SAATNYA BERUBAH DALAM MEMBELAJARKAN DENGAN MEMULIAKAN PESERTA DIDIK
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Dalam dunia pendidikan, tujuan utama yang ingin dicapai adalah menghasilkan individu yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga mampu berkontribusi secara positif kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, sering kali kita menemukan bahwa proses belajar mengajar yang berlangsung tidak sepenuhnya menghargai dan memuliakan peserta didik. Sebagai pendidik, sudah saatnya kita mengubah cara pandang dan pendekatan dalam membelajarkan, dengan tujuan utama memuliakan peserta didik, memperhatikan potensi, nilai, dan keberagaman mereka dalam proses pembelajaran.
Mengubah pendekatan ini bukan hanya sekadar mengganti metode pengajaran, tetapi juga mengubah cara kita memandang peran peserta didik dalam proses pendidikan. Selama ini, banyak yang beranggapan bahwa peserta didik hanya berperan sebagai penerima informasi. Padahal, mereka adalah subjek aktif yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pembelajaran mereka sendiri. Inilah yang perlu kita ubah, agar pendidikan bisa lebih relevan dan berdampak positif dalam kehidupan mereka. Pendidikan yang memuliakan peserta didik berarti memberikan ruang bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhan mereka. Sebagai pendidik, kita memiliki tugas untuk menggali potensi tersebut dan memberdayakannya agar mereka dapat belajar dengan cara yang paling sesuai dengan diri mereka. Pendekatan ini mengakui bahwa setiap individu itu unik dan memiliki kelebihan yang berbeda-beda, dan pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan keberagaman ini.
Salah satu langkah awal dalam memuliakan peserta didik adalah dengan menghilangkan paradigma yang menganggap bahwa semua peserta didik harus mengikuti pola pembelajaran yang sama. Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda, ada yang lebih visual, auditori, atau kinestetik. Oleh karena itu, sebagai pendidik, kita perlu memahami cara belajar siswa dan menyesuaikan metode pembelajaran yang digunakan agar lebih efektif. Ini bukan hanya soal memberikan materi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dengan cara yang mereka anggap terbaik. Selain itu, memuliakan peserta didik juga berarti memberikan penghargaan terhadap proses, bukan hanya hasil. Banyak pendidikan yang terlalu fokus pada pencapaian akademik, seperti nilai ujian, tanpa memperhatikan perjalanan yang dilalui oleh peserta didik. Padahal, proses pembelajaran yang baik melibatkan usaha, kegigihan, dan pemecahan masalah. Menghargai setiap langkah yang ditempuh oleh siswa dalam belajar akan membangun rasa percaya diri mereka dan memberi motivasi untuk terus maju.
Mengubah pola pikir dalam membelajarkan juga berarti mendekatkan peserta didik dengan dunia nyata. Pendidikan tidak seharusnya hanya berhenti di ruang kelas, tetapi harus menghubungkan siswa dengan tantangan nyata yang ada di luar sana. Salah satu cara untuk memuliakan peserta didik adalah dengan mengajarkan mereka keterampilan hidup yang tidak hanya bermanfaat di dunia akademik, tetapi juga di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Keterampilan seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan pemecahan masalah sangat dibutuhkan dalam kehidupan mereka yang lebih luas. Selain itu, memuliakan peserta didik juga berarti memberi mereka kebebasan untuk mengekspresikan diri. Setiap siswa memiliki cara unik dalam berpikir, berkomunikasi, dan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, di mana semua suara siswa dihargai, dan mereka merasa didengar. Dengan demikian, peserta didik akan merasa dihargai, yang pada gilirannya akan meningkatkan keterlibatan mereka dalam pembelajaran.
