialnya.

 F. Bentuk-bentuk Layanan BK Sosial.

1) Layanan Preventif (Pencegahan)

       Ada beberapa macam bentuk layanan preventif dalam bimbingan sosial yang bias diberikan kepada para siswa di sekolah atau madrasah. Bentuk-bentuk layanan tersebut :

    1. Layanan informasi yang mencakup :

- Informasi tentang ciri-ciri masyarakat maju atau moderen.

- Makna ilmu pengetahuan.

- Pentingnya IPTEK bagi kehidupan manusia dan lain-lain.

- Informasi tentang cara-cara bergaul.

- Informasi tentang cara-cara berkomunikasi dalamkonteks sosial.

- Informasi tentang cara individu perlu berhubungan dengan orang.

b. Orientasi; Layanan orientasi untuk bidang pengembangan hubungan sosial suasana, lembaga dan objek-objek pengembangan sosial seperti berbagai suasana hubungan social antarindividu dalam keluarga, organisasi atau lembaga tertentu, dalam acara sosial tertentu.

2) Layanan Kuratif (Penyembuhan/korektif)

Bentuk-bentuk layanan kuratif di berikan kepada klien atau peserta didik yang mengalami masaalah sosial. Layanan kuratif biasanya di berikan secara indifidual dalam bentuk konseling. Bentuk layanan kuratif misalnya bimbingan bergaul dan memilih teman, masaalah kesulitan belajar, kesulitan bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif, rasa kerertarikan pada lawan jenis berlebihan, masalah seksual sesama jenis LGBT, hubungan sosial dalam keluarga dan orang-orang di lingkungan sosial sekitarnya dan masih banyak lagi.

3) Layanan Developmen (Pengembangan)

Layanan development atau pengembangan dapat berbentuk:

- pengembangan kreatifitas.

- Pengembangan pengetahuan.

- pengembangan minat dan bakat.

- pengembangan kemampuan berinteraksi sosial.

- pengembangan kemampuan berorganisasi.

- pengembangan karir dan lain-lain.

 G. Aspek-aspek Bimbingan Sosial di Sekolah

Selain problem yang menyangkut dirinya sendiri, individu juga dihadapkan pada problem yang terkait dengan orang lain. Dengan perkataan lain, masalah individu ada yang bersifat pribadi dan ada yang bersifat sosial. Kadang-kadang individu mengalami kesulitan atau masalah dalam hubungannya dengan individu lain atau lingkungan sosialnya. Masalah ini dapat timbul karena individu kurang mampu atau gagal berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang kurang sesuai dengan keadaan dirinya. Problem individu yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya misalnya :

1)      Kesulitan dalam persahabatan.

2)      Kesulitan mencari teman.

3)      Merasa terasing dalam aktivitas kelompok.

4)      Kesulitan memperoleh penyesuaian dalam kegiatan kelompok.

5)      Kesulitan mewujudkan hubungan yang harmonis dalam keluarga.

6)      Kesulitan dalam menghadapi situasi sosial yang baru.

            Selain problem diatas, aspek-aspek sosial yang memerlukan layanan bimbingan social adalah :

1)      Kemampuan individu melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.

2)      Kemampuan individu melakukan adaptasi.

3)      Kemampuan individu melakukan hubungan sosial (interaksi sosial) dengan lingkungannya baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

 

2. Bimbingan Klasikal

A. Pengertian Bimbingan Klasikal

Layanan bimbingan klasikal merupakan cara yang paling efektif dalam mengidentifikasi siswa yang membutuhkan perhatian ekstra. Dalam kaitannya dengan pengertian bimbingan klasikal, Gysber & Henderson (Farozin, 2012:2) menyatakan bahwa bimbingan klasikal merupakan bentuk kegiatan yang diselenggarakan dalam guidance curriculum. Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang diberikan kepada sejulah siswa yang tergabung dalam suatu satuan kegiatan pengajaran (Samisih, 2013:8). Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam jumlah yang cukup besar antara 30 –40 orang siswa (sekelas). Bimbingan Klasikal lebih bersifat preventif dan berorientasi pada pengembangan pribadi siswa yang meliputi bidang pembelajaran, bidang social dan bidang karir. Bimbingan klasikal merupakan suatu pelayanan bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing didalam kelas. dalam kegiatan ini pembimbing menyampaikan materi berbagai materi bimbingan melalui berbagai pendekatan dan teknik yang dimaksudkan untuk membelajarkan pengetahuan atau ketrampilan kepada peserta didik sehingga peserta didik dapat menggunakannya untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam bidang akademik, pribadi-sosial, dan karir (dalam Dian, et al. 2015:309). Bimbingan klasikal merupakan salah satu strategi pelayanan dasar bimbingan yang dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan para peserta didik dikelas untuk membantu siswa dalam memilih karirnya.

 B. Tujuan Bimbingan Klasikal

Tujuan bimbingan klasikal (layanan dasar) adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk memahami diri dan orang lain, menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan eksplorasi dan perencanaan karir (dalam Dian, et al. 2015:310).

 C.  Pelaksanaan Bimbingan Klasikal

Bimbingan klasikal layanan dasar bidang karir diberikan secara klasikal. Langkah-langkah pelaksanaan bimbingan klasikal (dalam Dian, et al. 2015:329) yaitu:

  1. Kegiatan awal. Sebelum melakukan bimbingan klasikal guru pembimbing mempersiapkan perangkat layanan, mempersiapkan kelas, menyampaikan salam pembuka, melakukan bincang ringan dengan siswa dan menyampaikan materi dan tujuan kegiatan.
  2. Kegiatan inti. Dalam kegiatan bimbingan klasikal guru pembimbing memberikan copy materi kepada siswa, mempresentasikan materi melalui media, mengundang siswa untuk berdiskusi, mengajak siswa untuk melakukan permainan, dan mengajak siswa untuk berdiskusi.

Kegiatan penutup.; Sebelum kegiatan bimbingan klasikal diakhiri, guru pembimbing mengadakan umpan balik dari siswa untuk memastikan apakah siswa telah menguasai kompetensi, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan yang muncul, dan menutup kegiatan (memberikan salam).

Metode/Teknik Bimbingan Klasikal

  1. Ceramah/tanya jawab: penjelasan disertai tanya jawab yang dilakukan oleh guru BK untuk membahas topik tertentu.
  2. Ceramah dari nara sumber: ceramah yang diberikan oleh orang yang sukses dalam belajar, dalam karir.
  3. Cinema Teraphy: layanan dengan menggunakan video/film yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  4. Bibliokonseling: layanan dengan menggunakan bahan bacaan yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  5. Diskusi Kelompok: Kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas permasalahan pribadi, sosial, belajar dan karir.
  6. Brainstorming (curah pendapat): meminta pendapat konseli  secara terbuka tentang topik permasalahan yang dibicarakan.
  7. Home-room: menciptakan situasi kelas seperti situasi di rumah, sehingga antara sesama konseli merasa sebagai sebuah keluarga. Dalam situasi ini dibahas topik permasalahan yang dibicarakan, setiap konseli bisa dengan bebas mengungkapkan pendapatnya tentang permasalahan yang dibahas.
  8. Carrier Days: beberapa jam dalam sehari, sehari/beberapa hari yang dikhususkan untuk kegiatan pengembangan karir siswa. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada carrier day ini misalnya: ceramah dari nara sumber, latihan keterampilan, penyaluran bakat/minat, pameran hasil karya siswa, wirausaha.

 3.    Bimbingan Kelompok/Konseling Kelompok

A.  Pengertian Bimbingan Kelompok

Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok membahas suatu topik tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2007:29). Sedangkan Sukardi (2008:64) menyatakan bahwa bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan guna perserta didik setelah bersama–sama memperoleh berbagai bahan dari sumber tertentu (terutama dari pembimbing atau konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari–hari baik individu maupun pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Sedangkan dikemukakan oleh Rusmana (2009: 13), layanan bimbingan kelompok adalah “suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap dan/atau keterampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi.

Jadi dari beberapa pengertian bimbingan kelompok diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu proses bimbingan yang dilaksanakan secara kelompok antara pemimpin kelompok (konselor) dan juga anggota kelompok (klien/peserta didik) dalam dinamika kelompok yang bertujuan adanya interaksi antara kedua belapihak untuk saling mengunggkapkan pendapat, tanggapan, saran, dan juga timbal balik. Dalam hal ini pemimpin kelompok menyediakan berbagai informasi-informasi penting yang bermanfaat bagi individu agar dapat mencapai perkembangan dan mampu beraktualisasikan diri secara optimal baik dalam hal pribadi, sosial, belajar dan juga karir.

 B.  Tujuan Bimbingan Kelompok

Tujuan layanan bimbingan kelompok menurut Winkel & Sri Hastuti (2004: 547) “adalah menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing – masing anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerja sama dalam kelompok guna aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan”. Prayitno (2004:2-3) merumuskan tujuan bimbingan kelompok adalah  berkembangnya sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Bermaksud membahas topik-topik tertentu yang megandung permasalahan actual dan menjadi perhatian peserta.

Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi, verbal maupun non verbal ditingkatkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan kelompok dapat memberikan manfaat untk siswa, dan juga dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi, serta mewujudkan tingkahlaku yang lebih efektif.

 C.      Model Kelompok dalam Layanan Bimbingan Kelompok

Dalam pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang dapat dikembangkan. Menurut Prayitno (1995:24-25) ada dua jenis kelompok dalam bimbingan konseling yaitu kelompok bebas dan kelompok tugas.

  1. Kelompok bebas: Dalam kegiatannya para anggota bebas untuk mengemukakan segala pikiran dan perasaannya dalam kelompok. Selanjutnya apa yang disampaikan dalam kelompok itulah yang menjadi pokok bahasan kelompok.
  2. Kelompok tugas; Dalam penyelenggaraan bimbingan kelompok tugas, arah dan isi kegiatannya tidak ditentukan oleh para anggota, melainkan diarahkan kepada penyelesaian suatu tugas. Pemimpin kelompok mengemukakan suatu tugas untuk selanjutnya dibahas dan diselesaikan oleh anggota kelompok.  Untuk kelompok bebas, semua anggota bebas mengemukakan topik yang akan dibahas. Topik yang dibahas adalah permasalahan umum yang dirasakan oleh semua anggota kelompok. Sedangkan untuk kelompok tugas, topik yang dibahas adalah masalah umum yang ditentukan oleh pemimpin kelompok.

 D.      Komponen Layanan Bimbingan Kelompok

Dalam layanan bimbingan kelompok, terdapat dua komponen yang memiliki peranan penting. Prayitno (2004:4-13) mengatakan bahwa dua pihak yang berperan dalam layanan bimbingan kelompok adalah pemimpin kelompok dan anggota kelompok.

