KENAKALAN REMAJA

10 October 2020 12:38:05 Dibaca : 107794

Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA

1. Pengertian Kenakalan

Istilah kenakalan remaja merupakan penggunaan lain dari istilah kenakalan anak sebagai terjemahan dari juvenile delinquency. Menurut Simanjuntak (1984) pengertian juvenile delinquency ialah apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup. Menurut Sudarsono (2012) bahwa kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.

2. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1998 : 107) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Selanjutnya menurut pendapat Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012 : 10) “fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik”. Pada umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan tersebut.

3. Pengertian Kenakalan Remaja

Menurut Kartini Kartono (2011 : 6) kenakalan remaja (Juvenile delinquency) ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Menurut Sudarsono (2012) bahwa juvenile delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa juvenile delinquency ialah perbuatan anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma kelompok, dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan pengamanan/penangkalan. Berdasarkan pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan).

B. JENIS-JENIS KENAKALAN REMAJA

Menurut Jensen (dalam Sarlito, 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu;1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.3. Kenakalan sosialyang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

 

C. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KENAKALAN REMAJA

1. Lingkungan Keluarga

Menurut Kartini Kartono (2011) keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Selanjutnya menurut Sudarsono (2012) keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Koestoer (1983) berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu kelompok yang terkecil dalam tiap masyarakat dimana anak untuk pertama kalinya mendapat latihan-latihan yang diperlukan untuk hidupnya kelak dalam masyarakat. Pentingnya peran keluarga dalam proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaaruh yang positif terhadap perkembangan anak dan sebaliknya keluarga yang jelek akan memberikan pengeruh negatif. Sejak kecil anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga, maka besar kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga. Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya (Kartini Kartono, 2011).Menurut Kartini Kartono (2011) sebagai berikut: Delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendali. Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak muda yang belum matang dan sangat labil. Dikemudian hari proses ini berkembang menadi bentuk defektif secara mental sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh lingkungan sosial yang buruk jahat. Pada umumnya remaja yang melakukan kejahatan adalah remaja yang memiliki pengontrolan diri rendah, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam bertingkah laku. Dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mengadakan hubungan sosial dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya, anak yang tumbuh di dalam keluarga yang penuh kasih sayang mereka cenderung memiliki sifat-sifat yang baik dibandingkan dengan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang buruk. Menurut Kartini Kartono (2011) pola kriminal ayah, ibu, atau salah seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga lainnya.

Menurut Kartini Kartono (2011 : 59) sebab terjadinya kenakalan remaja dilingkungan keluarga antara lain:a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.c. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik. Sebagai akibat dari tiga sebab diatas adalah anak menjadi sedih, malu, merasa tidak berguna dan muncul perasaan benci baik terhadap oraang lain maupun terhadap diri sendiri, kemudian mereka mencari tempat yang mereka rasa nyaman di luar lingkungan keluarga.Dengan adanya modernisasi banyak struktur keluarga rusak dan berakibat pada meningkatnya jumlah kenakalan dan kejahatan anak-anak. Kerusakan pada keluarga dapat berupa perceraian, tidak harmonisnya hubungan antar anggota keluarga yang berakibat pada rendahya tingkat komunikasi di dalam keluargadan percekcokan yang terjadi dalam keluarga. Menurut Koestoer Partowisastro (1983) anak-anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan percekcokan atau pertengkaran dapat menjadi anak yang bingung (nervous), gugup, tidak tenang, ia merasa tidak aman dirumah. Anak-anak seperti itu merasa tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat berpijak sehingga menimbulkan kenakalan-kenakalan yang merupakan bentuk pelampiasan gejolak batinnya. Menurut kartini kartono (2011) bahwa tingkah laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan kelurga berantakan.Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja ialah anak-anak yang memiliki pola-pola kebiasaan delinkuen pada umumnya merupakan anak-anak yaang berasal dari keluarga yang berantakan/penuh konflik. Anak yang terlahir dari keluarga yang harmonis/penuh kasih sayang akan manunjukkan perilaku yang positif, sedangkan anak yang terlahir dari keluarga yang tidak harmonis akan berperilaku negatif dan memandang dunia penuh dengan rasa kecurigaan (merasa tidak aman dan nyaman) sehingga mencari tempat yang bersedia menerima mereka dengan baik diluar lingkungan keluarga, biasanya lingkungan ini dapat mendorong anak untuk bertingkah laku negatif yang mengarah pada perilaku delinkuen.

2. Lingkungan Sekolah

Menurut Sudarsono (2012) bahwa sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa Setiap pendidikan menyiratkan bahwa pendidikan sebagai proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosialnya. Kultur/budaya akademis, kritis dan kreatif, serta sportif harus terbina dengan baik demi terbentuknya kestabilan emosi sehingga tidak mudah goncangan dan menimbulkan akses-akses yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan berbahaya serta kenakalan. Menurut penelitian, bila dibandingkan dengan anak yang tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara kuantitatif anak nakal tercatat sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan secara kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih berani mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak nakal kurang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak nakal. Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan mendapatkan nafkah. Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat (Sudarsono: 2012).

3. Lingkungan Masyarakat

Menurut Sudarsono (2011) anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Dikalangan masyarakat banyak sekali terjadi kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan, pelecehan seksual, gelandangan, penganiayaan. Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja menurut Kartini Kartono (2011 : 25) di golongkan dalam 4 (empat) teori, yaitu :

a. Teori Biologis

Tingkah laku sosiopatik atau kenakalan pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :1) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga di sebakan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi kenakalan secara potensial.2) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku kenakalan.3) Melalui pewarisan kelemahan konstitutional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tigkah laku yang sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydac-tylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes inspidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

b. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaan. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis.

c. Teori Sosiogenis

Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya di sebabkan oleh pengaruh subkultursosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atu konsep-dirinya. Jadi sebab-sebab kenakalan anak remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturnya.

d. Teori Subkultur Subkultur delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dll) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelopok remaja brandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya. Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiamioleh para remaja delinkuen tersebut. Sedangkan menurut Zahratu (2012) faktor-faktor penyebab kenakalan remaja, yaitu:

1. Faktor internal:

a. Krisis identitas:

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.

b. Kontrol diri yang lemah:

Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

2. Faktor eksternal:

a. Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.b. Teman sebaya yang kurang baikc. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

D. DAMPAK KENAKALAN REMAJA

Kenakalan remaja dampak berdampak bagi siapapun (Haryanto, 2011), yaitu: Kenakalan dalam keluarga: Remaja yang labil umumnya rawan sekali melakukan hal-hal yang negatif, di sinilah peran orang tua. Orang tua harus mengontrol dan mengawasi putra-putri mereka dengan melarang hal-hal tertentu. Namun, bagi sebagian anak remaja, larangan-larangan tersebut malah dianggap hal yang buruk dan mengekang mereka. Akibatnya, mereka akan memberontak dengan banyak cara. Tidak menghormati, berbicara kasar pada orang tua, atau mengabaikan perkataan orang tua adalah contoh kenakalan remaja dalam keluarga. Kenakalan dalam pergaulan: Dampak kenakalan remaja yang paling nampak adalah dalam hal pergaulan. Sampai saat ini, masih banyak para remaja yang terjebak dalam pergaulan yang tidak baik. Mulai dari pemakaian obat-obatan terlarang sampai seks bebas.Menyeret remaja pada sebuah pergaulan buruk memang relatif mudah, dimana remaja sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal negatif yang menawarkan kenyamanan semu. Akibat pergaulan bebas inilah remaja, bahkan keluarganya, harus menanggung beban yang cukup berat. Kenakalan dalam pendidikan: Kenakalan dalam bidang pendidikan memang sudah umum terjadi, namun tidak semua remaja yang nakal dalam hal pendidikan akan menjadi sosok yang berkepribadian buruk, karena mereka masih cukup mudah untuk diarahkan pada hal yang benar. Kenakalan dalam hal pendidikan misalnya, membolos sekolah, tidak mau mendengarkan guru, tidur dalam kelas, dll.Dampak kenakalan remaja pasti akan berimbas pada remaja tersebut. Bila tidak segera ditangani, ia akan tumbuh menjadi sosok yang bekepribadian buruk. Remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan tertentu pastinya akan dihindari atau malah dikucilkan oleh banyak orang. Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan orang yang tidak berguna. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud gangguan kejiwaan bukan berarti gila, tapi ia akan merasa terkucilkan dalam hal sosialisai, merasa sangat sedih, atau malah akan membenci orang-orang sekitarnya. Dampak kenakalan remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga yang harus menanggung malu. Hal ini tentu sangat merugikan, dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya.Masa depan yang suram dan tidak menentu bisa menunggu para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan bila ada seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas, hampir bisa dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan cerah. Hidupnya akan hancur perlahan dan tidak sempat memperbaikinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ari H. Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.

Haryanto. (2011). Akibat kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.

Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Koestoer Partowisastro. (1983). Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Sarlito W. Sarwono. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.

Simanjuntak, B. (1984). Latar belakang kenakalan remaja. Bandung: Alumni.

Sudarsono. (2012). Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.Yudrik, J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Zahratu Najedah. (2012). Dampak kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.

Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. Konsep Program

Program pelayanan konseling di Perguruan Tinggi tidak berbeda jauh dengan pelayanan di sekolah menengah, dimana dapat dipahami juga sebagai Suatu rangkaian kegiatan bimbingan dapat di konsepkan yang terencana, terorganisasi dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu, misalnya satu tahun ajaran. Satuan program pelayanan bimbingan konseling berupa rencana kegiatan layanan dan kegiatan pendukung BK pada periode tertentu yang diselenggarakan di Universitas/ Sekolah Tinggi/ Akademi/ Politeknik/ ataupun Institut. Kegiatan pelayanan terorganisir melalui unit pelayanan bimbingan dan konseling (UPBK), unit inilah yang menjadi wadah penyelenggara kegiatan pelayanan BK bagi mahasiswa, warga kampus dan anggota masyarakat lainnya.