Pendidikan yang memuliakan peserta didik juga mencakup penghargaan terhadap keanekaragaman yang ada. Tidak semua siswa datang dari latar belakang yang sama, dan tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan yang adil dan merata, di mana setiap siswa, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi mereka, merasa diterima dan diberi kesempatan yang sama untuk berkembang. Pendidikan yang adil akan membuka peluang bagi siswa untuk mencapai potensi terbaik mereka. Dengan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk aktif dalam proses belajar, kita juga membantu mereka untuk mengembangkan rasa tanggung jawab terhadap pendidikan mereka sendiri. Pendidikan yang memuliakan siswa bukanlah pendidikan yang hanya bergantung pada guru untuk memberikan pengetahuan, tetapi pendidikan yang melibatkan siswa sebagai subjek yang aktif. Mereka dilibatkan dalam proses pembelajaran, diberi ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan mengambil keputusan. Ini adalah langkah penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian siswa.
Salah satu aspek penting lainnya dari pendidikan yang memuliakan peserta didik adalah penghargaan terhadap emosi mereka. Seringkali, siswa dianggap hanya sebagai "otak" yang harus diberi informasi dan tidak diajak untuk mengelola emosi mereka. Padahal, kecerdasan emosional sangat penting dalam mendukung keberhasilan siswa, baik dalam pendidikan maupun kehidupan mereka. Sebagai pendidik, kita perlu memberikan ruang bagi siswa untuk memahami dan mengelola emosi mereka, serta memotivasi mereka untuk berkembang secara emosional dan sosial.
Pendidikan yang memuliakan peserta didik juga harus mampu menciptakan hubungan yang positif antara guru dan siswa. Hubungan yang baik antara pendidik dan peserta didik akan menciptakan rasa aman dan nyaman dalam proses pembelajaran. Ketika siswa merasa diterima dan dihargai oleh gurunya, mereka akan lebih terbuka dalam berkomunikasi dan lebih berani untuk mengambil risiko dalam belajar. Ini akan menciptakan suasana belajar yang lebih produktif dan menyenangkan. Salah satu cara konkret untuk memuliakan peserta didik adalah dengan memberikan mereka umpan balik yang konstruktif dan positif. Umpan balik yang diberikan tidak hanya fokus pada kesalahan yang mereka buat, tetapi juga menghargai usaha yang telah mereka lakukan. Ini akan membantu siswa memahami di mana mereka bisa memperbaiki diri, sekaligus memberi mereka motivasi untuk terus berkembang. Umpan balik yang positif juga memperkuat rasa percaya diri siswa dan memberi mereka keyakinan untuk mencoba hal-hal baru.
Dengan memuliakan peserta didik, kita juga mengajarkan mereka nilai-nilai penting yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka. Kita mengajarkan mereka untuk menghargai diri mereka sendiri, untuk melihat nilai dalam usaha mereka, dan untuk percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berkembang. Nilai-nilai ini sangat penting, karena akan membentuk karakter mereka dalam menghadapi tantangan hidup yang lebih besar. Dalam pendidikan yang memuliakan peserta didik, kita juga perlu mendorong siswa untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan sesama. Pembelajaran yang kolaboratif dapat memperkaya pengalaman belajar mereka, karena siswa dapat belajar dari satu sama lain. Dengan saling bertukar ide dan pemikiran, mereka akan merasa dihargai dan terlibat dalam proses pembelajaran yang lebih bermakna. Kolaborasi ini akan memperkuat keterampilan sosial dan membangun rasa solidaritas antar siswa.
Di samping itu, pendidikan yang memuliakan peserta didik juga harus memberikan ruang bagi mereka untuk menemukan minat dan bakat mereka. Tidak semua siswa akan tertarik pada mata pelajaran yang sama, dan tidak semua siswa akan memiliki kemampuan yang sama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan ruang bagi mereka untuk mengeksplorasi berbagai bidang dan menemukan apa yang mereka sukai dan kuasai. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berfokus pada akademik semata, tetapi juga pada pengembangan diri secara holistik. Sebagai pendidik, kita harus memahami bahwa setiap peserta didik memiliki potensi yang luar biasa, meskipun potensi itu mungkin tidak selalu terlihat secara langsung. Tugas kita adalah membantu mereka untuk menemukan dan mengembangkan potensi tersebut. Dengan memberikan dorongan dan bimbingan yang tepat, kita bisa membantu mereka meraih tujuan mereka dan mencapai keberhasilan. Proses ini tidak hanya menguntungkan siswa, tetapi juga memberi kebanggaan dan kepuasan bagi kita sebagai pendidik.