  1. Pemimpin Kelompok; Pemimpin kelompok mempunyai peranan penting dalam layanan bimbingan kelompok. Menurut Prayitno (1995: 35-36) peranan pemimpin kelompok dalam layanan bimbingan kelompok seperti berikut.
  • Pemimpin kelompok dapat memberikan bantuan, pengarahan atau campur tangan langsung terhadap kegiatan kelompok. Campur tangan ini meliputi, hal-hal bersifat isi dari yang dibicarakan maupun mengenai proses kegiatan itu sendiri.
  • Pemimpin kelompok memusatkan perhatian pada suasana perasaan yang berkembang dalam kelompok itu, baik perasaan anggota-anggota tertentu maupun keseluruhan kelompok. Pemimpin kelompok dapat menanyakan suasana perasaan yang dialami oleh anggota kelompok.
  • Jika kelompok tersebut tampak kurang menjurus ke arah yang   dimaksudkan, maka pemimpin kelompok perlu memberikan arah yang dimaksudkan itu.
  • Pemimpin kelompok juga perlu memberikan tanggapan (umpan  balik) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kelompok, baik  yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok.
  • Pemimpin kelompok diharapkan mampu mengatur “Lalu lintas”  kegiatan kelompok, pemegang aturan permainan (menjadi wasit),  pendamai dan pendorong kerjasama serta suasana kebersamaan.  Selain itu juga diharapkan bertindak sebagai penjaga agar apa pun  yang terjadi di dalam kelompok itu tidak merusak atau pun  menyakiti seseorang atau lebih anggota kelompok.
  • Sifat kerahasiaan dari kelompok itu dengan segenap isi dan  kejadian-kejadian yang timbul didalamnya juga menjadi tanggung  jawab pemimpin kelompok.

Dalam memberikan layanan bimbingan kelompok, pemimpin kelompok memiliki tugas-tugas yang tidak dapat diabaikan. Menurut Tohirin (2007:170) tugas utama pemimpin kelompok sebagai berikut.; Pertama: Membentuk kelompok sehingga terpenuhi syarat-syarat kelompok yang secara aktif mengembangkan dinamika kelompok. Kedua: Melakukan penstrukturan. Ketiga: Melakukan pentahapan layanan bimbingan kelompok. Keempat: Melakukan penilaian hasil layanan bimbingan kelompok. Kelima: Melakukan tindak lanjut. Pemimpin kelompok merupakan ujung tombak keberhasilan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, karena pemimpin kelompok adalah orang yang mampu menciptakan suasana sehingga para anggota kelompok dapat belajar bagaimana mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, pemimpin kelompok haruslah orang yang telah terlatih dan berwenang untuk menyelenggarakan layanan bimbingan kelompok.

2. Anggota Kelompok

Tidak semua kumpulan orang atau individu dapat dijadikan anggota bimbingan kelompok. Corey (dalam Natawidjaja, 2009:81) mengemukakan beberapa kriteria untuk seleksi keanggotaan kelompok, yakni mempunyai minat umum, mempunyai keinginan untuk berbagi pikiran dan perasaan secara sukarela, mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dengan proses kelompok serta mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses kelompok. Disamping itu, besarnya kelompok (jumlah anggota kelompok), dan heterogenitas/homogenitas anggota kelompok dapat mempengaruhi kinerja kelompok.

  1. Besarnya kelompok. Kelompok yang ideal terdiri dari 8-10 orang. Kelompok yang terlalu kecil, misalnya 2-3 orang akan mengurangi efektifitas bimbingan kelompok. Sebaliknya, kelompok yang terlalu besar juga kurang efektif. Karena jumlah peserta yang terlalu banyak, maka partisipasi aktif individual dalam dinamika kelompok menjadi kurang intensif.
  2. Heterogenitas/homogenitas kelompok. Layanan bimbingan kelompok  memerlukan anggota kelompok yang dapat menjadi sumber-sumber bervariasi untuk membahas suatu topik atau memecahkan masalah tertentu. Anggota kelompok yang heterogen akan menjadi sumber yang lebih kaya untuk pencapaian tujuan layanan. Homogenitas diperlukan untuk menghindari kesenjangan dalam kinerja kelompok untuk tingkat perkembangan dan jenjang pendidikan. Hendaknya jangan dicampur siswa SLTP dan SLTA dalam satu kelompok; demikian juga orang dewasa dengan anak-anak.
  3. Peranan anggota kelompok. Peranan para anggota kelompok sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok. Menurut Prayitno (1995:32) Peranan yang hendaknya dimainkan anggota kelompok agar dinamika kelompok sesuai harapan adalah sebagai berikut: (1) membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok. (2) mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok. (3) berusaha agar yang dilakukannya itu membantu tercapainya tujuan bersama. (4) membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinya dengan baik. (5) benar-benar berusaha untuk secara efektif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok. (6) mampu mengkomunikasikan secara terbuka. (7) berusaha membantu orang lain. (8) memberikan kesempatan kepada anggota lain untuk juga menjalani peranannya. (9) menyadari pentingnya kegiatan kelompok tersebut.

            Kedua komponen dalam layanan bimbingan kelompok berperan penting dalam proses kehidupan kelompok. Peran kelompok tidak akan terwujud tanpa keikutsertaan aktif para anggota kelompok. Demikian pula, suatu kelompok tidak akan dapat melakukan kegiatan dalam hal-hal tertentu tanpa kehadiran pemimpin kelompok.

 

E.  Teknik dan Tahap Pelaksanaan Bimbingan Kelompok

Teknik penyeleggaraan bimbingan kelompok memerlukan persiapan dan praktik pelaksanaan kegiatan yang memadai,dalam pelaksanaan bimbingan kelompok mempunyai banyak fungsi, selain dapat lebih memfokuskan kegiatan bimbingan kelompok terhadap tujuan yang akan dicapai tetapi dapat juga membangun suasana dalam kegiatan bimbingan kelompok lebih bergairah dan tidak cepat membuat siswa jenuh saat mengikutinya. Berdasarkan yang dikemukakan oleh Romlah (dalam Suprapto, 2007:45) “Teknik bukan merupakan tujuan tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemilihan dan penggunaan masing-masing teknik tidak dapat lepas dari kepribadian konselor, guru atau pemimpin kelompok”.

Tahap pelaksanaan bimbingan kelompok menurut Prayitno (1995: 40) ada empat tahapan, yaitu:

1)      Tahap I Pembentukan

Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini pada umumnya para anggota saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing sebagian, maupun seluruh anggota. Memberikan penjelasan tentang bimbingan kelompok sehingga masing-masing anggota akan tahu apa arti dari bimbingan kelompok dan mengapa bimbingan kelompok harus dilaksanakan serta menjelaskan aturan main yang akan diterapkan dalam bimbingan kelompok ini. Jika ada masalah dalam proses pelaksanaannya, mereka akan mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. Asas kerahasiaan juga disampaikan kepada seluruh anggota agar orang lain tidak mengetahui permasalahan yang terjadi pada mereka.

2)      Tahap II Peralihan

Tahap kedua merupakan “jembatan” antara tahap pertama dan ketiga. Ada kalanya jembatan ditempuh dengan amat mudah dan lancar, artinya para anggota kelompok dapat segera memasuki kegiatan tahap ketiga dengan penuh kemauan dan kesukarelaan. Ada kalanya juga jembatan itu ditempuh dengan susah payah, artinya para anggota kelompok enggan memasuki tahap kegiatan keompok yang sebenarnya, yaitu tahap ketiga. Dalam keadaan seperti ini pemimpin kelompok, dengan gaya kepemimpinannya yang khas, membawa para anggota meniti jembatan itu dengan selamat.

Adapun yang dilaksanakan dalam tahap ini yaitu: (1) Menjelaskan kegiaatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya; (2) menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya; (3) membahas suasana yang terjadi; (4) meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota; (5) Bila perlu kembali kepada beberapa aspek tahap pertama.

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin, yaitu sebagai berikut:

    1.  Menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka
    2. Tidak mempergunakan cara-cara yang bersifat langsung atau mengambil alih kekuasaannya.
    3. Mendorong dibahasnya suasana perasaan.
    4. Membuka diri, sebagai contoh dan penuh empati.

3)      Tahap III Kegiatan

Tahap ini merupakan inti dari kegiatan kelompok, maka aspek-aspek yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak, dan masing-masing aspek tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari pemimpin kelompok. Ada beberapa yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam tahap ini, yaitu sebagai pengatur proses kegiatan yang sabar dan terbuka, aktif akan tetapi tidak banyak bicara, dan memberikan dorongan dan penguatan serta penuh empati. Tahap ini ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan, yaitu:

    1. Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan masalah atau topik bahasan.
    2. Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas terlebih dahulu.
    3. Anggota membahas masing-masing topik secara mendalam dan tuntas.
    4. Kegiatan selingan.

Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat terungkapnya masalah atau topik yang dirasakan, dipikirkan dan dialami oleh anggota kelompok. Selain itu dapat terbahasnya masalah yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas serta ikut sertanya seluruh anggota secara aktif dan dinamis dalam pembahasan baik yang menyangkut unsur tingkah laku, pemikiran ataupun perasaan.

4)      Tahap IV Pengakhiran

Pada tahap pengakhiran bimbingan kelompok, pokok perhatian utama bukanlah pada berapa kali kelompok itu harus bertemu, tetapi pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu. Kegiatan kelompok sebelumnya dan hasil-hasil yang dicapai seyogyanya mendorong kelompok itu harus melakukan kegiatan sehingga tujuan bersama tercapai secara penuh. Dalam hal ini ada kelompok yang menetapkan sendiri kapan kelompok itu akan berhenti melakukan kegiatan, dan kemudian bertemu kembali untuk melakukan kegiatan. Ada beberapa hal yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:

    1. Pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri.
    2. Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.
    3.  Membahas kegiatan lanjutan.
    4.  Mengemukakan pesan dan harapan.

Setelah kegiatan kelompok memasuki pada tahap pengakhiran, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang mereka pelajari (dalam suasana kelompok), pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.

 

F.   Metode/Teknik Bimbingan Kelompok

  1. Diskusi Kelompok: Kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas permasalahan pribadi, sosial, belajar dan karir.
  2. Cinema Teraphy: layanan dengan menggunakan video/film yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  3. Bibliokonseling: layanan dengan menggunakan bahan bacaan yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  4. Dilema Moral: layanan dengan memberikan peristiwa/ masalah yang mengandung dilema.
  5. Latihan: layanan dengan menggunakan kegiatan dalam bentuk latihan, misalnya: menulis (written), latihan mengembangkan kreativitas konseli.
  6. Permainan: layanan dengan menggunakan kegiatan dalam bentuk permainan.