B. Ketentuan

Ketentuan yang menjadi dasar pemikiran, pedoman/panduan pelaksanaan, ataupun petunjuk teknis baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dilaksanakannya kegiatan pelayanan BK di perguruan tinggi antara lain yaitu :

  1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana dalam UU Sisdiknas disampaikan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dan menegaskan bahwa konselor adalah pendidik. Selain itu dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa paradigm pembiasaan yang harus dibangun adalah pemberian keteladanan, pembangunan kemauan dan pengembangan kreativitas dalam konteks kehidupan sosial kultural sekolah. Dan Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan, mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan harus menyusun kurikulum yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP. Pada penerapan KTSP, Guru Bimbingan Konseling di sekolah memberikan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam memfasilitasi “Pengembangan Diri” siswa sesuai minat, bakat serta mempertimbangkan tahapan tugas perkembangannya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar isi, standar proses, standar kompetensi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
  3. UU No. 14/2005 Tentang Guru dan dosen.
  4. Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulaifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Setiap satuan pendidikan wajib mempekerjakan konselor yang memiliki standar kualifikasi akademik dan kopetensi konselor yang berlaku secara nasional.
  5. Statuta Perguruan Tinggi.
  6. Permendiknas N0. 20/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Bidang Pendidikan.
  7. Permendiknas No. 28/2005 tentang BASN-PT.
  8. Permendiknas No. 63/2009 tentang Sistem Penjamin Mutu Pendidikan.
  9. PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
  10. Permendiknas No. 184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan-pengendalian dan pembinaan Program diploma Sarjana dan Pascasarjana.
  11. Tridharma Perguruan Tinggi.

C. Jenis-Jenis Program

Berdasarkan segi unit waktu sepanjang tahun ajaran pada satuan pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi ada lima jenis program layanan yang disusun dan diselenggarakan dalam pelayanan BK yaitu

  1. Program Tahunan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun ajaran untuk masing-masing kelas rombongan belajar pada satuan pendidikan.
  2. Program Semesteran yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
  3. Program Bulanan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
  4. Program Mingguan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
  5. Program Harian yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk Satuan Layanan atau Rencana Program Layanan dan/atau Satuan Kegiatan Pendukung atau Rencana Kegiatan Pendukung pelayanan bimbingan dan konseling.

Lebih jauh secara khusus dari segi bentuk kegiatan pelayanannya terdapat beberapa jenis yaitu program pelayanan akademik (PPA), program informasi karir/pekerjaan, program instrumentasi, dan program layanan masyarakat.

D. Dasar Penyusunan Program

Penyusunan program pelayanan BK pada Perguruan Tinggi didasarkan pada kebutuhan mahasiswa (Need Assessment) yang diperoleh dari aplikasi intrumentasi dan himpunan data. Artinya keseluruhan program kegiatan pelayanan memang merupakan suatu pelayanan yang benar-benar menjadi kebutuhan mahasiswa itu sendiri sehingga relevan untuk dilaksanakan, dasar pertimbangan lain yang perlu diperhatikan ialah adanya perbedaan (Diferensial) individu, faktor IPOLEKSOSBUD dan kebijakan lokal, upaya pencapain tujuan pendidikan tinggi, dinamika serta tuntutan perkembangan individu.

E. Syarat-Syarat Program

Kegiatan bimbingan konseling yang dilaksanakan melalui pertimbangan yang matang dan terpadukan dalam program pelayanan bimbingan konseling yakni :

  1. Berdasarkan kebutuhan, bagi pengembangan siswa sesuai dengan kondisi pribadinya serta jenjang dan jenis pendidikannya.
  2. Lengkap dan menyeluruh, memuat segenap fungsi bimbingan, meliputi semua jenis layanan dan kegiatan pendukung serta menjamin dipenuhinya prinsip dan asas-asas bimbingan konseling. Kelengkapan program ini disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
  3. Sistematik, dalam arti program disusun menurut urutan logis, tersinkronisasi dengan menghindari tumpang tindih yang tidak perlu serta dibagi-bagi secara logis.
  4. Terbuka dan luwes, mudah menerima masukan untuk pengembangan dan penyempurnaannya tanpa harus merombak program itu secara menyeluruh
  5. Memungkinkan kerjasama, dengan semua pihak yang terkait dalam rangka memanfaatkan berbagai sumber dan kemudahan yang tersedia bagi kelancaran dan keberhasilan pelayanan bimbingan konseling.
  6. Memungkinkan diselenggarakannya penilaian dan tindak lanjut, untuk penyempurnaan program pada khususnya dan peningkatan keefektifan dan keefisienan penyelenggaraan program bimbingan konseling pada umumnya

F. Unsur-Unsur Program BK

Unsur-unsur yang ada dalam program pelayanan BK di perguruan tinggi antara lain memuat kebutuhan sasaran layanan/ kegiatan pendukung, bidang bimbingan (pribadi, sosial, belajar dan karier), jenis layanan/ kegiatan pendukung, sarana/ prasarana yang dibutuhkan, pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang dilibatkan, volume, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan layanan, kemungkinan kerjasama dengan pihak lain, evaluasi serta pengawasan.

G. Materi Program BK

Materi yang ada dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan BK di Perguruan Tinggi mencakup materi-materi yang berkenaan dengan dinamika perkembangan individu mahasiswa yang termasuk dalam kajian bidang bimbingan konseling serta berkenaan dengan pengembangan program akademik dan atau program lain sesuai aspirasi dan kemampuan dirinya, ketentuan yang berlaku, dan kondisi lingkungan yang ada.

H. Penyusunan Program

Penyusunan program kegiatan pelayanan BK diawali dengan kegiatan analisis kebutuhan (Need Assesment) yang kemudian dikoordinasikan dengan unsur pimpinan perguruan tinggi dan disusun dengan menetapkan tujuan, sasaran, indikator, rancangan program, pelaksanaan, waktu pelaksanaan, tempat dan skala prioritas.

I. Sosialisasi Program

Melalui penyebaran leaflet BK, brosur dan flowchart, pengisian rubrik surat kabar, penyampaian materi pada kegiatan orientasi mahasiswa baru, perkuliahan dan rapat-rapat akademik ataupun kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan.

J. Tahap-Tahap Pelaksanaan Program

Tahapan dalam pelaksanaan program pelayanan BK di Perguruan Tinggi mulai dari awal hingga akhir secara bertahap dapat dibagi kedalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap penilaian, tahap analisis hasil, serta tahap tindak lanjut/ arah kedepan. Setiap tahapan tersebut memiliki karakteristik dan langkah kerja konkret yang berkesinambungan dengan tahapan berikutnya.

K. Pengawasan Pelaksanaan Program

Pengawasan sebagai bagian dari upaya controling dalam rangka untuk memastikan terselenggarakannya program pelayanan BK di Perguruan Tinggi secara baik dan benar dapat dilakukan secara intern yaitu oleh Pimpinan Perguruan Tinggi, dilakukan secara ekstern yaitu oleh Pengawas Ditjen DIKTI. Pengawasan ditujukan kepada profesionalitas konselor dalam melaksanakan program. Hasil pengawasan dianalisis, didokumentasikan dan ditindak lanjuti untuk program selanjutnya.

L. Masalah dan Solusi

  1.  Permasalahan di lapangan:Dari beberapa informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan pengalaman yang dimiliki penulis ada beberapa permasalahan dalam pelaksanaan program pelayanan bimbingan konseling di perguruan tinggi antara lain minimnya ketersediaan konselor di Perguruan Tinggi, UPBK yang ada saat ini hanya dimiliki Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan/prodi BK, kurangnya perhatian dari unsur pimpinan Perguruan Tinggi, kurangnya sosialisasi pemanfaatan UPBK pada mahasiswa dan juga civitas akademik lainnya, anggaran dana dan dasar ketentuan pelaksanan ataupun teknis yang belum memadai.
  2. Solusi: Dari beberapa permasalahan yang ditemukan dilapangan perlu kiranya dilakukan upaya solusi konkret untuk memecahkannya antara lain dengan pengadaan tenaga konselor pada perguruan tinggi, optimalisasi UPBK dan sosialisasi yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan, pembentukkan dan penetapan anggaran dana serta dasar ketentuan pelaksanaan maupun teknis yang jelas dan aspiratif mampu mengakomodir kepentingan warga kampus.

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. 2013. Panduan Umum Pelayanan Bimbingan Dan Konseling. Jakarta:ABKINPrayitno, dkk. 2013. Pembelajaran melalui Pelayanan BK di Satuan Pendidikan. Jakarta.Unit Pelyanan Bimbingan dan Konseling (UPBK). 2005. Padang: UNP Press.Winkel. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

09 October 2020 17:08:01 Dibaca : 80558

 Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A.  Hakikat Konseling Lintas Budaya

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Ponterotto, Casas, Suzuki, dan Alexander, 1995; Locke, 1992; Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991). Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist.Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.Ia menegaskan: It is important for counselors to be sensitive to and considerate of a client's cultural makeup. Clinicians encounter many challenging and complex issues when attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf and hard of hearing individuals.

Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut.Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37). Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.Dengan demikian, maka konselingdipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselordan klien.

 B.  Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.

  1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya daripendekatan konseling yang digunakannya.
  2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
  3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
  4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

 Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transculturalsebagai berikut:

  1.  Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
  2. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
  3. Kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.

 C.  Model Konseling Lintas Budaya

Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.

 1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.

Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya.Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian.Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

2.      Model Integratif (Integrative Model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones(Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatupanduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :

  1. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
  2. Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
  3. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
  4. Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulituntuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut.Menurutnya,yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepatterhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumberperkembangan pribadi.Budaya tradisional yang dimaksud adalah segalapengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadariataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung(1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilaibudaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itukekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilaibudaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.

3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yangdalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).Model inimerupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigmamemfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural.Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budayadengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

a)   Konsepsi sakit (sickness conception)

Seseorang dikatakan sakit apa bila :

  • Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
  • Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
  • Melakukan pelanggaran hukum
  • Mengalami masalah interpersonal

b)   Causal/healing beliefs

  • Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
  • Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
  • Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
  • Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama

c)    Kriteria sehat (wellbeing criteria)

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya.Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.

  • Mampu menentukan sehat dan sakit
  • Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
  • Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
  • Menyadari dan memahami budayanya sendiri

d)   Body function beliefs

  • Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebihbermakna
  • Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari
  • Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

e)    Health practice efficacy beliefs

Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

 

D.   Identitas dan Komponen-komponen Perbedaan Budaya

1.   Pengertian Budaya

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks.Apa lagi jika ditelusuridari asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi dan daya. Budi berartipikiran, cara berpikir, atau pengertian; sedangkan daya merujuk padakekuatan, upaya-upaya, dan hasil-hasil. Jika saja budaya diterjemahkansebagai produk berpikir dan berkarya, maka jelaslah bahwa budaya memangmerupakan sesuatu yang amat luas.Bahkan apapun yang nampak di duniaini, asalkan bukan ciptaan Tuhan pastilah disebut budaya. Oleh sebab ituBerry, at all, (1992) menegaskan culture as “that complex whole whichincludes knowledge, belief, art, morals, laws, custom and any othercapabilities and habits acquared by man as a member of society”. Bahkanlebih tegas lagi Padden (1980) menjelaskan, bahwa budaya berarti, “the totalsocial heredity of mankind”. Ahli lainnya pun menegaskan demikian (Leongand Kim, 1991 : 112) bahwa culture refers to the widely shared ideals, values,formation and uses of categories, assumptions about life, and goal-directedactivities that become unconsciously or subconsciously accepted as 'right' and'correct' by people who identify themselves as members of a society".