Pada akhirnya, pendidikan yang memuliakan peserta didik adalah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka. Ini adalah pendidikan yang tidak hanya menghargai kecerdasan akademik, tetapi juga menghargai keberagaman, emosi, dan karakter siswa. Dengan pendekatan ini, kita akan menciptakan generasi yang lebih cerdas, lebih empatik, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan dunia yang terus berkembang. Dalam dunia yang penuh dengan perubahan ini, sudah saatnya kita melakukan perubahan dalam cara kita membelajarkan. Kita harus memuliakan peserta didik, memberi mereka kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, serta menghargai perjalanan mereka dalam belajar. Dengan demikian, kita tidak hanya mencetak individu yang cerdas, tetapi juga individu yang memiliki karakter, empati, dan kesiapan untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan.
MINDSET SEBAGAI SENJATA UTAMA UNTUK MENGATASI BATASAN KECERDASAN
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Kecerdasan sering dianggap sebagai faktor utama dalam meraih kesuksesan. Sejak kecil, kita sering diajarkan bahwa semakin pintar seseorang, semakin besar peluang untuk sukses. Namun, seiring dengan berkembangnya penelitian psikologi, banyak yang mulai menyadari bahwa kecerdasan bukan satu-satunya faktor yang menentukan masa depan kita. Sebaliknya, cara kita berpikir tentang diri kita sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah mindset, ternyata memiliki pengaruh yang jauh lebih besar.
Carol Dweck, seorang psikolog dari Stanford University, melalui penelitiannya memperkenalkan dua konsep penting tentang mindset, growth mindset (mindset berkembang) dan fixed mindset (mindset tetap). Orang dengan fixed mindset cenderung percaya bahwa kecerdasan dan kemampuan mereka adalah tetap dan tidak dapat berkembang. Mereka sering melihat kegagalan sebagai bukti bahwa mereka tidak cukup pintar atau mampu. Sementara itu, mereka yang memiliki growth mindset percaya bahwa kemampuan mereka bisa berkembang melalui usaha, latihan, dan pembelajaran berkelanjutan. Pentingnya growth mindset ini menjadi jelas melalui penelitian yang dilakukan Dweck di dunia pendidikan. Anak-anak yang diajarkan bahwa kemampuan mereka bisa berkembang cenderung lebih bersemangat dalam belajar dan lebih tahan terhadap tantangan. Mereka melihat kegagalan bukan sebagai hal yang memalukan, tetapi sebagai kesempatan untuk belajar. Sebaliknya, anak-anak yang memiliki fixed mindset cenderung mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Mereka merasa bahwa usaha mereka tidak akan mengubah hasil, karena mereka percaya bahwa kemampuan mereka terbatas.
Fenomena ini tidak hanya berlaku di sekolah. Dalam dunia profesional, banyak orang yang merasa terhambat oleh keterbatasan kemampuan mereka. Namun, orang dengan growth mindset akan selalu mencari cara untuk berkembang dan menghadapi tantangan dengan semangat. Mereka tidak menghindari kesulitan, tetapi malah mencari peluang untuk belajar dan memperbaiki diri. Ini membuat mereka lebih sukses dalam karier dan kehidupan. Bahkan di dunia kerja, mindset memainkan peran yang sangat penting. Orang dengan growth mindset biasanya lebih terbuka terhadap umpan balik, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan, dan selalu berusaha untuk memperbaiki keterampilan mereka. Mereka memahami bahwa kesuksesan bukanlah hasil dari bakat atau kecerdasan semata, tetapi dari kerja keras dan usaha yang konsisten. Sementara itu, mereka yang memiliki fixed mindset sering kali merasa terancam oleh kritik dan lebih sulit untuk beradaptasi dengan perubahan. Untuk dapat mengembangkan growth mindset, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap kesulitan dan kegagalan.