 8. Konseling Individual

A. Defenisi Konseling Individual

Konseling individual merupakan kegiatan terpenting dalam pekerjaan seorang Konselor. Seseorang disebut sebagai Konselor bukan karena memberikan tes, memberikan informasi perencanaan kerja atau menyediakan konsultasi saja, tetapi karena mereka juga melaksanakan konseling individual. Menurut Gibson & Mitchell (2011:205) konseling individual merupakan sebuah keterampilan dan sebuah proses yang harus dibedakan dari sekedar memberikan nasehat, pengarahan, bahkan mungkin mendengarkan secara simpatik atau ketertarikan besar kepada permasalahan-permasalahan individu. Sependapat dengan hal tersebut, menurut Patterson (1980:214) konseling bukanlah pemberian nasehat, saran-saran, teguran, interviu, upaya menakut-nakuti, disiplin, dan perekomendasian.

Konseling individual secara sederhana diartikan sebagai pertemuan tatap muka secara langsung antara Konselor dengan satu orang individu (klien). Menurut Gladding (dalam Lesmana, 2005:4) konseling individual merupakan kegiatan profesional berupa pertemuan pribadi antara Konselor dan klien dalam jangka waktu yang ditentukan. Pertemuan tersebut diprioritaskan kepada upaya pemberian bantuan kepada individu-individu normal dalam rangka pengembangan dan pengentasan permasalahan pribadinya. Sementara itu menurut Willis (2007:43) layanan konseling individual merupakan upaya bantuan yang diberikan oleh Konselor kepada seorang individu dengan tujuan-tujuan tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, Prayitno (1994:296) menjelaskan bahwa layanan konseling individual merupakan layanan khusus dalam hubungan langsung dengan tatap muka antara Konselor dengan klien. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan layanan konseling individual adalah layanan yang diberikan kepada siswa secara tatap muka antara Konselor dengan klien dengan menggunakan pendekatan dan keterampilan tertentu. Adapun tujuan pelaksanaan layanan konseling individual adalah untuk pengembangan diri dan upaya pengentasan permasalahan individu dengan mengoptimalkan berfungsinya kekuatan yang berasal dari diri individu sendiri.

 

B. Tujuan Konseling Individual

Menurut Patterson (1980:219) tujuan konseling individual adalah mendapatkan kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan individu secara sadar. Perubahan yang terjadi pada diri individu diharapkan merupakan perubahan yang direncanakan dan dilakukannya dengan berlandaskan kepada keinginannya secara sadar tanpa ada intervensi pihak lain. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan ahli ini berupa hak-hak individual untuk menentukan dan membuat pilhan secara mandiri.       Shetzer dan Stone (1980:82-85) menyatakan bahwa tujuan konseling adalah: (1) perubahan tingkah laku (behavioral change), (2) kesehatan mental positif (positive mental health), (3) pemecahan masalah (problem resolution), (4) keefektifan pribadi (personal efectivenes), (5) pembuatan keputusan (decision making). Tercapainya mental yang sehat akan menjadikan individu memiliki integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam konseling, klien diupayakan untuk mampu memecahkan permasalahannya dan mengambil keputusan secara mandiri. Dengan demikian diharapkan individu tersebut mampu menampilkan tingkah laku baru sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Menurut Gibson & Mitchell (2011:206) pelaksanaan konseling individual memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) menyediakan informasi bagi klien, (2) membantu klien memecahkan permasalahannya, (3) perubahan niat, (4) upaya pemberian motivasi terhadap klien, (5) menyediakan dukungan dan (6) mendidik klien. Pelaksanaan konseling individual terhadap klien dikatakan berhasil apabila mampu menyediakan sejumlah pemenuhan kebutuhan seperti pencegahan, motivasi, perkembangan, dukungan, intervensi dan bimbingan. Keseluruhan tujuan tersebut pada intinya membantu setiap individu mencapai kondisi yang terbaik yang diupayakannya. Prayitno dan Amti (1994:45) menjelaskan tujuan layanan konseling adalah terjadinya perubahan dalam tingkah laku klien. Pendapat ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Krumboltz (dalam Mappiare, 2006:50) bahwa tujuan-tujuan konseling merujuk kepada terbentuknya perubahan pola perilaku baru. Dalam kaitan ini Konselor berperan membantu klien untuk mencapai tujuan tersebut dalam proses konseling individual.

Dari uraian para ahli mengenai tujuan konseling individual yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan konseling adalah terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik, terentaskannya masalah-masalah klien dan terkembangkannya potensi-potensi yang dimiliki individu. Di dalam tujuan tersebut terangkum upaya preventif, peningkatan, perbaikan, penyelidikan, penguatan, kognitif, fisiologis, dan psikologis yang melayani tiga fungsi penting dalam proses konseling, yakni: motivasi, edukasi, dan evaluasi.         

 

DAFRTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2010. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah.

Hallen. 2005. Bimbingan dan Konseling.Jakarta: Quantum Teching.

Hulock, E.B. 1998. Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Mahsunah, Dian, Arif, & Santi A. 2015. Modul PLPG Bimbingan dan Konseling. Surabaya.

Makrifah,  F. L & Wiryo, N. 2014. Pengembangan Paket Peminatan dalam Layanan Bimbingan Klasikal untuk Siswa di SMP. Jurnal BK, (Online), Vol. 04, No. 03, (http://journal.unesa.ac.id, Diakses 18 Februari 2016).

McLeod, J. 2006. Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.

MIlgram, R. M. 1991. Counseling Gifted and Talented Children. Noewood -New Jersey : Ablex Publishing Corporation.

Natawidjaja, Rochman. 2009. Konseling Kelompok Konsep Dasar & Pendekatan. Bandung: Rizqi Press.

Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok Dasar dan Profil. Jakarta: Rineka Cipta.

Prayitno. 2004. Seri Layanan L.6 L.7 Layanan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok. Padang: Jurusan BK FIP UNP.

Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling kelompok di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.

Samisih. 2013. Praktek Layanan Informasi Dan Orientasi Secara Klasikal. Jurnal Ilmiah SPIRIT, (Online), Vol. 13 No. 2, (http://download.portalgaruda.org, Diakses 18 Februari 2016)

Schertzer, B. & Stone, S. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sukardi dan Kusumawati. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardi, D. K. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (berbasis integrasi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Winkel W. S. & Hastuti Sri M. M.2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogykarta: Media Abadi

Yusuf, S. 2009. Program Bimbingan & Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi Press.

 

 

KREATIVITAS KONSELOR

17 March 2020 19:44:22 Dibaca : 88864

 Oleh; Jumadi M. Salam Tuasikal, M.Pd

Dalam pelaksanaan proses konseling, adakalanya seorang konselor mengalami kesulitan disetiap kali melakukan wawancara dan pengambilan keputusan terhadap konselinya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan keterampilan baik dalam berbicara, mewawancarai konselinya, bahkan pengambilan tindakan dan keputusan. Dewasa ini, kekuatan utama dalam melakukan komunikasi atau wawancara pada proses konseling tergantung pada kreativitas dan ketelitian konselor. Usaha untuk terus-menerus belajar mengenai diri dan orang lain harus menjadi tuntutan seorang konselor. Menurut Willis (2005:134),”Konselor yang memiliki pengetahuan yang luas tentang permasalahan yang dihadapi konseli, akan lebih mudah menanganinya ketika proses konseling berlangsung.” Untuk dapat mencapai pengetahuan terhadap permasalahan konseli, konselor harus mengetahui ilmu perilaku, filsafat, dan pengetahuan tentang lingkungan sekitar konseli.

Di samping itu, pihak konseli harus memiliki rasa terlibat, terbuka, dan mampu mengambil keputusan pula. Sehingga menurut Sofyan (2004:134) “Hal-hal penting yang mampu mendukung tercapainya proses konseling yang baik adalah ketika konselor memiliki kreativitas dan generativitas tinggi dalam wawancara dan merespon konseli.” Selain itu, menurut McLeod (2010:537),”mampu mebentuk hubungan produktif dengan konseli, menyusun laporan atau kontak, merupakan hal yang dotekankan oleh semua pendekatan konseling.”

Menurut Yusuf (2014:246),”Kreativitas adalah kemampuan utnuk mencipta suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah.” Dalam hal ini, kreativitas adalah kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru dalam kondisi yang lama, bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta. Saat proses konseling, tugas konselor adalah membantu konseli dalam menciptakan altermatif-alternatif baru untuk bertindak. Diharapkan akhir dari pelaksanaan konseling adalah terciptanya suasana nyaman baik fisik, jiwa, dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanto & Farid (2015:28) yang menyatakan “Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, dan sosialnya.” Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan, dimana perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup warga masyarakat.

Tugas konselor dalam hal ini adalah membantu konseli menciptakan alternative-alternatif baru untuk bertindak. Tentang kreativitas konselor, beberapa teori konseling membahasanya dalam Psikodinamika dan freud, teori behavioral tentang kreativitas, dan teori psikologi eksistensial-humanistik. Menurut Freud (dalam Prawira 2012:186) menjelaskan “bahwa Freud percaya bahwa mind (pikiran) manusia terdiri atas tiga lapisan yakin kesadaran, ambang sadar, dan bawah sadar.” Dari penjelasan-penjelasan tersebut, walaupun seseorang menerima pandangan-pandangan ketidaksadaran yang kreatif dari Freud, konsep-konsep sistematik tentang behaviorisme dan teori pertumbuhan alamiah dari Rogers, suatu hal yang amat penting bahwa semua teori-teori konseling memberikan perhatiannya pada proses kreativitas.

A. Posisi Kreativitas dalam Proses Konseling

Di dalam proses konseling, pemikiran kreatif adalah amat penting baik terhadap konselor maupun konseli. Seperti yang telah dibahasiakan sebelumnya, mengenai kreativitas konseling juga terdapat pandanagan dari Freud tentang Psikodinamika. Menurut McLeod (2010:89), “Konseling psikodinamika memberikan perhatian besar terhadap kemampuan konselor untuk menggunakan apa yang terjadi dalam hubungan antara konseli dan konselor yang bersifat segera serta terbuka, utnuk mengeksplorasi tipe perasaan dan dilemma hubungan yang mengakibatkan kesulitan bagi konseli dalam kehidupannya sehari-hari.” Sehingga di lain sisi konselor harus pertama mendengarkan dengan aktif terhadap konseli dan memperhatikan kata-katanya dengan cermat dan tepat yang disampaikan konseli dengan sadar.