2.    Komponen-komponen Perbedaan Budaya

Model konseptual perbedaan budaya dalam pembahasan ini mengacu kepadaPalmer dan Laungani (2008 : 45). Konstruk teoretis perbedaan budaya yangdiajukannya sebagai berikut.

  1. Individualism ............ Communalism (Collectivism)
  2. Cognitivism ............... Emotionalism
  3. Free Will ................... Determinism
  4. Materialism .............. Spiritualism

Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perludiperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya.Apalagi Indonesiadikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis,adat-istiadat, maupun latar budayanya.Bhinneka Tunggal Ika yang menjadisemboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknyadikembangkan dimensi wawasan ke-bhinnekaan-nya dalam kerangka penegasankarakteristik ke-tunggal-an yang kuat.

Adapun komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalampengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia mestiterfokus pada orientasi nilai budaya yang menghendaki kehidupan masyarakatyang selaras dengan alam.Koentjaraningrat (1993) menyebut orientasi nilaibudaya sebagai mentalitas. Menurut dia, di antara sedemikian banyak komponenmentalitas yang dimiliki berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalampenelitian-penelitian yang telah dilakukan, terdapat empat komponen yangmenonjol, yaitu : (1) konsepsi waktu yang sifatnya sirkuler (waktu itu “beredar”tidak “berlangsung”); (2) hidup terlalu bergantung pada nasib; (3) sikapkekeluargaan dan gotong-royong yang sangat kuat; dan (4) orientasi nilai budayavertikal.

Persepsi waktu yang sirkuler adalah gagasan dan keyakinan, bahwa masayang telah lampau selalu akan kembali. Persepsi waktu yang beredar tidak linierdilatari oleh kehidupan agraris, yang menunjukkan lingkaran proses pertanianakan terulang tiap tahun. Hal inipun masih melatarbelakangi cara berpikir orangIndonesia pada umumnya, meskipun kaum pelajar di Indonesia telah banyakberpikir berdasarkan konsep waktu yang linier. Kalau tidak demikian, maka tidakmungkin bangsa Indonesia merencanakan berbagai kebijakan pembangunan dengan teliti. Konsep waktu yang sirkuler dalam cara berpikir umumnya orang Indonesia, seyogianya dipahami oleh konselor sebagai bahan masukan guna mengantisipasi atau memprediksi persepsi dan sikap klien terhadap persoalan yang tengah dihadapinya. Persepsi yang demikian tentang waktu kemungkinan berdampak terhadap anggapan dan sikap, bahwa persoalan yang dihadapi adalah biasa sehingga tidak diperlukan pengatasan atau bantuan orang lain untuk mengatasinya; mengingat orang lain pun berhadapan dengan persoalan yang sama dan selalu berulang. Kalaupun persoalan itu dibicarakan, terbatas pada lingkup orang-orang yang berlatar atau berkaitan secara kekeluargaan dan hanya menegaskan bahwa mereka pun mengalami hal yang sama. Pendek kata, persoalan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang “biasa”, dibiarkan saja, karena akan hilang dan muncul secara alami. Dampaknya, diperkirakan “kita” tidak tertantang untuk kreatif dan inovatif dalam memproduksi piranti keras ataupun lunak.

Orientasi nilai budaya yang juga berakar pada kebudayaan agraris ditambah dengan keadaan yang diakibatkan oleh kemiskinan, adalah sikap hidup yang terlalu meggantungkan diri pada nasib. Menurut Koentjaraningrat (1993:4), apabila kita menginginkan peningkatan kemakmuran melalui jalur industrialisasi, maka orientasi nilai budaya atau mentalitas seperti itulah, yang sangat perlu diubah atau digeser menjadi mentalitas yang lebih aktif. Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya menyerahkan diri pada nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa repot-repot membuat rencana, kendati banyak alternatif tidak memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan harapan yang optimis; bahkan mungkin melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib. Dalam adegan pengembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, tampaknya para konselor mesti memperkaya wawasannya tentang konsep takdir mubrom dan muallaq, hingga dirinya menjadi pribadi yang aktif dan proaktif serta mengembangkan layanan konseling berdasarkan landasan nilai optimistic dan pandangan kehidupan yang mencerahkan secara hakiki. Dengan kata lain dapat dikiaskan, bahwa pengembangan bimbingan dan konseling akan berkonstruksi rapuh, manakala dibangun di atas landasan menyerah kepada nasib menunggu bintang jatuh. Komponen ketiga yang perlu diperhatikan adalah orientasi nilai budaya yang berupa sikap kekeluargaan dan gotong royong yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia.Kendati mentalitas ini menyiratkan kesamaan pada umumnya, tetapi titik anjak dan bentuk pengoperasionalannya berbeda-beda pada sebagian besar anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (1993) mengemukakan, dalam diskusi-diskusi pernah diajukan kemungkinan, bahwa untuk industrialisasi diperlukan mentalitas yang lebih mandiri, lebih bertanggungjawab sendiri, tidak terlampau menggantungkan diri pada keluarga ataupun bantuan gotong-royong dari lingkungan.Selanjutnya dia menyatakan, banyak di antara kita memang masih perlu membiasakan diri untuk bersikap lebih mandiri dalam banyak hal, serta lebih berani bertanggungjawab atas kekurangan dan kesalahan kita, tanpa mengurangi asas kekeluargaan dan penggeseran mentalitas yang terlalu menggantungkan diri pada gotong-royong.Namun tidak perlu khawatir, bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong menghambat kemajuan; sebab walaupun asas kekeluargaan dalam masyarakat Jepang tetap kuat, bangsa Jepang telah berhasil menjadi salah satu negara yang terkaya di dunia, dan memiliki sistem industri yang sangat maju.Implikasi dari komponen ketiga bagi pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia adalah pengembangan piranti-piranti strategis untuk kepentingan konseling kelompok dan konseling keluarga dalam perspektif lintas budaya.Dasar pertimbangannya adalah, bahwa orientasi nilai budaya kekeluargaan dan gotong-royong merupakan modal landasan konseptual yang dapat dijadikan mediator guna memfasilitasi keberlangsungan konseling lintas budaya dalam adegan kelompok ataupun keluarga. Rupanya, studi-studi ke arah penggalian dan pengembangan konsep ini perlu ditingkatkan guna mengokohkan bangun konseling lintas budaya di Indonesia. Komponen yang keempat, yaitu orientasi vertikal, terasa kuat tidak hanya dalam masyarakat Jawa dan Bali, tetapi ternyata juga dalam sebagian besar berbagai suku bangsa penduduk Sumatera dan Indonesia Timur.Kenyataan ini merupakan hasil penelitian orang Indonesia sendiri di beberapa tempat di Nusantara (Koentjaraningrat, 1993).

Secara nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior, guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi,komandan, dan sebagainya, sehingga seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi atau restu dari atas. Khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi.Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.Disinyalir pula oleh Koentjaraningrat, bahwa sangat disayangkan kebanyakan orang di Indonesia masih kurang taat pada hal-hal yang kurang konkret, seperti misalnya hukum dan peraturan-peraturan, apalagi pada hal yang lebih abstrak, yaitu prinsip. Namun, untunglah orang Indonesia pada umumnya taat menjalani ibadah keagamaan, sehingga pelaksanaan sila pertama dalam ideologi negara kita dapat memperkuat ketenteraman jiwa manusia, yang hidup dalam masa pancaroba yang sedang dan masih akan dialami dalam 25 tahun mendatang.

Tampaknya ketaatan seperti itu perlu dipersoalkan, terutama dalam kerangka penumbuh-kembangan prinsip disiplin yang tidak bergantung pada ada atau tidak adanya pengawasan.Konsep Islam tentang khusyu’ dalam shalat dan imsyak dalam shaum perlu dikaji secara komprehensif untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam landasan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan konseling. Dalam konteks pengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia, rupanya diperlukan pengkajian lintas-disiplin yang terfokus pada perspektif metafisis tentang orientasi nilai vertikal dan latar belakang sikap “orang atasan” terhadap perilaku dan nilai ketaatan. Hasil pengkajian dipandang sumbangan konseptual yang besar dan amat berharga, terutama bagi pengembangan bimbingan dan konseling yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal tetapi berlaku universal.

 

E.  Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1.  Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  2. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  3. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  4. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  5. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  6. Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  7. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya.

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

 3.  Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang bereda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya, yaitu :

  1. Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  2. Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  3. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  4. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  5. Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  6. Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

 

KEPUSTAKAAN

Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.

Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.

Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London : Sage Publisher.

Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.

MEMBANGUN KARAKTER MAHASISWA : Sukses Akademis dan Organisasi

23 September 2020 16:55:51 Dibaca : 77988

 Oleh; Jumadi Mori Salam Tuasikal

MENEMUKAN JATI DIRI MAHASISWA

Dunia kampus memiliki suasana akademik yang sangat kompleks sehingga membedakannya dengan kondisi maupun suasana akademik yang ada di sekolah. Situasi seperti ini yang kemudian akan menjadi stimulus kepada para pelajar yang baru memasuki perguruan tinggi untuk berusaha memahami dunia baru yang akan dimasukinya, minimal harus memahami jati dirinya sebagai mahasiswa nanti.Strategi sederhana yang dapat dilakukan untuk memahami jati diri mahasiswa dapat dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan sederhana  secara jujur dan terbuka oleh dirinya sendiri.

  1. Pertanyaan (1) Siapakah diri saya ini? Misalkan jawabannya adalah saya adalah anak yatim piatu, atau jawabannya adalah saya seorang anak buruh bangunan yang hidup pas-pasan. Jawaban-jawaban yang diungkapkan tentunya akan begitu beragam sesuai dengan kenyataan setiap individu. Setelah menjawab pertanyaan tersebut berusahalah untuk merenungkan tujuan yang hendaknya anda capai dan lakukan selama kuliah, karena melalui tujuan itulah kesuksesan, kebahagian, kehormatan dan kebaggaan orangtua dapat anda wujudkan. Jika tidak maka renungkannlah yang  sebaliknya yaitu ketika tidak berhasil apa yang akan terjadi? Olehnya melalui jawaban dan renungan andalah yang akan menutun untuk menemukanjati diri sebenarnya.
  2. Pertanyaan (2) dari mana saya berasal? Dari pedesaan atau perkotaan, miskin atau kaya itu tidak terlalu berpengaruh, karena yang dibutuhkan disitu adalah jawaban yang anda ungkapkan bisa meningkatkan jiwa optimisme dan memotivasi diri untuk suskses. Pertanyaan ini ingin bermaksud menyampaikan kepada anda bahwa siapapun dan darimanapun anda, semuanya memiliki peluang yang sama untuk suskses selama kuliah. Walaupun si kaya jika hanya berleha-leha dan berhura-hura saja maka tidak menjamin sedangkan si miskin dengan ketekunannya bisa saja lebih sukses.
  3. Pertanyaan (3) apa yang bisa saya lakukan? Pertanyaan ini jelas akan menggiring anda untuk mengetahui potensi apa yang anda miliki, dengan maksud bisa mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi anda dan orang lain. Jika anda masih binggung, mulailah dengan melakukan hal-hal sederhana yang dapat mengurangi beban orang tua selama anda kuliah. Pengorbanan orangtua yang begitu besar jika direnungkan secara bijak oleh anda akan melahirkan  tanggungjawab dan semangat untuk berprestasi, dan tidak akan membiarkan waktu tanpa manfaat yang jelas.
  4. Pertanyaan (4) akan kembali kemana saya? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar, karena pada akhirnya pengabdian anda ketika lulus dari kampus adalah kembali ke pangkuan masyarakat. Akan tetapi cara pengabdian dan bagaimana anda mengabdi itulah yang harus ditemukan dan diarahkan sesuai dengan tuntunan dari jawaban yang anda berikan.