Ketika kita melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, kita tidak akan merasa takut atau malu untuk mencoba hal-hal baru. Sebaliknya, kita akan semakin termotivasi untuk memperbaiki diri dan mencapai tujuan kita. Ini adalah sikap yang sangat penting untuk berkembang di segala bidang, baik itu pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi. Contoh nyata dari growth mindset ini dapat ditemukan dalam dunia olahraga. Michael Jordan, misalnya, pernah dikeluarkan dari tim basket sekolah karena dianggap tidak berbakat. Namun, dia tidak menyerah. Sebaliknya, dia berlatih lebih keras dan akhirnya menjadi salah satu pemain basket terbaik di dunia. Ini menunjukkan bahwa dengan growth mindset, kegagalan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kesuksesan yang lebih besar. Begitu pula dalam kehidupan pribadi, kita sering kali dihadapkan pada tantangan yang sulit. Namun, mereka yang memiliki growth mindset tidak melihat tantangan itu sebagai hambatan, tetapi sebagai kesempatan untuk berkembang. Mereka percaya bahwa dengan usaha dan dedikasi, mereka dapat mengubah keadaan dan meraih tujuan mereka. Ini adalah sikap yang sangat penting untuk dimiliki dalam menghadapi dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita semua perlu memiliki growth mindset agar dapat terus belajar dan berkembang. Dunia terus berubah, dan hanya mereka yang mampu beradaptasi yang akan bertahan. Jika kita terus mengembangkan diri, tidak hanya dalam keterampilan dan pengetahuan, tetapi juga dalam cara kita berpikir dan melihat dunia, maka kita akan mampu mencapai kesuksesan yang lebih besar. Growth mindset juga membantu kita untuk melihat kegagalan secara positif. Ketika kita gagal, kita tidak merasa bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Sebaliknya, kita melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. Dengan cara ini, kita tidak hanya bertumbuh dalam keterampilan, tetapi juga dalam karakter dan ketahanan mental kita.
Mengubah mindset bukanlah hal yang mudah, tetapi itu sangat mungkin dilakukan. Dengan latihan dan kesadaran, kita dapat mengubah cara kita berpikir tentang kemampuan dan potensi diri. Ini akan membuka banyak peluang dan membantu kita meraih tujuan yang lebih tinggi dalam hidup. Sebagai mahasiswa, ini adalah waktu yang tepat untuk mulai mengembangkan growth mindset. Dalam proses belajar, kamu akan menghadapi banyak tantangan dan kegagalan. Namun, jangan biarkan hal itu membuatmu mundur. Anggaplah itu sebagai bagian dari perjalananmu untuk menjadi lebih baik. Dengan berfokus pada usaha, perbaikan diri, dan pembelajaran yang berkelanjutan, kamu akan meraih sukses yang lebih besar, tidak hanya di dunia akademis, tetapi juga di kehidupan nyata.
Jika kamu merasa terhambat oleh tantangan, ingatlah bahwa growth mindset memberikanmu kesempatan untuk berkembang lebih jauh. Apa pun bidang yang kamu pilih, keberhasilan datang melalui kerja keras dan ketekunan, bukan hanya kecerdasan atau bakat alami. Semakin kamu berusaha dan semakin kamu belajar, semakin besar peluang untuk mencapai kesuksesan. Ketika kamu mengembangkan growth mindset, kamu tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses yang membawa kamu menuju tujuan. Kamu akan lebih berani mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, dan mengatasi rasa takut akan kegagalan. Semua itu adalah bagian dari perjalananmu untuk mencapai potensi terbaikmu. Oleh karena itu, ingatlah bahwa kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan. Dengan growth mindset, kamu memiliki kendali lebih besar atas perkembanganmu. Kecerdasan bisa ditingkatkan dengan usaha dan pembelajaran yang terus-menerus. Jadi, fokuskan dirimu pada usaha dan teruslah belajar. Karena di balik setiap kegagalan, ada pelajaran berharga yang akan membawa kamu menuju kesuksesan.