Berdasarkan informasi yang disampaikan konseli, konselor kemudian memunculkan defenisi-defenisi alternatif dari problem yang dikemukakan dan memberikan alternatif-alternatif solusi, membantu memutuskan sesuatu cara tindakan konseli dan memunculkan alternatif interpretasi dari hasil yang mungkin terhadap perilaku yang diharapkan. Yang kritis adalah mengembangkan insigts (Pemahaman-pemahaman) baru konseli yaitu dengan berbagai skill, kualitas pribadi konselor, dimensi-dimensi wawasan, dan teori-teori konseling.” Hal ini mungkin bisa dikembangkan pertama sekali melalui upaya yang disadari (Counscious efforts). Ketika diserap dan dipraktikkan, pengetahuan ini mungkin masuk ke preconscious dan inconscious dan dipanggil kembali jika dibutuhkan dalam sesi-sesi konseling.

Menurut Willis (2005:136) “Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka konselor yang efektif bukan sama sekali karena sihir atau sulap akan tetapi adalah karena hasil kerja yang bertahun-tahun melalui studi sistematik dalam profesi konseling digabungkan pengalaman-pengalaman melalui observasi dan mendengarkan beragam-ragam konseli didalam setting kantor (formal) dan jalanan (Informal) –office and street setting.” Selain itu, menurut McLeod (2010:536-537),”posisi kreativitas konselor sangat ditentukan oleh keterampilan interpersonalnya, keyakinan dan sikap personal, kemampuan konseptual, ketegaran personal, menguasai teknik, kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial.” Dari pendapat lain, yakni menurut Lubis (2011:25),” seorang konselor yang berperan sebagai”pembantu” bagi klien memiliki karakteristik yang positif untuk menjamin kefektifannya dalam memberikan penanganan.

Konseli datang dengan permasalahan yang belum mampu ia pecahkan, bahkan kadang-kadang masih samar-samar tapi menekan. Konseli harus dapat mengemukakan ide-ide dan fakta-fakta secara sadar. Tapi ia sering tak dapat me-reorganisasinya menjadi suatu kesatuan yang dapat dimanfaatkan. Tugas konselor adalah membantu konseli menguji hal-hal yang disadari atau tak disadari dan membantu konseli untuk menampilkan respon-respon yang lebih kreatif untuk kehidupannya. Memunculkan ide-ide dan respom-respon baru tergantung kepada kreatifitas konselor yang kaya dengan alternatif-alternatif.

B. Mengambil keputusan

Konseli biasanya datang meminta bantuan karena mereka mempunyai hal-hal yang harus diputuskannya karena adanya konflik. Di samping itu, mereka datang karena mengalami hambatan dalam perilaku, pemikiran, dan perasaan. Juga berkonsultasi untuk menemukan upaya-upaya terbaik dalam mengembangkan dirinya agar potensinya teraktualisasikan dan tidak mubasir. Menurut Nurihsan (2006:12), “dalam konseling terdapat hubungan yang akrab dan dinamis. Individu merasa ditetima dan dimengerti oleh konselor. Dalam hubungan tersebut, konselor menerima individu secara pribadi dan tidak memberikan penilaian. Individu (konseli), merasakan adan orang yang mengerti masalah pribadinya, mau mendengarkan keluhan dan curahan perasaannya.

Konseli sering mempunyai persoalan-persoalan yang tak terselesaikan (unfinished business) dan kebutuhan-kebutuhan untuk meluaskan perspektif (cakrwala), meninggalkan pola-pola perilaku lama, mengembangkan perilaku baru, dan memilih alternatif-alternatif yang terbaik.Menurut Corey (dalam Lesama 2008:202-203) menyatakan,”langkah-langkah yang dapat membantu para konselor untuk membuat keputusan yang etis terdiri atas identifikasi masalah atau dilemma, identifikasi isu0isu potensial, lohatlah kode etik yang relevan dengan permasalahan untuk dipakai sebagai penuntun umum, pahamilah hukum atau aturan yang berlaku, carilah konslutasi lebih dari satu sumber untuk mendapatkan berbagai perspektif tentang dilemma tersebut, lakukanlah brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat dijalankan, jelaskanlah konsekuensi dari berbagai macam tindakan dan refleksikan implikasi dari setiap tindakan untuk konseli anda, dan tentukan langkah yang kemungkinannya paling baik.”

Menurut Willis (2005:137),”Tugas konselor adalah berupaya untuk membangkitkan alternatif-alternatif, membantu konseli menghilangkan pola-pola lama yang tak baik memudahkan terjadinya proses pengambilan keputusan, dan menemukan solusi-solusi yang mengarah untuk memecahkan masalah.” Terutama pada tahap awal konseling dapat memberi keuntungan untuk mengambil keputusan, karena di tahap ini konselor bersama konseli dapat mendefenisikan masalah konseli.

Secara sistematik, dari tahap awal itu dikembangkan ke tahap berikut (pertengahan dan akhir) yaitu : (1) memulai dengan mendefenisikan masalah; (2) meneruskan dengan membangkitkan altenatif-alternatif dari defenisi masalah; (3) menyimpulkan dan menyeleksi suatu alternatif dalam bentuk tindakan konseli (action) dan implementasi.

Pengalaman-pengalaman yang disekolah menunjukkan kebanyakan konselor-konselor (yang tidak efektif) sering gagal untuk mendefenisikan suatu masalah yang akan dipecahkan dalam interview konseling. Mereka seolah-olah bekerja tanpa tujuan dan hanya dari topik ke topik, dan menemukan banyak hal tapi sedikit sekali yang dapat terselesaikan.Konselor yang tidak efektif sering puas jika konselinya mempunya suatu pilihan baru atau menerima fakta bahwa dia sekarang sudah OK. Konselor yang tak efektif sering tak pernah sampai kepada tahap akhir (tahap tindakan) konseling yang berisi keputusan atau perencanaan yang efektif.

Konselor-konselor yang efektif tidak demikian. Mereka mendefenisikan isu dan masalah dengan segera, serta memegangnnya sampai akhir tuntasnya masalah tersebut. yaitu adanya suatu keputusan konseli berupa rencana konkrit yang mungkin dilaksanakan konseli dalam kehidupannya. Konselor yang efektif mengemukakan paling sedikit tiga alternatif pilihan bagi konseli manakala konseli tidak punya alternatif pemecahan.

Tahapan dalam proses konseling dalam perkembangannya terdapat beberapa pandangan. Seperti apa yang telah di sampaikan oleh Brammer, Abrego & shostrom (dalam Lubis 2010:83), “tahapan konseling terdiri atas membangun hubungan, identifikasi dan penilaian masalah, memfasilitasi perubahan konseling, dan evaluasi/terminasi. Dari pandangan lain yakni menurut Willis (2004:138), ”Dalam proses konseling, ada tiga tahapan konseling yakni; (1) tahap mendefenisikan masalah (tahap awal); (2) tahap atau fase bekerja dengan defenisi masalah (tahap pertengahan); (3) tahap keputusan untuk berbuat (action) disebut juga tahap akhir.”

1. Tahap pertama (Awal): Mendefenisikan masalah

Konselor yang tidak efektif sering gagal untuk mengidentifikasi masalah pokok konseli. Paling bisa dia hanya mampu menemukan defenisi tunggal dari kepedulian konseli. Artinya, kemungkinan besar dia kehilangan butir-butir kritis (Critical points) pada tahap awal konseling tersebut. isu-isu utama konseling yang ditemukan konselor adalah untuk membuat komitmen dengan konseli tentang pokok-pokok yang akan diperbincangkan. Konseli sering mengemukakan masalahnya hanya diperlukan saja (at a surface level). Konselor dan konseli bersama membangun alternatif masalah dan membuat defenisi yang dimufakati bersama sejak awal. Keputusan untuk melahirkan defenisi masalah sudah harus terjadi pada fase pertama (awal).

Pengambilan keputusan di tahap awal mengimplikasikan tiga fase aktivitas yakni; (1) mendefenisikan masalah; (2) mempertimbangkan alternatif defenisi masalah; (3) komitmen konselor-konseli tentang defenisi yang terbaik dari sekian alternatif.

Mari kita perhatikan dialog konseling tahap awal dibawah ini.

Bagaimana kemungkinan konselor menangkan isu-isu utama? Isu apa yang hendak ditangani terlebih dahulu jika saudara seorang konselor? Apakah hipotesa-hipotesa konselor dalam menangani masalah itu terutama latar belakangnya? Apakah masalah itu akan saudara garap dari sisi konseli atau lingkungan? Defenisikan masalah konseli dengan pertanyaan singkat dari sudut pandanganan anda.

Ko: “Yeni, saya dengar tadi selingtingan bahwa kamu ingin membicarakan sesuatu mengenai pekerjaan.”Ki: “Ya pak, pekerjaan saya banyak hambatan.”Ko: “Banyak hambatan? Bagaimana itu?”Ki: “Coba bapak pikir, boss saya yang telah anak empat mulai menggoda saya sehingga membuat saya puyeng. Tadinya saya bekerja dibagian pemasaran. Saya senang dibagian itu karena sesuai dengan minat. Dan saya ingin betul-betul mengembangkan diri di situ. Tiba-tiba, saya dipindahkan menjadi sekretaris boss. Dan si Tuti dialihtugaskan kebagian lain. Kasihan teman itu. saya tidak berminat menjadi sekretaris boss. Terutama karena sifat boss yang doyan cewek cantik. Namun saya perlu uang untuk biaya hidup keluarga karena ayah saya sudah meninggal dan saya adalah anak tertua di keluarga. Jadi saya amat bingung apakah saya harus bertahan disana atau pindah saja demi keamanan jiwa saya.’’

Biasanya godaan yang muncul pada diri konselor adalah menerima saja masalah sebagaimana yang diberi oleh konseli, dan kemudian mengangkatnya segera untuk mencarikan solusi. Definisi dan alternatif pemecahan masalah oleh konseli besar kemungkinan merupakan definisi yang terbatas tentang kejadian yang mengenai dirinya.Dari dialog di atas misalnya dapat dilihat bahwa jika konselor hanya menangkap isu utama adalah hambatan dalam pekerjaan yakni faktor lingkungan (luar diri konseli), lalu mengupayakan agar hambatan luar saja yang dibenahi, munkin konselor ini tidak akan efektif. Padahal masalah internal (konflik) dalam diri konseli adalah amat penting untuk diungkap.

