KATEGORI : CERITA FIKSI

CERITA FIKSI - MEMUTUSKAN PUTUS YANG TAK TERPUTUS

10 September 2024 15:15:27 Dibaca : 101

Alwi dan Yanti, dua mahasiswa prodi Konseling, memiliki kisah cinta yang dimulai dengan cara yang indah dan sederhana. Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan kampus, ketika Alwi, yang terkenal proaktif dan serius, tiba-tiba membantu Yanti menemukan buku yang sulit didapatkan. Saat itu, Yanti mengucapkan terima kasih dengan senyuman lebar yang membuat Alwi tak bisa berhenti memikirkannya. Sejak saat itu, mereka mulai sering bertemu, awalnya karena tugas kelompok, kemudian karena obrolan yang panjang dan penuh tawa tentang kehidupan, cita-cita, dan impian.

Selama beberapa bulan, Alwi dan Yanti menjadi semakin dekat. Mereka menemukan banyak kesamaan dalam diri masing-masing, mulai dari minat terhadap konseling dan psikologi hingga kegemaran mereka akan film-film psikoedukasi. Yanti yang cenderung pemalu merasa nyaman berbicara dengan Alwi, sementara Alwi yang ceria merasa senang bisa membuat Yanti tertawa dan berbicara lebih banyak. Hubungan mereka berkembang dengan alami, hingga akhirnya mereka resmi berpacaran.

Semua tampak berjalan baik untuk sementara waktu. Mereka sering duduk di bangku taman kampus, berbicara tentang mimpi-mimpi besar mereka setelah lulus, tentang perjalanan yang ingin mereka lakukan bersama, dan bagaimana mereka akan saling mendukung satu sama lain. Alwi ingin melanjutkan studi magister dan mendalami tentang kajian konseling, sementara Yanti bercita-cita membuka praktik konseling di kota asalnya. Impian mereka berdua terasa nyata dan saling melengkapi.

Namun, tanpa tanda-tanda yang jelas, sesuatu mulai berubah di antara mereka. Alwi mulai merasa ada jarak yang tumbuh antara dirinya dan Yanti. Pesan singkat yang dulu dibalas dengan cepat kini menjadi lambat dan singkat. Yanti yang biasanya riang dan penuh energi ketika mereka bertemu, sekarang lebih banyak diam dan terkesan jauh. Ada keraguan dan kecemasan yang tak terucapkan di antara mereka, seperti ada sesuatu yang mengganjal namun sulit dijelaskan.

"Kenapa semua terasa berbeda?" pikir Alwi suatu hari. Ia mencoba bertanya kepada Yanti, tetapi jawabannya selalu sama, "Aku baik-baik saja, Alwi." Tapi Alwi bisa merasakan bahwa Yanti tidak benar-benar baik-baik saja. Ia merasakan sesuatu yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Yanti sendiri merasa kebingungan. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada perasaannya. Dia masih peduli pada Alwi, masih menyayangi pria itu, tetapi ada sesuatu yang menghalangi hatinya untuk tetap merasakan hal yang sama. Mungkin itu kelelahan, mungkin juga ketakutan akan masa depan yang mereka bayangkan terlalu cepat. Yanti tidak bisa mengerti dirinya sendiri.

Pada suatu sore di tempat favorit mereka, di mana mereka biasanya menghabiskan waktu bersama, Yanti tiba-tiba berkata, "Alwi, aku rasa kita harus berhenti." Alwi terkejut. "Maksudmu, berhenti? Maksudnya apa, Yanti?" Yanti hanya menunduk, tidak mampu menatap mata Alwi. "Aku tidak tahu, Alwi. Aku hanya merasa… kita perlu waktu untuk sendiri dulu."

Tidak ada pertengkaran. Tidak ada air mata yang mengalir. Tidak ada kata-kata yang kasar. Hanya ada keheningan panjang dan tatapan kosong. Alwi mencoba mencari alasan, mencoba memahami, tetapi Yanti tidak memberi jawaban yang jelas. "Ini bukan tentang kamu, Alwi. Ini tentang aku," kata Yanti, suaranya bergetar. Alwi tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bingung, terluka, dan ditinggalkan tanpa penjelasan.