Setelah pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut terjawab, tentunya akan mengarahkan anda untuk berbuat yang terbaik selama anda menjadi mahasiswa dan kuliah. Anda akan berbuat sesuatu dengan tujuan dan manfaat yang jelas dan berarti bagi kehidupan, mengetahui jati diri dan potensi yang berbeda dengan orang lain, anda memiliki karakter, minat dan hobi tersendiri. Anda adalah apa yang anda pikirkan, jika anda berpikir anda kuliah sukses maka kesuksesan anda akan berbuah kenyataan. Sebaliknya jika anda berpikir kuliah itu menjadi beban, sulit, banyak tugas, menjenuhkan, maka itulah masa depan anda. Oleh karena itu, jika anda ingin mengetahui masa depan anda sekarang, jawabannya adalah apa yang anda lakukan sekarang bagi masa depan anda.

 

MEMBANGUN KARAKTER AKADEMISI MAHASISWA

Mahasiswa berkarakter adalah mahasiswa yang memahami tugas dan fungsinya sebagai mahasiswa. Mahasiswa tersebut ditandai dengan upaya yang sungguh-sungguh dalam dirinya untuk senatiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikapnya (WPKNS) dengan berbagai aktifitas yang dijalani baik melalui kegiatan perkuliahan, aktif dalam berorganisasi ekstra atau intra kampus untuk mengembangkan potensi dirinya melalui pengelolaan waktu yang adil yaitu pandai menempatkan sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan, situasi, kondisi, toleransi, pantauan dan jangkauan yang ada pada dirinya dan lingkungannya. Mahasiswa berkrakter ini lebih dewasa dalam menyikapi persoalan yang datang menghampirinya. Jika menghadapi masalah dirinya tenang, optimis, penuh percaya diri, tidak menyalahkan orang lain, memecahkan masalah dengan arif dan bijaksana, memiliki kemampuan mengendalikan dirinya, memahami kelemahan dan kelebihan dirinya dan orang lain, pandai menempatkan diri dengan siapa yang dihadapinya, mampu berkomunikasi dengan efektif dengan semua orang karena memiliki kecerdasan sosioemosional.

Mahasiswa berkarakter biasanya adalah seorang yang taat menjalankan ibadah kepada Tuhannya, memiliki kecerdasan spritual dalam melakukan kegiatan kesehariannya dan selalu mendasari aktifitasnya dengan niat beribadah kepada-Nya. Silaturahmi yang dibangunnya melalui kegiatan di tempat-tempat ibadah, organisasi kampus maupun ektra kampus untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Mampu mengetahui mana yang boleh (halal) dan mana yang dilarang (haram) dan berkeyakinan bahwa kesuksesan hidup di dunia dan akhirat adalah karena ijin dan ridhonya Tuhan yang Maha Esa semata, yang di anugerahkan melalui ikhtiar-ikhtiar manusia.

Mahasiswa berkarakter memiliki kemampuan untuk menyelesaikan studi dengan memadukan prinsif  “Kuliah Selesai Tepat Waktu dan di Waktu yang Tepat”. Maksudnya adalah kadang kala kita melihat mahasiswa yang lulus tepat waktu namun setelah diperhadapkan dengan kondisi kerja di masyarakat banyak yang tidak mampu melewati tantangan tersebut dikarenakan hanya sekedar lulus tetapi miskin akan WPKNS, dan juga ada yang lulus terlalu lama, banyak menghabiskan waktu, energi, uang, ataupun orang tua sudah terlanjur meninggal sehingga tidak sempat melihat kesuksesan anaknya, namun memiliki WPKNS yang baik. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pentingnya perpaduan untuk menutupi kelemahan-kelemahan dari kedua konsep tersebut.

Perlu juga kita sadari bersama bahwa kuliah bukanlah untuk menghasilkan lulusan yang bisa bekerja, karena banyak penelitian menunjukan bahwa tanpa kuliah banyak orang yang mampu bekerja. Namun esensi perkuliahan adalah mendewasakan mental mahasiswa sehingga mampu menjalani kehidupannya secara baik dan benar dimanapun dengan kondisi apapun, hal inilah yang akan menuntun setiap orang mendapatkan pekerjaan yang layak, dan bermanfaat untuk dunia dan akhirat.

Mahasiswa yang berkualitas menjadi salah satu kata kunci untuk membangun bangsa Indonesia ke depan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Mahasiswa yang berkualitas IMTAQ dan IPTEK serta cinta tanah air inilah merupakan kekuatan untuk memenangkan kompetensi dalam iklim persaingan global ini. Oleh karenanya sebagai mahasiswa seharusnya memiliki pandangan jauh ke depan untuk membangun bangsa ini lebih maju, berperadaban, cerdas, berkeadilan, sejahtera, sehat lahir dan batin. Untuk mewujudkan semua itu, mahasiswa hendaknya bertekad untuk menjadi pemimpin masa depan memiliki keilmuan, keimanan, integritas, dan kredibilitas dalam meningkatkan kedewasaan dalam berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggung jawab (BMB3).

            Untuk itu mahasiswa perlu memperkuat karakter kemahasiswa annya. Karakter kuat ini dapat diketahui dari ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Kreatif dan mampu memecahkan masalah dengan tepat,
    2. Pembelajar yang rajin, kritis, disiplin, berpengetahuan luas dan berwawasan global,
    3. Mampu berkomunikasi dengan baik,
    4. Siap mengambil resiko apapun,
    5. Bekerja keras dan cerdas,
    6. Mempunyai integritas yang tinggi,
    7. Toleran, mencintai sesama, fleksibel dalam berinteraksi.

Menjadi mahasiswa pemimpin masa depan dapat membekali diri dengan;

    1. Kemampuan kepemimpinan; setiap diri mahasiswa harus tertanam sifat-sifat kepemimpinan. Dengan mempersiapkan diri menjadi pemimpin, maka anda akan mampu memimpin dengan amanah bagi yang dipimpin.
    2. Kemampuan Keilmuan, wawasan dan pandangan jauh ke masa depan; rajin membaca, berdiskusi dan mengkaji ilmu pengetahuan melalui berbagai literatur, dan membuat tulisan-tulisan guna menuangkan ide-ide dan gagasan serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan karya tulis ilmiah.
    3. Sikap peka dan peduli terhadap sesama; kemampuan untuk menempatkan diri di dalam masyarakat menjadi amat penting untuk dilatih.
    4. Kemampuan Pengendalian diri; mahasiswa memiliki potensi akal dan hati untuk mampu mengendalikan diri.
    5. Kemampuan komunikasi yang efektif; untuk memotivasi dan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti dan menjalankan perintah.
    6. Memiliki kemandirian; perlu dibangun dengan kesadaran diri, kemampuan diri dan percaya diri, untuk melakukan sesuatu dengan tepat, karena ketergantungan kepada orang lain hanya akan membuat anda sulit untuk maju.
    7. Menjaga kesehatan fisik agar tidak mudah sakit
    8. Memiliki sifat kreatif, inovatif, mampu memotivasi berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara.

 

CERDAS EMOSIONAL MELALUI ORGANISASI

Organisasi adalah alat untuk membangun kekuatan dalam mencapai suatu tujuan, sarana untuk membangun kebersamaan dan mencapai cita-cita luhur suatu pengabdian kepada sesama manusia, memberikan jalan untuk menapaki berbagai pengalaman yang berarti menuju kedewasaan. menjadi wahana yang luas untuk melatih kemampuan diri, keterampilan, dan sikap yang bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan serta organisasi merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses dinamika dunia kampus.

Melalui organisasi, mahasiswa akan menemukan jati dirinya. Lebih dari itu, orang-orang yang aktif dalam organisasi akan memperoleh manfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat bahkan bangsanya. Di organisasi penyaluran minat, bakat, kemampuan dan keahliannya dapat tersalurkan secara menyeluruh karena organisasi adalah media untuk aktualisasi diri seorang mahasiswa.

        Aktualisasi diri mahasiswa dalam sebuah organisasi merupakan suatu keniscayaan, sebab memiliki beberapa alasan yaitu;

    1. Memiliki visi dan misi yang ingin diwujudkan bersama,
    2. Organisasi memiliki tujuan yang jelas dalam menjalankan aktivitasnya
    3. Organisasi memiliki anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) yang menjadi acuan anggotanya,
    4. Organisasi memiliki program kerja untuk dilakukan bersama,
    5. Organisasi mengatur pembagian wewenang dan tugas setiap anggotanya,
    6. Organisasi mewadahi dan menampung berbagai aspirasi, ide, kebutuhan, dan keinginan setiap anggotanya.

Kajian yang dilakukan oleh para akademisi menunjukan bahwa, mahasiswa yang aktif dalam suatu organisasi akan berbeda dengan mahasiswa yang hanya mengikuti perkuliahan semata. Berdasarkan kondisi tersebut perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut;

    1. Pengembangan intelektual bagi seorang aktivis organisasi lebih luas karena senantiasa untuk berfikir logis, rasional, jernih dan argumentatif.
    2. Sebagai aktivis dalam organisasi akan menambah pengalaman dalam bidang keorganisasian, kepemimpinan, kemasyarakatan, pendidikan politik, dan kemandirian.
    3. Memiliki kemampuan untuk menggerakan, mempengaruhi, dan mendorong dirinya dan orang lain untuk melakukan sesuatu dengan bersama.
    4. Memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan baru.
    5. Memiliki kemampuan untuk menghadapi persoalan hidup secara terarah.
    6. Memiliki kesiapan diri untuk melanjutkan kepemimpinan pada masa depan.