Konflik yang terjadi dalam diri Yeni adalah, antara kebutuhan uang dengan menjaga keselamatan diri dari kemungkinan pelecehan seksual oleh boss. Dan antara pekerjaan sebagai sekretaris relatif hal baru,dibandingkan bidang pemasaran yang sudah dikuasainya. Sebaiknya konselor mengatakan kepada Yeni sebagai berikut;

KO: “Yeni, dari ungkapan perasaanmu tadi saya melihat bahwa kamu sedang mengalami konflik batin yang cukup berat dalam pekerjaan. Pertama, kamu ingin punya uang untuk membiayai keluarga. Akan tetapi disamping itu berdasarkan isu-isu selama ini, jabatan sekretaris boss adalah sumber pelecehan seksual oleh boss, sehingga rasanya kamu tidak tahan memegang jabatan barumu tersebut. kedua, kamu sudah mulai ahli dengan pekerjaan pemasaran, dan dengan jabatan sekretaris tentu kamu akan mengulangi karirmu sejak awal lagi.”

Keputusan yang diambil konselor untuk memperluas dan memperjelas definisi masalah konseli tadi, adalah terobosan yang amat penting dan merupakan aspek mendasar bagi seorang konselor yang efektif. Walaupun informasi dari Yeni tidak begitu luas, konselor harus dapat menangkap isu sentral dari pesan-pesan Yeni tadi.

Masalah Yeni adalah konflik karena jabatan baru tidak sesuai dengan keinginannya dan kekhawatiran akan mengalami pelecehan seksual oleh bosnya. Dengan sedikit informasi dari Yeni, konselor harus mampu membuat beberapa kemungkinan definisi masalah. Jika Yeni dapat menerima definisi-defenisi masalah itu, maka proses konseling dapat dilanjutkan ke tahap II, atau tahap pertengahan disebut juga tahap kerja (work phase)

KO: “Yeni, dari pembicaraan sekitar 20 menit, saya menangkap bahwa pertama. Anda sedang mengalami konflik karena jabatan baru (sekretaris) tidak sesuai dengan keinginan anda atas dasar jabatan lama (pemasaran) rasanya makin anda kuasai. Kedua, adanya kecemasan anda dengan kedudukan sebagai sekretaris bos, yaitu tentang kemungkian terjadinya pelecehan seksual terhadap diri anda. Ketiga, anda berpikir bahwa kebutuhan biaya yang besar untuk adik-adik anda membuat anda terpaksa harus bekerja, namun menghadapi risiko dengan kemungkinan pelecehan.”Yeni: “Ya pak, saya sependapat dengan rumusan-rumusan bapak tadi, karena itulah yang amat saya rasakan.”

2. Tahap II (Pertengahan): Tahap kerjaTugas fase ini adalah untuk memeriksa kembali definisi masalah dan mengembangkan suatu solusi-solusi alternatif. Proses ini terutama memasukkan pengujian masalah sehingga menjadi fakta-fakta spesifik tentang situasi felling, thinking, dan experiences konseli yang terjadi saat ini. Apa yang terjadi pada fase kerja ini banyak tergantung kepada konselornya dengan latar belakang teori konseling yang dia kuasai.

Konselor psikodinamika akan cenderung kurang tertarik pada data-data tetapi akan meneliti data tentang proses ketidaksadaran konseli. Sebaliknya konselor trait and factor akan cenderung tertarik pada pengungkapan sebanyak mungkin data atau fakta. Konselor humanistik menekankan pada kondisi self yang realistik memahami kelemahan dan potensi diri dalam situasi lingkuangan saat ini, percaya kualitas self yang mampu mengatasi.Pandangan berdasarkan satu teori adalah kurang bijaksana, karena itu pendekatan ekletisistik (meramu semua unsur-unsur baik ditiap teori) adalah lebih objektif mengingat amat beragamnya konseli dan problemnya (potensi dan masalah). Pendekatan ekletisistik cenderung menghargai semua pendekatan, namun memiliki bagian-bagian penting dan sesuai dengan masalah konseli yang dihadapi, karena itu bisa jadi pendekatan humanistik digandengkan dengan trait and factor atau psikodinamika.

3. Tahap III (Akhir): Tahap Penentuan Keputusan untuk Bertindak

Pada tahap yang ketiga ini, akan dibahas mengenai hal-hal yang dilakukan pada proses konseling yakni penentuan keputusan untuk bertibdak. Dimana, tahap ini berhubungan dengan:

(a) Mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah.(b) Menguji solusi-solusi itu pada kenyataan, keinginan dan harapan konseli.(c) Memutuskan mana solusi yang paling tepat dengan konseli.(d) Konseli menyusun rencana atas solusi yang telah dia ambil tadi.Jika rencananya sudah meyakinkan konseli, dan berdasarkan pada kenyataan potensi diri dan lingkungan konseli, maka sesi konseling sudah dapat diakhiri.

C. Efektivitas Konselor dalam Wawancara Konseling

Menurut Nurihsan (2005:54),” Dalam konseling diharapkan konseli dapat mengubah sikap, keputusan diri sendiri sehingga ia dapat lebih baik menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memberikan kesejahteraan pada diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.” Pemilihan dan penyesuaian yang tepat dapat memberikan perkembangan yang optimal kepada individu dan dengan perkembangan ini individu dapat lebih baik menyimbngkan dirinya atau ambil bagian yang lebih baik dalm lingungannya. Konseling bertujuan membantu individu untuk memecahkan masalah-masalah pribadi, baik sosial maupun emosional yang dialami saat sekarang dan yang akan datang. Oleh karenanya, seorang konselor dituntut untuk dapat melakukan wawancara atau komunikasi yang efektif.

Proses konseling yang intensional(mendalam) dan efektif akan membantu konseli untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling berjalan berjalan tidak efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat dipastikan akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak konseli. Oleh karena itu, seorang konselor harus memiliki karakteristik yang baik seperti yang tekah disampaikan oleh Hikmawati (2016:59),”seorang konselor harus memiliki pengetahuan mengenai diri sendiri, memiliki kompetensi, kesehatan psikologis yang baik, dapat dipercaya, kejujuran, kekuatan dan daya, kehangatan, pedengar yang baik, kesabaran, kepekaan, kebebasan, dan kesadaran holistik atau utuh.”Menurut hasil penelitian Hadley dan Stupp (dalam Willis 2004:144) faktor-faktor penyebab yang bisa merusak konseli adalah:

(1) Konselor terlalu dalam menggali konseli.Hal ini sampai melampaui batas toleransi. Konselor terlalu dalam menggali diri konseli, sehingga cenderung terburu-buru dan menekan pribadi konseli. Akibatnya konselor kehilangan kunci atau isu sentral, sebagai contoh, konselor sering terlalu asik menggali pribadi konseli yaitu tentang usia, situasi kehidupan pribadi seks, faktor ras, lingkungan budaya dan sebagainya. Disamping itu konselor terjebak diskusi dengan konseli mengenai latar belakang kesulitan konseli, menjelaskan nilai-nilai fungsional konseling, menjelajahi tingkat motivasi, dan juga tentang kekuatan ego konseli.

(2) Konselor terlalu hati-hati dalam menggali konseliHal ini menyebabkan konselor gagal membuat perubahan diri konseli. Karena inti masalah atau isu sentral tak pernah tersinggung oleh konselor.Kehati-hatian konselor mungkin karena dia kurang penguasaan teknik atau lemah dalam memahami etika konseling. Munkin pula kepribadian konselor kurang mantap atau cenderung tidak stabil, jadi konseli tidak mampu menggali.

(3) Aplikasi teknikSeorang konselor terlampau percaya diri karena merasa mengetahui banyak mengenai apa saja tentang teknik konseling. Padahal dia sebenarnya kurang terampil menggunakan teknik-teknik konseling. Juga kekurangan pengetahuan atau teori konselingdan tentang konseli. Ada lagi seorang konselor munkin mampu menggunakan teknik yang baik namun kurang tepat dalam menggunakannya terhadap konseli.

(4) Hubungan konselingDi dalam hubungan konseling mungkin saja konselor terlalu banyak atau terlalu sedikit rapport. Tambahan lagi terjadi tranferensi dan countertransferensi dimana terjadi suasana emosional pribadi yang kuat antara konselor dan konseli. Konseli mungkin merasakan konselor sebagai pacarnya atau sebaliknya, atau konseli merasakan konselor sebagai ayahnya atau ibunya. Atau sebaliknya terjadi countertransferensi yaitu konseli diserang habis-habisan oleh konselor. Terjadinya hal-hal seperti itu disebabkan:a) Kurangnya respek atau penghargaan terhadap konselib) Konselor gagal mengarahkan konseli untuk memilih pengalamanc) Konselor terlalu bersemangat menyerang self-defense konselid) Konselor kurang menghargai keberhasilan konselie) Egoistik konselor terlalu besar (kesombongan ilmiah-scientific arrogance)

(5) Masalah komunikasiMasalah-masalah yang berhubungan dengan komunikasi adalah: (a) ketidakmampuan konselor untuk berkomunikasi dengan jelas dan tidak mampu menangkap apa yang dikatakan konseli; (b) konselor gagal mengenali generalisasi dan distorsi(penyimpangan).

(6) FokusDalam hal fokus pada saat proses konseling juga terdapat masalah-masalah yaitu:a) Konselor gagal membuat fokus masalah atau mengembangkan isu sentral.b) Kadang-kadang fokus tidak ada atau kebanyakan membuat fokus yang sempit dan kaku dengan topik tunggal.c) Terdapat fokus yang eksklusif tentang konseli akan tetapi mengabaikan konteks lingkungan dan sosial budaya.d) Hasil wawancara konselor dengan konseli merupakan hasil kekurangan pengertian dan kelemahan struktur konseling.

(7) Kelemahan konselora) Konselor terikat pada teori sendiri sehingga gagal melihat pendekatan lain yang mungkin lebih efektif.b) Kesalahan proses konseling berasal dari perilaku konselor.c) Penafsiran konselor tidak correct (tidak cermat) sehingga tidak menjangkau kebutuhan dan sensivitas konseli.d) Konselor tidak mempunyai beragam alternatif, sehingga tidak mampu merespon perilaku konseli yang beragam.

Menurut Lubis (2011:81),”Apapun masalah yang terjadi dalam proses konseling, sudah menjadi kewajiban bagi konselor untuk segera mungkin mengambil tindakan yang dapat meminimalisir permasalahn tersebut.” Konselor yang efektif mempunyai kemampuan melihat bagaimana keadaan konseli saat ini, dan dapat memilih intervensi yang sesuai (strategi dan teknik). Untuk menunjang kemampuan dan keterampilan konselor perlu kepribadian yang empati. Empati merupakan kunci menjadikan hubungan konseling berkualitas.