Setelah putus, Alwi dan Yanti menjalani hari-hari mereka dengan berat. Alwi merasa seperti ada lubang di dadanya yang tidak bisa dia isi. Ia terus bertanya-tanya, “Apa yang salah? Mengapa Yanti tiba-tiba berubah?” Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri, mencari-cari kesalahan di masa lalu, berusaha mengingat setiap kata, setiap percakapan yang mungkin menyebabkan perpisahan ini. Dia merasa kesepian dan hampa. Sekarang, setiap kali ia melihat Yanti di kampus, ada rasa sakit yang menusuk hatinya. Ia berusaha terlihat tegar, tetapi ada luka yang dalam di hatinya yang sulit disembuhkan.

Yanti juga merasa tidak tenang. Ia merasa kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, tetapi ia juga merasa lega setelah putus. Namun, perasaan bersalah sering menghantuinya. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia mengakhiri hubungan itu. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, tetapi ia tidak tahu apa. Dia sering menangis sendirian di kamarnya, mencoba mengerti perasaannya sendiri. Setiap kali melihat Alwi di kampus, hatinya terasa sesak, tetapi ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik meski tanpa alasan yang jelas.

Alwi berharap bisa menemukan kedamaian di hatinya dan belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika. Ia berusaha fokus pada studinya dan mempersiapkan diri untuk beasiswa magister yang ia impikan. Ia ingin percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan memahami mengapa Yanti memilih untuk pergi. Meski demikian, di dalam hatinya, ada harapan kecil bahwa mereka mungkin bisa kembali bersama ketika waktunya tepat.

Yanti berharap bisa menemukan ketenangan dalam dirinya dan mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan. Dia ingin tetap fokus pada mimpinya untuk membuka lembaga konseling di kota asalnya, dan dia berharap bisa memahami perasaannya sendiri. Meskipun dia tahu hubungan mereka telah berakhir, dia berharap bisa berteman baik dengan Alwi suatu hari nanti. Ada perasaan bersalah yang terus menghantuinya, tapi dia juga tahu bahwa dia harus menemukan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bisa menjalin hubungan yang sehat dengan siapa pun.

Alwi memandang hubungan mereka di masa lalu sebagai salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Dia merasa hubungan itu memberinya banyak pelajaran tentang cinta, komunikasi, dan penerimaan. Namun, ia juga merasa ada bagian dari dirinya yang terluka karena tidak pernah benar-benar mengerti mengapa Yanti memutuskan untuk pergi. Baginya, hubungan itu seperti sebuah buku yang tidak selesai, dengan banyak halaman kosong yang masih belum dituliskan.

Yanti melihat hubungan mereka sebagai bagian penting dari perjalanannya untuk menemukan jati diri. Dia merasa bersyukur atas semua momen indah yang mereka lewati bersama, tetapi dia juga tahu bahwa ada banyak hal tentang dirinya sendiri yang harus ia pahami lebih baik. Meskipun dia tidak bisa memberikan alasan yang jelas kepada Alwi, dia berharap suatu hari nanti mereka berdua bisa menemukan kebahagiaan masing-masing dan mengingat hubungan itu sebagai kenangan manis yang mengajarkan mereka tentang cinta dan kehilangan.

Mereka berdua berjalan di jalan yang berbeda sekarang, tetapi kenangan tentang cinta mereka tetap hidup di dalam hati masing-masing. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi di persimpangan hidup yang tak terduga, dan mungkin saat itu mereka bisa tersenyum dan mengucapkan salam tanpa ada lagi luka di hati. Hingga saat itu tiba, mereka terus menjalani hidup, membawa sepotong cerita yang hilang, namun tetap berarti.

CERITA FIKSI : PERJALANAN HATI DIANTARA CINTA DAN PERSAHABATAN

05 September 2024 16:10:54 Dibaca : 193

Angin sepoi-sepoi membelai dedaunan di taman kampus, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Di tengah keramaian mahasiswa yang berlalu lalang, Didit duduk di bangku taman, matanya terpaku pada sosok anggun yang sedang membaca buku di bawah pohon rindang. Itu Alya, mahasiswi jurusan konseling yang telah mencuri hatinya sejak semester pertama.