Penjelasan tersebut adalah bentuk ideal dari mahasiswa yang secara baik mengikuti kegiatan organisasi, dan bentuk sebaliknya dari gambaran di atas jika mahasiswa hanya mengikuti perkuliahan semata. Namun perlu dipahami bahwa seorang mahasiswa harus mampu memadukan kedua sisi tersebut secara harmoni antara berorganisasi dengan kegiatan perkuliahan.Jangan terjebak dengan cerita masa lalu tentang nostalgia senior dalam berorganisasi yang begitu lama di kampus, ingat bahwa setiap zaman memiliki pola-pola dan sistem tersendiri yang perlu dihadapi oleh  setiap mahasiswa secara realistis apalagi tuntutan setiap masa berbeda dan tujuan setiap orang itu orientasinya pun berbeda karena kondisi kampus selalu menyesuaikan dengan keadaan lingkungan, entah itu demografi, ekonomi, politik, budaya, dan juga alam sekitar. Untuk itu pastikan bahwa kecenderungan diri anda untuk menjadi mahasiswa berkarakter ideal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Mahasiswa yang memiliki kerangka berfikir bahwa seorang aktivis adalah mahasiswa yang sukses dalam studi begitupun organisasi perlu ditanamkan agar istilah aktivis menjadi sebuah kata yang bisa diteladani oleh mahasiswa adik kelasnya kelak. Sehingga tidak ada kesan bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi akan ketinggalan dalam studinya, lebih-lebih sampai Drof Out. Tetunya paradigm itu harus dihapuskan dengan bukti bahwa seorang aktivis adalah mereka yang berprestasi.

        Beberapa manfaat berorganisasi yang memiliki dampak terhadap perkembangan kecerdasan emosional seorang mahasiwa adalah sebagai berikut:

    1. Media bersosialisasi: dengan berorganisasi masing-masing dilatih bagaimana membentuk kehidupan sosial yang baik untuk semua pihak.
    2. Melatih softskill; yang dimaksud disini tidak hanya dapat menyampaikan ide-ide secara verbal di depan banyak orang. Tapi juga bagaimana dapat melakukan negosiasi dengan baik, bagimana menjadi motivator yang baik bagi orang lain, dan bagaimana meyakinkan orang lain untuk mendukung ide kita. Latihan softskill ini jarang sekali kita dapatkan dari pendidikan formal. Kalaupun ada sifatnya sangat terbatas dan hanya teori,  tapi dengan beraktifitas di organisasi softskill ini lansung dilatih dan dalam bentuk praktek.
    3. Melatih kemampuan untuk mendengar dan menghargai orang lain; dengan menjadi pendengar yang baik dan dapat menghargai orang lain inilah menjadi penentu keberasilan seseorang sebagai seorang pemimpin, baik pemimpin di tingkat keluarga, pemimpin sebuah perusahaan/ instansi, mupun pemimpin di tingkat yang lebih tinggi. Menjadi seorang pendengar yang baik, kita dapat menangkap apa yang menjadi keinginan orang lain atau anggota dari sebuah organisasi yang dipimpin. Juga dengan kemampuan mendengar yang baik, kita dapat memahami maksud/ ide dari orang lain yang bisa saja sangat dibutuhkan demi kemajuan diri kita sendiri maupun organisasi yang kita pimpin.
    4. Belajar menghargai orang dengan berbagai tipe; sudah pasti bahwa manusia  yang satu berbeda secara pola pikir dengan manusia yang lain. Bagaimana bisa menghadapi tipe-tipe orang yang berbeda dan bagaimana bisa merangkul orang-orang yang berbeda tipe ini agar mau mendukung ide dan tujuan kita, merupakan hal yang bisa di dapat hanya melalui berorganisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka melalui kegiatan berorganisasi dapat disimpulkan bahwa sikap-sikap yang tumbuh sebagai bentuk kecerdasan emosional yaitu;

      1.  mengendalikan diri,
      2. kepekaan terhadap situasi sosial dan lingkungan,
      3. kesadaran diri
      4. empati terhadap orang lain,
      5. cinta sesame,
      6. optimis dalam menghadapi persoalan,
      7. tidak mudah mengeluh,
      8. membangun kepercayaan diri,
      9. memahami kemampuan orang lain,
      10. dapat bekerjasama, dan
      11. pandai menghargai orang lain.

 

DIANTARA KUNCI SUKSES KULIAH

Memasuki sebuah rumah yang tergembok tentunya kita membutuhkan kunci, demikian halnya untuk bisa mencapai kesuksesan dalam kuliah juga memerlukan kunci tersebut dan kunci sukses kuliah yang dapat anda terapkan didalam kehidupan berkampus antara lain sebagai berikut:

1)    Motivasi berprestasi

Motivasi berprestasi adalah kekuatan internal yang ada pada diri seseorang untuk meraih sesuatu prestasi yang tinggi. Kekuatan motivasi berprestasi ini diawali oleh suatu niat yang kuat untuk melakukan sesuatu (belajar) dengan sungguh-sungguh. Niat anda memiliki daya dorong yang luar biasa untuk memperoleh suatu prestasi belajar. Oleh karena belajar adalah suatu amal baik, maka anda harus meluruskan niat anda agar dibimbing oleh Tuhan menuju kepada kesuksesan. Niat yang kuat akan menghantarkan seseorang pada tujuan yang dicita-citakanya. Sebaliknya kalau motivasi berprestasi tidak tumbuh dalam diri anda, maka akan bagaimana mungkin akan memperoleh kesuksesan sebagai mana yang di harapkan? Dorongan yang kuat untuk menjadi mahasiswa berprestasi yang di dukung oleh niat yang lurus akan mewujudkan tujuan anda. Keterampilan menetapkan tujuan, sasaran dan target amat penting dalam meraih cita-cita anda. Dan jangan dilupakan bahwa motivasi terhebat seorang anak adalah orang tua maka tetaplah menjaga hubungan tersebut.

2)    Sabar

Dalam menampuh studi tidak jarang kita diperhadapkan dengan sejumlah rintangan. Masalah kerap kali muncul seiring dengan perjalan kuliah. Bagi yang tidak siap  dan sala menyikapi masalah yang ada maka masalah itu akan semakin besar. Oleh karenanya sebagai orang yang beriman hendanya dalam mengatasi masalah adalah dengan kesabaran. Sabar bukan berarti diam dalam menghadapi kondisi atau suatu kenyataan atau bukan berarti menerima apa adanya ataupun pasrah tanpa usaha namun sabar dalam arti ingin berubah. Sabar dalam arti berupaya untuk meraih suatu tujuan dengan penuh keyakinan.

3)    Manajemen diri

Mahasiswa yang cerdas adalah mahasiswa yang mampu memenej diri dalam setiap aktifitasnya. Cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan juga cerdas secara spiritual tentunya dicapai melalui kemampuan mengelola diri. Manajemen diri berkaitan erat dengan kemampuan diri mengelola waktu. Secara efektif dan efisien. Ada berbagai kesempatan dan peluang untuk mengoptimalkan waktu anda dalam keseharian yaitu; waktu untuk belajar, waktu untuk membaca, waktu untuk menulis, waktu untuk beribadah, waktu berorganisasi, waktu untuk kuliah, waktu untuk berolahraga, waktu untuk santai, bersilaturahmi dab lain-lain.

4)    Menghormati dan memahami karakteristik dosen

Jangan habiskan waktu anda dengan mencaci dosen, tapi belajarlah untuk memahami karakteristik dosen. karakter dosen yang satu dengan yang lainnya sedah pasti berbeda karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan berbeda, cara pandang berbeda, sifat berbeda, minat dan hobi berbeda berbeda pula dalam menghadapi mahasiswa. Sebab jika anda tidak bisa memahami karakter dosen, apalagi salah memahaminya sehingga anda tidak cerdas dalam menempatkan diri sebagai mahasiswa di hadapan dosen, mungkin dapat merugikan posisi anda. Perlu juga anda pahami bahwa  tidak setiap dosen itu sama seperti yang anda harapkan jadi sesuaikanlah.

5)    Menjalin komunikasi dengan teman

Dalam aktivitas anda, tentunya tidak bisa dilepaskan dari kontribusi teman anda. Anda harus mampu menghormati dan menghargai sesama teman. Memulai beradaptasi, bekerja sama, menjalin kebersamaan, sehingga bisa tercipta pertemanan yang sejati. Dan mendapatkan teman sepeti itu anda bisa melakukan aktivitas-aktivitas organisasi intara ataupun ekstra.

6)    Berdoa dan bersyukur

Keberhasilan seseorang tidak lepas dari izin dan ridho Tuhan. Oleh karenannya berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa dan rasa syukurnya merupakan bagian yang tidak boleh dilupakan oleh seorang terpelajar. Seseorang mahasiswa yang membiasakan dirinya hidup dengan doa dan syukur akan menghantarkan dirinya semakin percaya diri, tidak pantang menyerah, tidak sombong, dan memiliki suatu keyakinan untuk menghantarkan dirinya pada kesuksesan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Badu, S.Q., Amin, B. 2012. Civitas Acadeica. Jakarta: Pustaka Indonesia Press.

Efendi, S. 2016. My Enemy Is Me. Yogyakarta. Penerbit WR.

Nurdin, D. 2009. Mahasiswa Pemimpin Masa Depan. Bandung: Ilmu Cahaya Hati.

Uno, H.B., Kuadrat, M. 2010. Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Seymour, R.I. 2002. Maximize Your Potential. USA: Pelican Publishing Company, Inc.

 

 

PRAKTIKUM BIMBINGAN DAN KONSELING SOSIAL

23 September 2020 16:13:34 Dibaca : 41791

 By: Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

1. Hakekat Perkembangan BK Sosial

A. Pengertian Perkembangan Sosial

            Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma- norma kelompok, moral dan tradisi. Meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama. Berikut pengertian perkembangan sosial menurut para ahli:

  1. Menurut plato secara potensial manusia dilahirkan sebagai makhluk social (zoon politicon).
  2. Syamsuddin (1995) mengungkapkan bahwa sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk social.
  3. Sedangkan menurut loree (1970) sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu terutama anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan social terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan kelompoknya serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya.
  4. Muhibbin (1999) mengatakan bahwa perkembangan social merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.
  5. Hurlock (1978) mengutarakan bahwa perkembangan social merupakan perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntunan social. Sosialisasi adalah kemampuan bertingkah laku sesuai dengan norma, nilai atau harapan social.

 B. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

            Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

  1.  Keluarga: Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
  2. Kematanga; Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
  3. Status Sosial; Ekonomi Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
  4. Pendidikan Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan social anak didalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
  5. Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi; Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik.