Empati diartikan oleh Carl Rogers (dalam Willis 2004:145) sebagai “kemampuan merasakan dunia pribadi konseli, merasakan apa yang dirasakannya tanpa kehilangan kesadaran diri.” Empati mempunyai subkomponen yaitu; (1) positive regard (penghargaan positif); (2) respect (rasa hormat); (3) warmth (kehangatan); (4) concreteness (kekonkritan); (5) immediacy (kesiapan, kesegaran); (6) confrontation (konfrontasi); (7) congruence/ genuineness (keaslian).

Zimmer (dalam Willis 2004:145)” menjelaskan bahwa konselor yang menggunakan empati cenderung menggunakan attending dimana komponen-komponennya termasuk didalam empati (kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan).” Empati dekat dengan perilaku attending, paraphrasing, refleksi feeling. Bahkan komponen-komponen attending amat besar perannya dalam empati.

Dengan perkataan lain bahwa jika ia ingin memahami empati secara mendasar haruslah melalui perilaku attending. Sebab dengan perilaku attending maka konselor akan mudah melakukan empati. Dengan adanya empati dan attending maka konseli akan terlibat dan terbuka dalam hubungan konseling.

Bagaimana kata Rogers konselor membatu konseli dengan sikap empati? Ikutilah hal-hal berikut ini.(1) Dalam hubungan konseling, konselor merasakan hubungan yang sejajar dan terintegrasi dengan klien.(2) Konselor bersikap unconditional positive regard terhadap konseli(3) Komunikasi yang empati dengan konseli.

Berdasarkan empati yang dikemukakan Rogers, Egan (dalam Willis 2004:149) “mengembangkan dua jenis empati yakni: (1) empati primer (primary emphaty-PE), yaitu suatu perasaan bagaimana masuk ke dunia dalam konseli merasakan apa yang dirasakannya,dan dengan perilaku attending; (2) empati tingkat tinggi yang lebih akurat (advanced accurate emphty-AAE) yatu konselor memberi empati yang lebih mendalam dan mengena sehingga pengaruhnya lebih terasa mendalam pada diri konseli, dan pada gilirannya lebih membangkitkan suasana emosional konseli.”

Menurut Lesmana (2008:62),”memahami orag dari sudut pandang kerangka berpikir orang lain tersebut, empati yang dirasakan harus juga diekspresikan, dan orang yang melalukan empati harus orang yang kuat, ia harus dapat menyingkirkan nilai-nilainya sendiri, tetapi ia tidak pula boleh terlarut di dalam nilai-nilai orang lain.” Sehinganya empati dilaksanakan konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi (influencing skill) dengan komponen-komponennya, keterbukaan diri (self-disclosure), pengarahan (direvtive), dan penafsiaran (interprelation). Dengan adanya komponen-komponen itu maka empati akan menjadi mendalam dan akurat serta nilainya tinggi sehingga serta dapat mengubah perilaku konseli.

Berikut ini sebuah contoh dialog konselor dengan konseliKI: “Yahh…, keadaan saat ini telah membuat saya sangat gugup dan tegang. Setiap kami berdua pergi keluar, selalu saja pacar saya itu menemui wanita lain. Hal itu menimbulkan persaan tidak aman pada diri saya. Kadang-kadang saya mau memukulnya. Kami sering bertengkar. Akan tetapi dia selalu menolak tuduhan saya. Suatu malam di sebuah klub malam saat kami minum berdua, dia menemui seorang wanita, sampai saya putuskan pulang sendirian.”KO (PE): “Anda merasa tidak aman ketika melihat dia. Saya merasakan perasaan anda. Akan tetapu anda mempunyai kekuatan untuk bangkit dan pergi meninggalkannya.”KO (AAE): ”Saya merasakan perasaan cemas yang anda alami. Saya ikut terluka dengan peristiwa tersebut. namun saya terkesan dengan kekuatan anda untuk bangkit meninggalkan dia.”

Dalam PE yang ditampilkan di atas adalah kombinasi dengan menangkap inti permasalahan dan membahasakan dengan bahasa konselor sendiri (paraphrasing), refleksi perasaan (felling), dan interpretasi (interpretation) yang sesuai.Penjelasan:(1) Konseli terluka tapi masih bisa bangkit menangkap inti permasalahan (paraphrasing);(2) Memahami perasaan konseli yang terluka, cemas, akan tetapi memiliki kekuatan mental, direfleksikan kepada konseli refleksi perasaan (reflection of feeling);(3) Mengatakan bahwa konseli punya kekuatan untuk bertindak dan pergi meninggalkan pacarnya yang menyeleweng –interpretasi konselor (interpreatation).Dalam empati PE dan AAE konselor akan mampu menggali keterbukaan diri konseli (self-disclosure). Hal ini membuat perasaan konseli terbuka lalu menyatakan perasaan dengan bebas dan terus bergerak kearah pemahaman dan penyadaran diri. Akibatnya konseli menjadi rasional dalam menghadapi masalahnya sehingga melahirkan rencana-rencana yang realistis untuk mengatasinya.

Carkhuff (dalam willis 2004:147) mengemukakan lima tingkat empat yakni “Level 1-3 adalah empati untuk menyalurkan perasaan-perasaan negatif atau detruktif konseli. Level 4,5 adalah empati tambahan (additive empathy) yang bersifat akurat, mendalam, dan self-disclosure yang lebih kuat.”

Secara ideal, empati merupakan suatu arus atau aliran antara konselor dan konseli, dan kebanyakan merupakan proses bantuan yang diberikan seperti berikut ini.

(1) Mendengar, memperhatikan dengan penuh hati-hati, teliti terhadap konseli dengan mengunakan keterampilan-keterampilan attending dalam berkomunikasi, sehingga konseli merasakan bahwa dia didengar dan diperhatikan.Pada level ini konselor menggunakan empati primer (Primary empathy-PE) dimana respon konselor masih kasar dan belum begitu tajam.

(2) Mendengarkan dengan hati-hati terhadap konseli lalu menilai ketepatan komunikasi konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi (influencing skill) dengan teknik-teknik mengarahkan secara halus (directing), self disclosure, dan interpretasi.Jika menggunakan keterampilan-keterampilan tersebut, sehingga dapat menyentu dunia dalam konseli maka empati konselor meninkat menjadi advance accurate empathy (AAE) yaitu empati tingkat tinggi yang akurat. Menggunakan AAE adalah jika emosi konseli begitu mendalam, sehingga membutuhkan empati yang tajam dan mendalam.

(3) Konselor mengecek teknik yang digunakan dengan bertanya seperti “Apakah saya cukup akurat dalam mendengarkan (keluhan) anda?” atau “Bagaimana kedengarannya oleh anda apakah saya benar?”Terjadilah hubungan konselor-konseli yang timbal balik, dan hubungan itu efektif yakni membuat konseli lebih self-disclosed, maka empati konselor makin akurat dan bergerak maju dengan lancer.Empati amat dekat dengan dimensi-dimensi konselor lainnya yaitu menghargai dengan positif (positif regard), menghormati (respect), hangat (warmth), ketelitian (concreteness), konfrontasi (confrontation), kesegaran (immediacy), dan genuine atau congruence (jujur, asli).

Masing-masing dimensi akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Positive Regard

Dalam upaya membantu konseli supaya dia berubah, seorang konselor harus percaya bahwa konseli itu dapat berubah. Konseli mempunyai aspek-aspek positif untuk menunjang perubahan itu. Agar konseli berubah, seorang konselor harus memiliki sikap positive regard yaitu perhatian terseleksi terhadap aspek-aspek positif dari pada ucapan dan perilaku konseli.Konselor-konselor yang efektif berasumsi sama yakni bahwa konseli dapat dibantu dengan modal potensi konseli. Jika konselor tak percaya dengan asumsi ini maka konseli akan merasakannya, dan selanjutnya dia tak dapat dibantu lagi. Rogers percaya bahwa manusia harus dihargai, manusia berpotensi untuk maju, dia positif dan dapat berkembang.Positive regard menuntut konselor agar menemukan asset dan kekuatan konseli dan terus terang memberikan penghargaan terhadap keunggulan konseli. Keunggulan adalah dunia konseli, karena itu harus dipahami konselor.

2. Respect and Warmth (Hormat dan Hangat)

Konselor yang pura-pura hormat dan hangat yaitu dipertemukan saja (facade) mungkin merupakan ungkapan bahwa sadarnya. Keadaan ini tak disukai konseli. Konselor efektif (intensional) selalu hangat, senang dan respek terhadap orang lain. Konselor yang dingin dan kurang respek mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) terlalu formal; (2) berjarak; (3) hormat dibuat-buat; (4) kaku; (5) merasa tinggi dan; (6) menyombongkan diri; (7) berlebih-lebihan dalam mengungkap soal seks dan ras, dan; (8) kurang rasa hormat.Ciri-ciri tersebut tidak mungkin ada pada konselor professional, tapi bisa saja terjadi karena mereka adalah manusia biasa. Sebagai contoh, seorang konselor mengeluarkan pernyataan negatif tentang konseli apakah secara terang-terangan ataupun secara halus.Ada beberapa cara-cara yang positif tentang bagaimana mengkomunikasikan rasa hormat;(1) Dengan cara memperkaya (enhancing), misalnya(a) “Saudara telah mengemukakan dengan cara yang sangat baik(b) “Pemahaman yang tepat!”(2) mengahargai walaupun beda pendapat (apresiasi), misalnya(a) “Saya belum begitu yakin dengan ide anda, tetapi sebagai suatu pendapat saya sangat menghargainya.”(b) “Saya kurang setuju dengan cara anda, tetapi kalau memang demikian maunya saya akan mendukungnya.”Tampaknya rasa hormat dan menghargai dengan positif sangat berdekatan. Jika anda mendemonstrasikan bahwa anda respek terhadap konseli, yang anda lakukan adalah apakah anda mendorong atau mengembangkan potensi konseli dengan ucapan-ucapan (verbal) anda, namun harus pula didukung oleh bahasa badan anda.Zimmer dan Anderson (1968) menyebutkan istilah verbal support sebagai ungkapan verbal untuk mendongkrak kecerdasan dan potensi konseli dengan cara empati yang tinggi. Respek atau rasa hormat, penghargaan positif, dan kehangatan, bisa berkembang adanya dukungan rasa empati dari konselor. Dengan respek yang didukung empati akan membuat hubungan konseling menjadi terus terang, blak-blakan, sehingga dapat mempercepat proses konseling tanpa rasa tersinggung konseli. Bahkan dia senang dengan kritik konselor umpamanya menggunakan teknik konfrontasi, dan dianggap sebagai obat baginya. Akan tetapi bagi konselor yang kurang intensional dan kurang efektif (kaku dalam perilakunya, terlalu formal, tidak fair, tidak professional, tidak empati), maka rasa hormat pura-pura tidak akan membuat konseli terbuka (disclosed) dan berkata terang-terangan. Jika konselor demikian beraksi, maka besar kemungkinan konseli akan tersinggung, dan akan terjadi drop-out (memutuskan hubungan konseling dan tak akan datang lagi pada sesi berikut).