Selama dua tahun, Didit dan Alya telah menjalin persahabatan yang erat. Mereka sering berdiskusi tentang berbagai topik, dari literatur klasik hingga isu-isu kontemporer. Namun bagi Didit, perasaannya telah tumbuh menjadi lebih dari sekadar teman. Hari ini, dia memutuskan untuk mengungkapkan isi hatinya.

Dengan jantung berdegup kencang, Didit menghampiri Alya. "Hai, Alya. Boleh aku duduk di sini?" tanyanya dengan senyum gugup.

Alya mendongak dari bukunya dan tersenyum hangat. "Tentu, Didit. Ada apa? Kamu kelihatan agak tegang."

Didit menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. "Alya, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu," mulainya. "Selama ini, kamu telah menjadi sahabat yang luar biasa bagiku. Tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa perasaanku padamu telah tumbuh menjadi lebih dari itu."

Dia menatap mata Alya dengan tulus. "Kamu adalah orang yang menginspirasi aku untuk menjadi versi terbaik dari diriku. Kebaikan hatimu, kecerdasan pikiranmu, dan keindahan jiwamu telah membuatku jatuh cinta padamu. Aku tidak berharap kamu akan membalas perasaanku saat ini juga, tapi aku ingin kamu tahu bahwa bagiku, kamu adalah orang yang istimewa."

Alya terdiam sejenak, matanya memancarkan kelembutan dan empati. Dia menggenggam tangan Didit dengan lembut. "Didit, aku sangat menghargai kejujuran dan keberanianmu. Kamu adalah orang yang luar biasa, dan aku beruntung memilikimu sebagai sahabat."

Dia menarik napas pelan sebelum melanjutkan, "Tapi aku harus jujur padamu. Saat ini, aku tidak bisa membalas perasaanmu dengan cara yang sama. Hatiku masih dalam proses penyembuhan dari pengalaman masa lalu, dan aku merasa belum siap untuk menjalin hubungan yang lebih dari persahabatan."

Alya tersenyum lembut. "Aku harap kamu bisa memahami. Persahabatan kita sangat berharga bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan itu. Bisakah kita tetap menjadi sahabat?"

Didit merasakan campuran emosi kekecewaan, namun juga kelegaan dan rasa hormat atas kejujuran Alya. Dia mengangguk pelan. "Tentu, Alya. Aku menghargai kejujuranmu. Persahabatan kita terlalu berharga untuk dikorbankan. Aku akan selalu ada untukmu sebagai sahabat."

Minggu-minggu berikutnya terasa canggung bagi keduanya. Mereka masih bertemu di kelas dan kegiatan kampus, namun interaksi mereka tidak senatural dulu. Namun, seiring berjalannya waktu, kecanggungan itu mulai memudar.

Suatu hari, Didit mengajak Alya untuk berdiskusi tentang proyek kelompok mereka. Awalnya ragu-ragu, Alya akhirnya setuju. Saat mereka mulai berbicara tentang ide-ide untuk proyek tersebut, mereka menemukan kembali ritme persahabatan mereka yang lama.

Bulan demi bulan berlalu. Didit belajar untuk menerima perasaannya dan menghargai Alya sebagai sahabat. Alya, di sisi lain, semakin mengagumi kedewasaan dan pengertian Didit. Persahabatan mereka tumbuh semakin kuat, didasari oleh rasa saling menghormati dan memahami.

Dua tahun kemudian, saat mereka duduk di bangku taman yang sama tempat Didit menyatakan perasaannya dulu, mereka bisa tertawa tentang kenangan itu. Didit kini telah menemukan cinta baru, sementara Alya mulai membuka hatinya untuk kemungkinan baru.

 "Terima kasih, Didit," kata Alya tiba-tiba.

 "Untuk apa?" tanya Didit, sedikit bingung.

 "Untuk tetap menjadi sahabatku, meskipun itu pasti sulit bagimu. Kamu mengajarkanku arti persahabatan sejati."

 Didit tersenyum. "Dan kamu mengajarkanku bahwa cinta sejati bisa hadirr dalam berbagai bentuk. Termasuk persahabatan yang tulus seperti kita."

Mereka berdua menatap matahari yang mulai tenggelam, menyadari bahwa perjalanan hidup mereka masih panjang, namun mereka bersyukur memiliki satu sama lain sebagai sahabat sejati yang akan selalu ada, dalam suka maupun duka.