 C. Pengertian Bimbingan dan Konseling Sosial.

Bimbingan dan konseling sosial adalah proses bantuan untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengembangkan pemahaman dan keterampilan berinteraksi sosial atau hubungan insani (human realtionship) dan memecahkan masalah-masalah sosial yang dialaminya (Yusuf, 2009: 55). Menurut Sukardi (2007: 55), bimbingan sosial membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang dilandasinya budi pekerti luhur, tanggung jawab kemasyarakatan dan kenegaraan. Bimbingan sosial, menyangkut pengembangan (a) pemahaman tentang keragaman budaya atau adat istiadat, (b) sikap-sikap sosial (sikap empati, altruis, toleransi, dan kooperasi), dan (c) kemampuan berhubungan sosial secara positif dengan orang tua, guru, teman, dan staf sekolah (Yusuf, 2009: 55). Bimbingan dan konseling sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan social sekolah yang kondusif, dan membangun interaksi pendidikan atau proses pembelajaran yang bermakna (memberikan nilai manfaat bagi perkembangan protensi siswa secara optimal) (Yusuf, 2009: 55).

 D. Ranan Lingkup BK Sosial

            Pelayanan bimbingan dan konseling memiliki peranan penting,baik bagi individu yang berada dalam lingkungan sekolah,rumah tangga ( keluarga ), maupun masyarakat pada umumnya.

  1. Pelayanan bimbingan dan konseling disekolah; Sekolah merupakan lembaga formal yang secara khusus dibentuk untuk menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat,dalam kelembaggaan sekolah terdapat sejumlah bidang pelayanan bimbingan dan konseling mempunyai kedudukan dan peranan yang khusus.
  2. Pelayan bimbingan dan konseling diluar sekolah; Bimbingan dan konseling keluarga; Keluaga merupakan satuan persekutuan hidup yang paling mendasar dan merupakan pangkal kehidupan bermasyarakat. Bimbingan dan konseling dalam lingkungan yang lebih luas. Permasalahan yang dialami oleh warga masyarakat tidak hanya terjadi dilingkungan sekolah dan keluarga saja,melainkan juga diluar keduanya.

 E. Tujuan Bimbingan Konseling Sosial.

Dahlan (1989) menyatakan bahwa tujuan bimbingan sosial adalah agar individu mampu mengembangkan diri secara optimal sebagai makhluk sosial dan makhluk ciptaan Allah Swt. Secara garis besar tujuan Bimbingan Konseling Sosial membantu seseorang agar mampu mengembangkan kompetensinya dalam hal, Bersifat respek (menghargai dan menghormati) terhadap orang lain,Memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap tugas, peran hidup dalam bersosialisasi. Adapun Tujuan Bimbingan dan Konseling Sosial antara lain:

  1. Supaya orang-individual, kelompok orang,peserta didik/siswa yang dilayani menjadi mampu menghadapi tugas perkembangan hidupnya secara sadar dan bebas mewujudkan kesadaran dan kebebasan itu dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana serta mengambil beraneka tindakan penyesuaian diri secara memadai (Winkle (2005:32).
  2. Untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status social ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama pelayanan bimbingan sosial adalah agar individu khususnya siswa yang dibimbing mampu melakukan interaksi sosial secara baik dengan lingkungannya. Bimbingan sosial juga bertujuan untuk membantu indiviu dalam memecahkan dan mengatasi kesulitan-kesulitan dalam masalah sosial, sehingga individu dapat menyesuaikan diri secara baik dan wajar dalam lingkungan sosialnya.

 F. Bentuk-bentuk Layanan BK Sosial.

1) Layanan Preventif (Pencegahan)

       Ada beberapa macam bentuk layanan preventif dalam bimbingan sosial yang bias diberikan kepada para siswa di sekolah atau madrasah. Bentuk-bentuk layanan tersebut :

    1. Layanan informasi yang mencakup :

- Informasi tentang ciri-ciri masyarakat maju atau moderen.

- Makna ilmu pengetahuan.

- Pentingnya IPTEK bagi kehidupan manusia dan lain-lain.

- Informasi tentang cara-cara bergaul.

- Informasi tentang cara-cara berkomunikasi dalamkonteks sosial.

- Informasi tentang cara individu perlu berhubungan dengan orang.

b. Orientasi; Layanan orientasi untuk bidang pengembangan hubungan sosial suasana, lembaga dan objek-objek pengembangan sosial seperti berbagai suasana hubungan social antarindividu dalam keluarga, organisasi atau lembaga tertentu, dalam acara sosial tertentu.

2) Layanan Kuratif (Penyembuhan/korektif)

Bentuk-bentuk layanan kuratif di berikan kepada klien atau peserta didik yang mengalami masaalah sosial. Layanan kuratif biasanya di berikan secara indifidual dalam bentuk konseling. Bentuk layanan kuratif misalnya bimbingan bergaul dan memilih teman, masaalah kesulitan belajar, kesulitan bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif, rasa kerertarikan pada lawan jenis berlebihan, masalah seksual sesama jenis LGBT, hubungan sosial dalam keluarga dan orang-orang di lingkungan sosial sekitarnya dan masih banyak lagi.

3) Layanan Developmen (Pengembangan)

Layanan development atau pengembangan dapat berbentuk:

- pengembangan kreatifitas.

- Pengembangan pengetahuan.

- pengembangan minat dan bakat.

- pengembangan kemampuan berinteraksi sosial.

- pengembangan kemampuan berorganisasi.

- pengembangan karir dan lain-lain.

 G. Aspek-aspek Bimbingan Sosial di Sekolah

Selain problem yang menyangkut dirinya sendiri, individu juga dihadapkan pada problem yang terkait dengan orang lain. Dengan perkataan lain, masalah individu ada yang bersifat pribadi dan ada yang bersifat sosial. Kadang-kadang individu mengalami kesulitan atau masalah dalam hubungannya dengan individu lain atau lingkungan sosialnya. Masalah ini dapat timbul karena individu kurang mampu atau gagal berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang kurang sesuai dengan keadaan dirinya. Problem individu yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya misalnya :

1)      Kesulitan dalam persahabatan.

2)      Kesulitan mencari teman.

3)      Merasa terasing dalam aktivitas kelompok.

4)      Kesulitan memperoleh penyesuaian dalam kegiatan kelompok.

5)      Kesulitan mewujudkan hubungan yang harmonis dalam keluarga.

6)      Kesulitan dalam menghadapi situasi sosial yang baru.

            Selain problem diatas, aspek-aspek sosial yang memerlukan layanan bimbingan social adalah :

1)      Kemampuan individu melakukan sosialisasi dengan lingkungannya.

2)      Kemampuan individu melakukan adaptasi.

3)      Kemampuan individu melakukan hubungan sosial (interaksi sosial) dengan lingkungannya baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

 

2. Bimbingan Klasikal

A. Pengertian Bimbingan Klasikal

Layanan bimbingan klasikal merupakan cara yang paling efektif dalam mengidentifikasi siswa yang membutuhkan perhatian ekstra. Dalam kaitannya dengan pengertian bimbingan klasikal, Gysber & Henderson (Farozin, 2012:2) menyatakan bahwa bimbingan klasikal merupakan bentuk kegiatan yang diselenggarakan dalam guidance curriculum. Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang diberikan kepada sejulah siswa yang tergabung dalam suatu satuan kegiatan pengajaran (Samisih, 2013:8). Bimbingan klasikal adalah bimbingan yang berorientasi pada kelompok siswa dalam jumlah yang cukup besar antara 30 –40 orang siswa (sekelas). Bimbingan Klasikal lebih bersifat preventif dan berorientasi pada pengembangan pribadi siswa yang meliputi bidang pembelajaran, bidang social dan bidang karir. Bimbingan klasikal merupakan suatu pelayanan bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing didalam kelas. dalam kegiatan ini pembimbing menyampaikan materi berbagai materi bimbingan melalui berbagai pendekatan dan teknik yang dimaksudkan untuk membelajarkan pengetahuan atau ketrampilan kepada peserta didik sehingga peserta didik dapat menggunakannya untuk mencapai perkembangan yang optimal dalam bidang akademik, pribadi-sosial, dan karir (dalam Dian, et al. 2015:309). Bimbingan klasikal merupakan salah satu strategi pelayanan dasar bimbingan yang dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan para peserta didik dikelas untuk membantu siswa dalam memilih karirnya.

 B. Tujuan Bimbingan Klasikal

Tujuan bimbingan klasikal (layanan dasar) adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk memahami diri dan orang lain, menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan eksplorasi dan perencanaan karir (dalam Dian, et al. 2015:310).

 C.  Pelaksanaan Bimbingan Klasikal

Bimbingan klasikal layanan dasar bidang karir diberikan secara klasikal. Langkah-langkah pelaksanaan bimbingan klasikal (dalam Dian, et al. 2015:329) yaitu:

  1. Kegiatan awal. Sebelum melakukan bimbingan klasikal guru pembimbing mempersiapkan perangkat layanan, mempersiapkan kelas, menyampaikan salam pembuka, melakukan bincang ringan dengan siswa dan menyampaikan materi dan tujuan kegiatan.
  2. Kegiatan inti. Dalam kegiatan bimbingan klasikal guru pembimbing memberikan copy materi kepada siswa, mempresentasikan materi melalui media, mengundang siswa untuk berdiskusi, mengajak siswa untuk melakukan permainan, dan mengajak siswa untuk berdiskusi.

Kegiatan penutup.; Sebelum kegiatan bimbingan klasikal diakhiri, guru pembimbing mengadakan umpan balik dari siswa untuk memastikan apakah siswa telah menguasai kompetensi, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa dan menjawab pertanyaan yang muncul, dan menutup kegiatan (memberikan salam).

Metode/Teknik Bimbingan Klasikal

  1. Ceramah/tanya jawab: penjelasan disertai tanya jawab yang dilakukan oleh guru BK untuk membahas topik tertentu.
  2. Ceramah dari nara sumber: ceramah yang diberikan oleh orang yang sukses dalam belajar, dalam karir.
  3. Cinema Teraphy: layanan dengan menggunakan video/film yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  4. Bibliokonseling: layanan dengan menggunakan bahan bacaan yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  5. Diskusi Kelompok: Kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas permasalahan pribadi, sosial, belajar dan karir.
  6. Brainstorming (curah pendapat): meminta pendapat konseli  secara terbuka tentang topik permasalahan yang dibicarakan.
  7. Home-room: menciptakan situasi kelas seperti situasi di rumah, sehingga antara sesama konseli merasa sebagai sebuah keluarga. Dalam situasi ini dibahas topik permasalahan yang dibicarakan, setiap konseli bisa dengan bebas mengungkapkan pendapatnya tentang permasalahan yang dibahas.
  8. Carrier Days: beberapa jam dalam sehari, sehari/beberapa hari yang dikhususkan untuk kegiatan pengembangan karir siswa. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada carrier day ini misalnya: ceramah dari nara sumber, latihan keterampilan, penyaluran bakat/minat, pameran hasil karya siswa, wirausaha.