3. Warmth (Rasa Hangat)

Pada prinsipnya warmth berhubungan erat dengan empati. Warmth (rasa hangat) dapat didefinisikan dengan suatu sikap emosional terhadap konseli, yang dinyatakan dengan cara-cara nonverbal dan didukung dengan verbal. Menurut Hikmawati (2016:61),”kehangatan mempunyai makna sebagai satu konidis yang mampu menjadi pihak yang ramah, peduli dan dapat menghibur orang lain.”

Bentuk-bentuk nonverbal konselor yakni: (1) nada suara; (2) posisi tubuh; (3) gerakan isyarat tubuh (gesture); (4) air muka, dan; (5) sentuhan (sesuai etika moral). Semua perilaku nonverbal mendukung pernyataan verbal dengan hangat dan akan member dorongan pada diri konseli. Menurut hasil penelitian Bayes (1973) senyum adalah salah satu ciri warmth (kehangatan) yang mempunyai keunggulan tersendiri.Dalam perilaku konselor disaat melakukan konseling, tidak mungkin sama sekali untuk memisah-misahkan antara kehangatan, penghargaan positif, dan rasa hormat. Karena saat melakukan kehangatan, maka otomatis rasa hormat dan penghargaan positif harus terjadi.Mengormati pendapat konseli adalah mutlak, walaupun kadang-kadang mungkin saja tidak sesuai dengan nilai-nilai. Namun sebagai konselor yang efektif, harus mampu menemukan celah-celah asset atau kekuatan konseli sehingga hal inilah yang harus kita kembangkan. Sebagai contoh, berikut ini adalah kasus wanita hamil karena berzinah. Mari kita ikuti pernyataan konseli berikut ini.KI: “Anda telah mendengarkan penjelasan saya yang cukup panjang. Bagaimna pendapat bapak konselor, apa yang harus saya lakukan? Saya dalam keadaan sangat bingung.”Dari ungkapan itu terlihat bahwa konseli mengharapkan sekali saran, pendapat, bahkan nasehat konselor, sebab dia dalam keadaan bingung sekali karena menghadapi kehamilan diluar nikah. Orang tuanya tidak setuju, bahkan ayahnya mengusir dia. Disamping itu sang pacar tidak bertanggung jawab.Dalam kondisi seperti ini sebaiknya konselor tidak cepat-cepat untuk member nasehat, sebab akan mengurangi kemandirian konseli. Kedua, mungkin saja nasehat konselor tidak mengena atau meleset. Yang pasti seorang konselor yang intensional (efektif) berupaya menemukan potensi-potensi konseli dan menghargainya dengan pernyataan yang mendorong dan meyakinkan konseli. Karena itu pernyataan konseli tadi sebaiknya direspon dengan kalimat-kalimat seperti iniKO: “Sayaa pahami dari perasaan dan ucapan-ucapanmu sejak tadi, tampaknya anda cenderung untuk memelihara bayi itu, bukan melakukan aborsi. Saya suka perasaan anda tersebut, yang menghargai kehidupan dan menjaga amanah tuhan. Jika saya seperti anda, saya kira saya akan seperti perasaan anda. Terus terang, saya berharap anda memiliki bayi itu. Namun, semua terserah pada keputusan saudara. Apakah pendapat anda mengenai jawaban saya? Saya anda tentu dapat mengatasinya, keputusan yang jernih benilai tinggi”Dari respon konselor di atas ada beberapa tujuan yang hendak dicapainya terhadap konseli tadi;(a) Meyakinkan konseli bahwa dia memiliki asset/potensi penting yakni nilai kemanusiaan untuk memelihara bayi. Hal itu dikemukakan oleh konselor, lalu konselor memberi teknik refleksi felling dab refleksi content yaitu dengan ungkapan “Tampaknya abda cenderung ingin memelihara bayi itu.”(b) Nilai kemanusiaan sebagai asset konseli, dihargai dan dihormati oleh konselor dengan ucapan “saya suka perasaan anda itu.”(c) Konselor tidak langsung member nasehat kepada konseli, akan tetapi member empati atas assetnya yaitu nilai luhur untuk memlihara bayi, kemudian menghargai asset tersebut. Berarti memberi dorongan terhadap potensi nilainya untuk menjadi manusia yang bermoral. Cuma sedikit saja konselor berharap agar konseli memilikin bayi itu, serta memberi keyakinan bahwa konseli akan mampu mengatasi persoalannya.(d) Tujuan terakhir adalah agar konseli menjadi terbuka. Dimana dengan self-disclosed itu konseli mengeluarkan perasaan-perasaannya terus, dan pada gilirannya keluar akal sehatnya.

4. Concreteness (Kekonkritan-Bersikap konkrit)

Dalam hubungan konseling, sering konseli datang dengan keluhan-keluhan yang samar-samar (tidak jelas), dan kadang-kadang bermakna ganda. Tugas konselor yang intensional/efektif adalah memperjelas dan memahami ide-ide dan masalah yang samar-samar yang dikemukakan konseli.Wawancara konseling yang efektif bergerak dari deskripsi-deskripsi yang samar-samar tentang isu-isu global menuju diskusi yang konkrit, spesifik tentang apa yang telah terjadi dan yang terus terjadi dalam kehidupan keseharian konseli. Sebagai contoh, seorang konseli perempuan mengatakan tentang pacranya, bahwa dia telah berkelahi dengan Doni dan dia yakin bahwa hubungan mereka akan putus. Di sini digaris bawahi berkelahi dan hubungan putus, seolah-olah sudah jelas, sehingga konselor dapat meneruskannya. Padahal jika konselor teliti, dia belum pasti, sebab berkelahi dan hubungan putus itu masih samar-samar. Karena dialog berikut akan mengarah kepada yang lebih konkrit atau spesifik

5. Konfrontasi

Konfrontasi di dalam proses konseling didefinisikan sebagai adanya perbedaan-perbedaan antara sikap-sikap, pemikiran-pemikiran, atau perilaku-perilaku. Menurut Willis (2004:154), ”Dalam teknik konfrontasi, konseli dihadapkan secara langsung dengan fakta, dimana konseli mungkin mengatakan lain daripada yang dia maksud; atau melakukan yang lain/berbeda dari apa yang dia katakan.”Suatu konfrontasi bukan bermaksud mengatakan bahwa konseli itu orang yang salah atau orang yang jelek. Kritik dalam konfrontasi adalah mengemukakan dalm bentuk kata-kata tentang adanya incongruity (ketidaksesuaian) dan discrepancy (perbedaan). Konseli sering mengungkapkan cerita yang ganda dalam wawancara konseling.Disamping hal-hal yang dapat merusak proses konseling, perlu kiranya pemahaman terkait hal-hal yang perlu kita dalami terkait efektivitas dalam melakukan wawancara, keterampilan intervensi, dan memcahkan masalah. Menurut Anthony (dalam Yusuf 2016:66),”Seorang konselor harus memiliki karakteristik seperti beliefs, Self-awarness, Knowledge and skills, a rapor view of his role, personal qualities, dan Interpersonal skills”. Ketika hal-hal seperti itu telah dimiliki oleh seorang konselor makan bukan tidak mungkin proses konseling ia akan kuasai dengan baik khusunya dalam keterampilan wawancara konseli.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hikmawati, Fenti. 2016. Bimbingan dan Konseling. PT Raja Grafindo Persada; Jakarta.

Lesmana, Jeanette M. 2005. Dasar-Dasar Konseling. UI Press; Jakarta.

Lubis, Namora L. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Kencana Prenada Media Group; Jakarta.

McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus. Kencana Prenada Media Group; Jakarta.

Nurihsan, Ahmad. 2005. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Refika Aditama; Bandung.

------------------------. 2006. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Refika Aditama; Bandung.

Prawira, Purwa A. 2012. Psikologi Kepribadian dengan Perspektif Baru. AR Ruzz Media; Jogjakarta.

Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktik. Alfabeta; Bandung.

Yusuf, Syamsu & Juntika Nurihsan. 2014. Landasan Bimbingan dan Konseling. PT Remaja Rosdakarya; Bandung.

Yusuf, Syamsu. 2016. Konseling Individual Konsep Dasar dan Pendekatan. Refika Aditama; Bandung.

http://wadahgurubk.com/download/media/proceding-seminar-nasional-upgris-2018.html

TEKNIK KONSELING KREATIF

30 January 2020 11:31:52 Dibaca : 7683

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

1. Konseling Kreatif Metafora

Dalam proses konseling, setiap konseli yang datang untuk meminta bantuan adalah unik, entah masalah yang dialami, sampai pada kepribadian atau realitas budaya yang begitu beragam. oleh karenanya sudah seharusnya konselor secara profesional mengunakan cara-cara-cara yang kreatif dalam menjalankan proses konseling tersebut. berikut beberapa teknik-teknik kreatif yang dapat digunakan oleh konselor;

Metafora pada umumnya didefinisikan sebagai transfer makna dari suatu elemen ke elemen lain (Robert & Kelly, 2010). Metafora merupakan upaya untuk mendeskripsikan suatu ide atau persoalan secara konkret, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Penggunaan metafora secara kreatif dalam sesi konseling akan membantu konseli dan konselor untuk memahami persoalan yang dihadapi serta mengembangkan solusi untuk mengatasi persoalan tersebut. Metafora merujuk pada penggunaan bahasa kias (verbal dan nonverbal) secara kreatif dalam menyampaikan pikiran atau perasaan. Dalam konteks bimbingan dan konseling, metafora dapat digunakan untuk mengilustrasikan isu-isu interpersonal tertentu, membantu konseli untuk mengenali dan memahami diri dan lingkungan sekitarnya, serta membantu konseli untuk membingkai ulang masalahnya.