 3.    Bimbingan Kelompok/Konseling Kelompok

A.  Pengertian Bimbingan Kelompok

Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok membahas suatu topik tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2007:29). Sedangkan Sukardi (2008:64) menyatakan bahwa bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan guna perserta didik setelah bersama–sama memperoleh berbagai bahan dari sumber tertentu (terutama dari pembimbing atau konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari–hari baik individu maupun pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Sedangkan dikemukakan oleh Rusmana (2009: 13), layanan bimbingan kelompok adalah “suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap dan/atau keterampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi.

Jadi dari beberapa pengertian bimbingan kelompok diatas dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu proses bimbingan yang dilaksanakan secara kelompok antara pemimpin kelompok (konselor) dan juga anggota kelompok (klien/peserta didik) dalam dinamika kelompok yang bertujuan adanya interaksi antara kedua belapihak untuk saling mengunggkapkan pendapat, tanggapan, saran, dan juga timbal balik. Dalam hal ini pemimpin kelompok menyediakan berbagai informasi-informasi penting yang bermanfaat bagi individu agar dapat mencapai perkembangan dan mampu beraktualisasikan diri secara optimal baik dalam hal pribadi, sosial, belajar dan juga karir.

 B.  Tujuan Bimbingan Kelompok

Tujuan layanan bimbingan kelompok menurut Winkel & Sri Hastuti (2004: 547) “adalah menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing – masing anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerja sama dalam kelompok guna aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan”. Prayitno (2004:2-3) merumuskan tujuan bimbingan kelompok adalah  berkembangnya sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Bermaksud membahas topik-topik tertentu yang megandung permasalahan actual dan menjadi perhatian peserta.

Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi, verbal maupun non verbal ditingkatkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa layanan bimbingan kelompok dapat memberikan manfaat untk siswa, dan juga dapat meningkatkan kemampuan bersosialisasi, serta mewujudkan tingkahlaku yang lebih efektif.

 C.      Model Kelompok dalam Layanan Bimbingan Kelompok

Dalam pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang dapat dikembangkan. Menurut Prayitno (1995:24-25) ada dua jenis kelompok dalam bimbingan konseling yaitu kelompok bebas dan kelompok tugas.

  1. Kelompok bebas: Dalam kegiatannya para anggota bebas untuk mengemukakan segala pikiran dan perasaannya dalam kelompok. Selanjutnya apa yang disampaikan dalam kelompok itulah yang menjadi pokok bahasan kelompok.
  2. Kelompok tugas; Dalam penyelenggaraan bimbingan kelompok tugas, arah dan isi kegiatannya tidak ditentukan oleh para anggota, melainkan diarahkan kepada penyelesaian suatu tugas. Pemimpin kelompok mengemukakan suatu tugas untuk selanjutnya dibahas dan diselesaikan oleh anggota kelompok.  Untuk kelompok bebas, semua anggota bebas mengemukakan topik yang akan dibahas. Topik yang dibahas adalah permasalahan umum yang dirasakan oleh semua anggota kelompok. Sedangkan untuk kelompok tugas, topik yang dibahas adalah masalah umum yang ditentukan oleh pemimpin kelompok.

 D.      Komponen Layanan Bimbingan Kelompok

Dalam layanan bimbingan kelompok, terdapat dua komponen yang memiliki peranan penting. Prayitno (2004:4-13) mengatakan bahwa dua pihak yang berperan dalam layanan bimbingan kelompok adalah pemimpin kelompok dan anggota kelompok.

  1. Pemimpin Kelompok; Pemimpin kelompok mempunyai peranan penting dalam layanan bimbingan kelompok. Menurut Prayitno (1995: 35-36) peranan pemimpin kelompok dalam layanan bimbingan kelompok seperti berikut.
  • Pemimpin kelompok dapat memberikan bantuan, pengarahan atau campur tangan langsung terhadap kegiatan kelompok. Campur tangan ini meliputi, hal-hal bersifat isi dari yang dibicarakan maupun mengenai proses kegiatan itu sendiri.
  • Pemimpin kelompok memusatkan perhatian pada suasana perasaan yang berkembang dalam kelompok itu, baik perasaan anggota-anggota tertentu maupun keseluruhan kelompok. Pemimpin kelompok dapat menanyakan suasana perasaan yang dialami oleh anggota kelompok.
  • Jika kelompok tersebut tampak kurang menjurus ke arah yang   dimaksudkan, maka pemimpin kelompok perlu memberikan arah yang dimaksudkan itu.
  • Pemimpin kelompok juga perlu memberikan tanggapan (umpan  balik) tentang berbagai hal yang terjadi dalam kelompok, baik  yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok.
  • Pemimpin kelompok diharapkan mampu mengatur “Lalu lintas”  kegiatan kelompok, pemegang aturan permainan (menjadi wasit),  pendamai dan pendorong kerjasama serta suasana kebersamaan.  Selain itu juga diharapkan bertindak sebagai penjaga agar apa pun  yang terjadi di dalam kelompok itu tidak merusak atau pun  menyakiti seseorang atau lebih anggota kelompok.
  • Sifat kerahasiaan dari kelompok itu dengan segenap isi dan  kejadian-kejadian yang timbul didalamnya juga menjadi tanggung  jawab pemimpin kelompok.

Dalam memberikan layanan bimbingan kelompok, pemimpin kelompok memiliki tugas-tugas yang tidak dapat diabaikan. Menurut Tohirin (2007:170) tugas utama pemimpin kelompok sebagai berikut.; Pertama: Membentuk kelompok sehingga terpenuhi syarat-syarat kelompok yang secara aktif mengembangkan dinamika kelompok. Kedua: Melakukan penstrukturan. Ketiga: Melakukan pentahapan layanan bimbingan kelompok. Keempat: Melakukan penilaian hasil layanan bimbingan kelompok. Kelima: Melakukan tindak lanjut. Pemimpin kelompok merupakan ujung tombak keberhasilan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, karena pemimpin kelompok adalah orang yang mampu menciptakan suasana sehingga para anggota kelompok dapat belajar bagaimana mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, pemimpin kelompok haruslah orang yang telah terlatih dan berwenang untuk menyelenggarakan layanan bimbingan kelompok.

2. Anggota Kelompok

Tidak semua kumpulan orang atau individu dapat dijadikan anggota bimbingan kelompok. Corey (dalam Natawidjaja, 2009:81) mengemukakan beberapa kriteria untuk seleksi keanggotaan kelompok, yakni mempunyai minat umum, mempunyai keinginan untuk berbagi pikiran dan perasaan secara sukarela, mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dengan proses kelompok serta mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses kelompok. Disamping itu, besarnya kelompok (jumlah anggota kelompok), dan heterogenitas/homogenitas anggota kelompok dapat mempengaruhi kinerja kelompok.

  1. Besarnya kelompok. Kelompok yang ideal terdiri dari 8-10 orang. Kelompok yang terlalu kecil, misalnya 2-3 orang akan mengurangi efektifitas bimbingan kelompok. Sebaliknya, kelompok yang terlalu besar juga kurang efektif. Karena jumlah peserta yang terlalu banyak, maka partisipasi aktif individual dalam dinamika kelompok menjadi kurang intensif.
  2. Heterogenitas/homogenitas kelompok. Layanan bimbingan kelompok  memerlukan anggota kelompok yang dapat menjadi sumber-sumber bervariasi untuk membahas suatu topik atau memecahkan masalah tertentu. Anggota kelompok yang heterogen akan menjadi sumber yang lebih kaya untuk pencapaian tujuan layanan. Homogenitas diperlukan untuk menghindari kesenjangan dalam kinerja kelompok untuk tingkat perkembangan dan jenjang pendidikan. Hendaknya jangan dicampur siswa SLTP dan SLTA dalam satu kelompok; demikian juga orang dewasa dengan anak-anak.
  3. Peranan anggota kelompok. Peranan para anggota kelompok sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok. Menurut Prayitno (1995:32) Peranan yang hendaknya dimainkan anggota kelompok agar dinamika kelompok sesuai harapan adalah sebagai berikut: (1) membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok. (2) mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok. (3) berusaha agar yang dilakukannya itu membantu tercapainya tujuan bersama. (4) membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinya dengan baik. (5) benar-benar berusaha untuk secara efektif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok. (6) mampu mengkomunikasikan secara terbuka. (7) berusaha membantu orang lain. (8) memberikan kesempatan kepada anggota lain untuk juga menjalani peranannya. (9) menyadari pentingnya kegiatan kelompok tersebut.

            Kedua komponen dalam layanan bimbingan kelompok berperan penting dalam proses kehidupan kelompok. Peran kelompok tidak akan terwujud tanpa keikutsertaan aktif para anggota kelompok. Demikian pula, suatu kelompok tidak akan dapat melakukan kegiatan dalam hal-hal tertentu tanpa kehadiran pemimpin kelompok.

 

E.  Teknik dan Tahap Pelaksanaan Bimbingan Kelompok

Teknik penyeleggaraan bimbingan kelompok memerlukan persiapan dan praktik pelaksanaan kegiatan yang memadai,dalam pelaksanaan bimbingan kelompok mempunyai banyak fungsi, selain dapat lebih memfokuskan kegiatan bimbingan kelompok terhadap tujuan yang akan dicapai tetapi dapat juga membangun suasana dalam kegiatan bimbingan kelompok lebih bergairah dan tidak cepat membuat siswa jenuh saat mengikutinya. Berdasarkan yang dikemukakan oleh Romlah (dalam Suprapto, 2007:45) “Teknik bukan merupakan tujuan tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemilihan dan penggunaan masing-masing teknik tidak dapat lepas dari kepribadian konselor, guru atau pemimpin kelompok”.

Tahap pelaksanaan bimbingan kelompok menurut Prayitno (1995: 40) ada empat tahapan, yaitu:

1)      Tahap I Pembentukan

Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini pada umumnya para anggota saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing sebagian, maupun seluruh anggota. Memberikan penjelasan tentang bimbingan kelompok sehingga masing-masing anggota akan tahu apa arti dari bimbingan kelompok dan mengapa bimbingan kelompok harus dilaksanakan serta menjelaskan aturan main yang akan diterapkan dalam bimbingan kelompok ini. Jika ada masalah dalam proses pelaksanaannya, mereka akan mengerti bagaimana cara menyelesaikannya. Asas kerahasiaan juga disampaikan kepada seluruh anggota agar orang lain tidak mengetahui permasalahan yang terjadi pada mereka.

2)      Tahap II Peralihan

Tahap kedua merupakan “jembatan” antara tahap pertama dan ketiga. Ada kalanya jembatan ditempuh dengan amat mudah dan lancar, artinya para anggota kelompok dapat segera memasuki kegiatan tahap ketiga dengan penuh kemauan dan kesukarelaan. Ada kalanya juga jembatan itu ditempuh dengan susah payah, artinya para anggota kelompok enggan memasuki tahap kegiatan keompok yang sebenarnya, yaitu tahap ketiga. Dalam keadaan seperti ini pemimpin kelompok, dengan gaya kepemimpinannya yang khas, membawa para anggota meniti jembatan itu dengan selamat.

Adapun yang dilaksanakan dalam tahap ini yaitu: (1) Menjelaskan kegiaatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya; (2) menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya; (3) membahas suasana yang terjadi; (4) meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota; (5) Bila perlu kembali kepada beberapa aspek tahap pertama.

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin, yaitu sebagai berikut:

    1.  Menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka
    2. Tidak mempergunakan cara-cara yang bersifat langsung atau mengambil alih kekuasaannya.
    3. Mendorong dibahasnya suasana perasaan.
    4. Membuka diri, sebagai contoh dan penuh empati.

3)      Tahap III Kegiatan

Tahap ini merupakan inti dari kegiatan kelompok, maka aspek-aspek yang menjadi isi dan pengiringnya cukup banyak, dan masing-masing aspek tersebut perlu mendapat perhatian yang seksama dari pemimpin kelompok. Ada beberapa yang harus dilakukan oleh pemimpin dalam tahap ini, yaitu sebagai pengatur proses kegiatan yang sabar dan terbuka, aktif akan tetapi tidak banyak bicara, dan memberikan dorongan dan penguatan serta penuh empati. Tahap ini ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan, yaitu:

    1. Masing-masing anggota secara bebas mengemukakan masalah atau topik bahasan.
    2. Menetapkan masalah atau topik yang akan dibahas terlebih dahulu.
    3. Anggota membahas masing-masing topik secara mendalam dan tuntas.
    4. Kegiatan selingan.

Kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar dapat terungkapnya masalah atau topik yang dirasakan, dipikirkan dan dialami oleh anggota kelompok. Selain itu dapat terbahasnya masalah yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas serta ikut sertanya seluruh anggota secara aktif dan dinamis dalam pembahasan baik yang menyangkut unsur tingkah laku, pemikiran ataupun perasaan.

4)      Tahap IV Pengakhiran

Pada tahap pengakhiran bimbingan kelompok, pokok perhatian utama bukanlah pada berapa kali kelompok itu harus bertemu, tetapi pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu. Kegiatan kelompok sebelumnya dan hasil-hasil yang dicapai seyogyanya mendorong kelompok itu harus melakukan kegiatan sehingga tujuan bersama tercapai secara penuh. Dalam hal ini ada kelompok yang menetapkan sendiri kapan kelompok itu akan berhenti melakukan kegiatan, dan kemudian bertemu kembali untuk melakukan kegiatan. Ada beberapa hal yang dilakukan pada tahap ini, yaitu:

    1. Pemimpin kelompok mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri.
    2. Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan.
    3.  Membahas kegiatan lanjutan.
    4.  Mengemukakan pesan dan harapan.

Setelah kegiatan kelompok memasuki pada tahap pengakhiran, kegiatan kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang mereka pelajari (dalam suasana kelompok), pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.

 

F.   Metode/Teknik Bimbingan Kelompok

  1. Diskusi Kelompok: Kelas dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas permasalahan pribadi, sosial, belajar dan karir.
  2. Cinema Teraphy: layanan dengan menggunakan video/film yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  3. Bibliokonseling: layanan dengan menggunakan bahan bacaan yang sesuai dengan topik bahasan/topik permasalahan.
  4. Dilema Moral: layanan dengan memberikan peristiwa/ masalah yang mengandung dilema.
  5. Latihan: layanan dengan menggunakan kegiatan dalam bentuk latihan, misalnya: menulis (written), latihan mengembangkan kreativitas konseli.
  6. Permainan: layanan dengan menggunakan kegiatan dalam bentuk permainan.

 8. Konseling Individual

A. Defenisi Konseling Individual

Konseling individual merupakan kegiatan terpenting dalam pekerjaan seorang Konselor. Seseorang disebut sebagai Konselor bukan karena memberikan tes, memberikan informasi perencanaan kerja atau menyediakan konsultasi saja, tetapi karena mereka juga melaksanakan konseling individual. Menurut Gibson & Mitchell (2011:205) konseling individual merupakan sebuah keterampilan dan sebuah proses yang harus dibedakan dari sekedar memberikan nasehat, pengarahan, bahkan mungkin mendengarkan secara simpatik atau ketertarikan besar kepada permasalahan-permasalahan individu. Sependapat dengan hal tersebut, menurut Patterson (1980:214) konseling bukanlah pemberian nasehat, saran-saran, teguran, interviu, upaya menakut-nakuti, disiplin, dan perekomendasian.

Konseling individual secara sederhana diartikan sebagai pertemuan tatap muka secara langsung antara Konselor dengan satu orang individu (klien). Menurut Gladding (dalam Lesmana, 2005:4) konseling individual merupakan kegiatan profesional berupa pertemuan pribadi antara Konselor dan klien dalam jangka waktu yang ditentukan. Pertemuan tersebut diprioritaskan kepada upaya pemberian bantuan kepada individu-individu normal dalam rangka pengembangan dan pengentasan permasalahan pribadinya. Sementara itu menurut Willis (2007:43) layanan konseling individual merupakan upaya bantuan yang diberikan oleh Konselor kepada seorang individu dengan tujuan-tujuan tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, Prayitno (1994:296) menjelaskan bahwa layanan konseling individual merupakan layanan khusus dalam hubungan langsung dengan tatap muka antara Konselor dengan klien. Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan layanan konseling individual adalah layanan yang diberikan kepada siswa secara tatap muka antara Konselor dengan klien dengan menggunakan pendekatan dan keterampilan tertentu. Adapun tujuan pelaksanaan layanan konseling individual adalah untuk pengembangan diri dan upaya pengentasan permasalahan individu dengan mengoptimalkan berfungsinya kekuatan yang berasal dari diri individu sendiri.

 

B. Tujuan Konseling Individual

Menurut Patterson (1980:219) tujuan konseling individual adalah mendapatkan kondisi-kondisi yang memudahkan perubahan individu secara sadar. Perubahan yang terjadi pada diri individu diharapkan merupakan perubahan yang direncanakan dan dilakukannya dengan berlandaskan kepada keinginannya secara sadar tanpa ada intervensi pihak lain. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan ahli ini berupa hak-hak individual untuk menentukan dan membuat pilhan secara mandiri.       Shetzer dan Stone (1980:82-85) menyatakan bahwa tujuan konseling adalah: (1) perubahan tingkah laku (behavioral change), (2) kesehatan mental positif (positive mental health), (3) pemecahan masalah (problem resolution), (4) keefektifan pribadi (personal efectivenes), (5) pembuatan keputusan (decision making). Tercapainya mental yang sehat akan menjadikan individu memiliki integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif terhadap orang lain. Dalam konseling, klien diupayakan untuk mampu memecahkan permasalahannya dan mengambil keputusan secara mandiri. Dengan demikian diharapkan individu tersebut mampu menampilkan tingkah laku baru sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Menurut Gibson & Mitchell (2011:206) pelaksanaan konseling individual memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) menyediakan informasi bagi klien, (2) membantu klien memecahkan permasalahannya, (3) perubahan niat, (4) upaya pemberian motivasi terhadap klien, (5) menyediakan dukungan dan (6) mendidik klien. Pelaksanaan konseling individual terhadap klien dikatakan berhasil apabila mampu menyediakan sejumlah pemenuhan kebutuhan seperti pencegahan, motivasi, perkembangan, dukungan, intervensi dan bimbingan. Keseluruhan tujuan tersebut pada intinya membantu setiap individu mencapai kondisi yang terbaik yang diupayakannya. Prayitno dan Amti (1994:45) menjelaskan tujuan layanan konseling adalah terjadinya perubahan dalam tingkah laku klien. Pendapat ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Krumboltz (dalam Mappiare, 2006:50) bahwa tujuan-tujuan konseling merujuk kepada terbentuknya perubahan pola perilaku baru. Dalam kaitan ini Konselor berperan membantu klien untuk mencapai tujuan tersebut dalam proses konseling individual.

Dari uraian para ahli mengenai tujuan konseling individual yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan konseling adalah terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik, terentaskannya masalah-masalah klien dan terkembangkannya potensi-potensi yang dimiliki individu. Di dalam tujuan tersebut terangkum upaya preventif, peningkatan, perbaikan, penyelidikan, penguatan, kognitif, fisiologis, dan psikologis yang melayani tiga fungsi penting dalam proses konseling, yakni: motivasi, edukasi, dan evaluasi.         

 

DAFRTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2010. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah.

Hallen. 2005. Bimbingan dan Konseling.Jakarta: Quantum Teching.

Hulock, E.B. 1998. Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

Mahsunah, Dian, Arif, & Santi A. 2015. Modul PLPG Bimbingan dan Konseling. Surabaya.

Makrifah,  F. L & Wiryo, N. 2014. Pengembangan Paket Peminatan dalam Layanan Bimbingan Klasikal untuk Siswa di SMP. Jurnal BK, (Online), Vol. 04, No. 03, (http://journal.unesa.ac.id, Diakses 18 Februari 2016).

McLeod, J. 2006. Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Kencana.

MIlgram, R. M. 1991. Counseling Gifted and Talented Children. Noewood -New Jersey : Ablex Publishing Corporation.

Natawidjaja, Rochman. 2009. Konseling Kelompok Konsep Dasar & Pendekatan. Bandung: Rizqi Press.

Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok Dasar dan Profil. Jakarta: Rineka Cipta.

Prayitno. 2004. Seri Layanan L.6 L.7 Layanan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok. Padang: Jurusan BK FIP UNP.

Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling kelompok di Sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.

Samisih. 2013. Praktek Layanan Informasi Dan Orientasi Secara Klasikal. Jurnal Ilmiah SPIRIT, (Online), Vol. 13 No. 2, (http://download.portalgaruda.org, Diakses 18 Februari 2016)

Schertzer, B. & Stone, S. 1980. Fundamental of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Sukardi dan Kusumawati. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Sukardi, D. K. 2002. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tohirin. 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (berbasis integrasi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Winkel W. S. & Hastuti Sri M. M.2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogykarta: Media Abadi

Yusuf, S. 2009. Program Bimbingan & Konseling di Sekolah. Bandung: Rizqi Press.