2. Konseling Kreatif Impact.

Jacobs (1992, 1994) menjelaskan bahwa impact merupakan pendekatan dalam konseling kreatif yang menghargai ragam cara belajar, cara berubah, dan cara berkembang konseli. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya membantu konseli untuk memahami permasalahan dan solusi permasalahan secara jelas dan konkret. Konseling impact menekankan pendekatan multisensori yang melibatkan dimensi verbal, visual, dan kinestetik dalam proses konseling.Pendekatan ini menekankan pada pentingnya membantu konseli untuk memahami permasalahan dan solusi permasalahan secara jelas dan konkret. Konseling impact sangat menekankan pada penggunaan teori-teori konseling secara kreatif. Proses perkembangan dan kemajuan pemahaman konseli selama sesi konseling merupakan hal yang penting dalam konseling impact. Sekalipun konselor telah ahli dalam mengimplementasikan teori konseling, akan tetapi improvisasi secara kreatif masih sangat dibutuhkan, sehingga konseli dapat berperan secara aktif dalam melibatkan verbal, visual, dan kinestetik mereka selama sesi konseling.

 3. Konseling Kreatif Ekspresif

Ekspresif merupakan salah satu cara agar konseli mampu mengekspresikan permasalahannya. Pendekatan ini digunakan apabila konselor menemui konseli yang merasa kesulitan dan enggan untuk mengekspresikan permasalahan yang mereka alami. Melalui konseling ekspresif konselor dapat membantu konseli mengekplorasi dan menggungkap perasaannya melalui seni (Gladding, 2016). Seni membantu seseorang yang memiliki masalah dapat melakukan relaksasi serta katarsis (metode pelepasan emosi) tanpa merasa terbebani untuk mengungkapkan masalahnya kepada orang lain. Menurut Malchiodi (2005) konseling ekspresif terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain: seni visual, musik, drama, menulis ekspresif, dan terapi dansa. Salah satu fenomena yang seringkali ditemui pada siswa saat ini adalah kecenderungan mereka untuk katarsis di jejaring sosial. Siswa saat ini cenderung lebih menyukai menyampaikan masalah mereka dengan menulis status di sosial media.

4. Konseling Kreatif Guided Imagery

Guided Imagery adalah strategi konsentrasi terfokus di mana gambar visual digunakan untuk membuat penguatan perasaan dan relaksasi (Thomas, 2010). Menurut (Cormier, 2009) dalam penggunaan prosedur guided imagery konseli dipandu untuk fokus pada fikiran positif atau gambar yang menyenangkan sambil membanyangkan situasi yang tidak nyaman atau menimbulkan kecemasan-kecemasan. Konseli diarahkan untuk dapat memblokir hal-hal negatif dengan memanfaatkan ketidak fokusan emosi antara perasaan senang dengan kejadian yang tidak menyenangkan. Pada pelaksanaan guided imagery konselor diarahkan untuk dapat bertindak sebagai fasilitator atau pemandu yang menyediakan konseli gambaran imajinasi positif yang akan diciptakan (Hall, 2006). Pada prinsipnya guided imagery menyerupai dengan salah satu teknik dalam pendekatan behavioral pelemahan, yakni desensitisasi sistematis. Selain itu, konsep yang sama juga dijelaskan oleh Jones (2003, 2005) terkait dengan salah satu komponen keterampilan berpikir (mind skills). Komponen yang dimaksud adalah menciptakan citra visual yang membantu. Internalisasi mind skills, termasuk salah satunya adalah menciptakan citra visual yang membantu terbukti efektif dapat membantu individu. Penelitian yang menunjukkan kefeektifan keterampilan citra visual yang membantu dilakukan oleh Purwaningrum (2013) dan Antika (2017). Kedua penelitian menunjukkan bahwa internalisasi mind skills dapat memberikan dampak positif terhadap mahasiswa. Terlebih bagi mereka yang memiliki daya imajinatif tinggi. Apabila konselor menemukan konseli yang over thinking atau memiliki kecenderungan selalu berpikir negatif dan pesimis untuk suatu hal yang belum tentu terjadi, konselor dapat menerapkan teknik guided imagery.

5. Konseling Kreatif Prop Intervention

Prop interventions yakni pendekatan konseling kreatif dengan menggunakan alat peraga. Penggunaan alat peraga dapat memiliki dampak yang kuat pada konseli dan dapat menjadi cara yang bermanfaat untuk melibatkan konseli agar berpartisipasi dalam konseling (Schimmel, 2007). Alat peraga didefinisikan sebagai objek fisik yang menggambarkan konsep dan/atau memfasilitasi proses konseling. Melalui penggunaan alat peraga, konselor sekolah dapat membantu konseli mendapatkan perspektif tentang masalah mereka, seperti: stres, harga diri, kemarahan, pengambilan keputusan, dan sebagainya. Intervensi prop yang dapat dilakukan oleh konselor sekolah yaitu: shield (perisai), filter (saringan), small chair (kursi kecil), white board (papan tulis), one dollar bills (satu lembar uang dolar), behind you (di belakangmu), exploding soda bottle (ledakan botol soda), rubber bands (karet gelang), fuse (sekring), scaling (penggunaan skala), backpack (ransel), dan ego-gram (grafik ego). Implementasi prop intervention dalam konseling kreatif akan memicu konseli agar aktif terlibat selama proses konseling. Hal ini akan menjauhkan kesan jenuh dan membosankan daripada konseling dilakukan secara konvensional melalui percakapan sepanjang pertemuan. Keterlibatan konseli dan pengalaman langsung yang dialami memungkinkan untuk mendapat pengalaman dan pembelajaran yang mengesankan. Dengan demikian, konseling akan dirasakan kebermanfaatannya dan dinilai sebagai proses bantuan yang menyenangkan.

6. Konseling Kreatif Reading Intervention

Pendekatan ini dapat disejajarkan dengan layanan biblioterapi. Biblioterapi didefinisikan sebagai penggunaan literatur untuk nilai terapeutik (Hynes & Hynes-Berry, 1986). Senada dengan hal itu, Pardeck (1994) menemukan bahwa intervensi membaca memberikan informasi dan wawasan bagi pembaca. Membaca dapat membantu konseli untuk: (1) mendapatkan sikap dan keyakinan baru tentang diri dan dunia, (2) mengembangkan kesadaran tentang bagaimana orang lain mengatasi masalah yang sama, dan (3) mempertimbangkan kemungkinan untuk masalah. Ketika menggunakan intervensi membaca untuk konseli, konselor harus memilih buku yang membawa rasa koneksi ke penulis. Karakter atau ide antara konseli dan buku harus memiliki koneksi agar dapat memaksimalkan bantuan dari proses membaca (Bruneau, Bubenzer, & McGlothlin, 2010). Sesuai dengan perkembangan saat ini, bahan bacaan tidak harus dari buku cetak. Konselor dapat menyarankan sejumlah referensi buku elektronik yang mudah diakses dan menyenangkan untuk dibaca oleh konseli. Bagaimanapun, minat dan kemauan membaca menjadi faktor yang tidak dapat ditinggalkan dalam penerapan teknik ini. Konselor harus kreatif dalam menyediakan sumber bacaan yang menggugah konseli untuk membaca dan mendapatkan pengalaman atau pembelajaran.

 

7. Konseling Kreatif writing intervention

Writing intervention merupakan bentuk intervensi kreatif dengan cara menulis yang biasanya terdiri dari empat jenis: puisi, surat, jurnal, dan mendongeng/bercerita. Puisi dapat membantu konseli mengekspresikan diri, mencari kemandirian, dan menemukan diri (Alexander, 1990; Bowman, 1992). Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk surat, Kress, Hoffman, & Thomas (2008) berpendapat bahwa menulis surat dapat membantu konseli dalam eksplorasi dan perubahan diri. Lebih lanjut Zyromski (2007) menjelaskan bahwa jurnal menyerupai buku harian yang dapat dimanfaatkan oleh konseli ketika mereka merasa stres, atau menuliskan sesuatu yang mereka lakukan setiap hari. Bagi konseli yang tidak suka menulis, pilihan alternatif adalah berpartisipasi dalam bercerita. Bercerita melibatkan konselor sekolah yang meminta konseli untuk membuat cerita yang memiliki pelajaran moral (Newsome, 2003). Teknik ini memiliki kedekatan dengan expressive writing, sangat sesuai jika diterapkan bagi konseli yang mungkin mengalami kesulitan untuk menyampaikan masalahnya secara langsung dan secara kebetulan suka menulis.

8. Konseling Kreatif Music Intervention

Music intervention adalah penggunaan musik sebagai bentuk intervensi kreatif. Campbell, Connell, & Beegle (2007) menjelaskan bahwa konseli mungkin menggunakan musik sebagai cara untuk mengekspresikan diri, mengatasi stres, bersantai dan bersenang-senang. Lebih dari itu, musik dapat memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana konseli merasakan dan mengalami dunianya (Glass, Curtis, & Thomas, 2005). Lebih lanjut Kimbel dan Protivnak (2010) memberikan beberapa contoh intervensi musik untuk konselor sekolah yang dapat digunakan, diantaranya; mendengarkan musik, revisi lirik, dan improvisasi. Pilihan musik konseli juga harus diperhatikan oleh konselor, karena hal itu dapat memberikan informasi bermanfaat tentang sifat masalah mereka. Terlebih saat ini hampir sebagian besar remaja gandrung akan musik. Mayoritas dari mereka selalu update dan mengikuti industri musik tanah air dan mancanegara. Musik seperti menjadi bagian dari hidup, banyak aktivitas yang dilakukan sambil mendengarkan music (mengerjakan tugas, bersih-bersih rumah, menikmati perjalanan, dll.). Bahkan musik juga menjadi sarana efektif penghantar tidur bagi sebagian orang. Oleh karena itu, konselor dapat berinovasi dengan mengkreasikan musik sebagai teknik pemberian layanan konseling.

9. Konseling Kreatif Play Intervention

Play intervention yaitu intervensi bermain yang dapat membantu konseli dalam berpikir secara berbeda tentang diri mereka, keluarga dan teman-teman, serta masalah sekolah melalui penggunaan kegiatan yang menyenangkan dan tidak mengancam. Bermain juga memberikan kesempatan untuk sosialisasi dan keterampilan membangun hubungan (Breen & Daigneault, 1998). Mengingat generasi saat ini yang lebih memilih berlama-lama dengan gadget daripada berinteraksi dengan teman, maka play intervention menjadi strategi efektif bagi konselor dalam memberikan layanan konseling. Langkah ini akan menjadi salah satu upaya agar generasi di era disrupsi ini tidak terlalu candu pada teknologi. Artinya, perkembangan dan kemajuan teknologi dapat digunakan dan dimanfaatkan dalam porsi yang tepat sehingga tidak menggeser nilai dan perilaku sosial serta budaya masyarakat. Melalui implementasi play intervention ini diasumsikan dapat mereduksi tingkat egosentris generasi remaja yang saat ini sudah pada taraf kritis.