TUJUAN KONSELING MENGGUNAKAN TEKNIK PENA (PEMBERDAYAAN EMOSIONAL DENGAN NARASI DAN ANALOGI)
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Tujuan konseling PENA (Pemberdayaan Emosional dengan Narasi dan Analogi) berfokus pada pemahaman dan transformasi narasi pribadi individu untuk mengatasi masalah atau tantangan yang dihadapi. Konseling PENA bertujuan untuk membantu individu membangun kembali cerita hidupnya dengan cara yang lebih memberdayakan dengan menggali dan membangun narasi yang lebih positif untuk membantu individu melihat kehidupannya dari perspektif yang lebih terbuka dan memungkinkan perubahan. Konseling ini memberikan individu alat untuk mengubah kehidupannya, meningkatkan kesejahteraan, dan mengatasi tantangan dengan cara yang lebih bermakna dan memberdayakan. Berikut adalah beberapa tujuan utama konseling PENA:
1. Membantu Individu Memahami Kisah Hidupnya
Salah satu tujuan utama konseling PENA adalah untuk membantu individu memahami dan mengeksplorasi narasi hidup merekasendiri dan dunia. Setiap individu memiliki cerita atau narasi yang membentuk siapa dirinya. Konselor akan membantu individu untuk menyadari bagaimana narasi ini terbentuk dan bagaimana cerita-cerita tersebut mempengaruhi pandangannya terhadap diri sendiri dan dunia.
2. Mengidentifikasi Narasi Dominan yang Merugikan
Konseling PENA bertujuan untuk mengidentifikasi narasi dominan yang membatasi atau merugikan individu. Narasi ini sering kali terbentuk dari pengalaman masa lalu yang negatif, tekanan sosial, atau keyakinan yang tidak sehat. Dengan mendeteksi narasi yang menghambat, konselor membantu individu untuk mengenali pola-pola pikir atau perilaku yang membatasi potensinya.
3. Membangun Narasi Alternatif yang Positif
Salah satu tujuan penting dalam konseling PENA adalah untuk membangun narasi alternatif yang lebih positif dan memberdayakan. Konselor membantu individu menggali momen-momen keberhasilan, kekuatan, dan kemampuan yang mungkin tersembunyi dalam hidupnya, dan mendorongnya untuk merangkum cerita yang dapat memberinya rasa kontrol, harapan, dan potensi untuk perubahan.
4. Mengubah Identitas yang Terbentuk dari Narasi Negatif
Tujuan lainnya adalah untuk membantu individu mengubah identitasnya yang terjebak dalam narasi negatif. Dalam konseling naratif, identitas seseorang tidak dianggap sebagai sesuatu yang tetap. Konselor bekerja dengan klien untuk mendekonstruksi narasi negatif yang membentuk identitasnya dan membantu menyusun cerita baru yang lebih sesuai dengan potensi sejatinya.
5. Mengurangi Stigma dan Labelisasi
Konseling PENA juga berfokus pada pengurangan stigma dan labelisasi yang sering diberikan kepada individu yang mengalami kesulitan, seperti perilaku salah suai. Dengan teknik externalisasi, di mana masalah dipisahkan dari individu, konselor dapat membantu klien mengatasi rasa malu dan ketidakmampuan yang sering terkait dengan masalah pribadinya.
6. Memperkuat Kekuatan dan Potensi Diri
Konseling PENA bertujuan untuk memperkuat kekuatan dan potensi individu. Teknik ini berfokus pada sisi positif individu, yaitu potensinya untuk tumbuh, berubah, dan mengatasi tantangan hidup. Konselor bekerja untuk membantu individu menyadari bahwa dirinya memiliki kapasitas untuk merubah cerita hidupnya dan mencapai tujuan meskipun menghadapi kesulitan.
7. Menyediakan Ruang untuk Eksplorasi Diri
Konseling PENA juga memberi individu ruang untuk eksplorasi diri, di mana dirinya dapat berbicara tentang pengalamannya tanpa takut dihakimi. Melalui percakapan yang mendalam dan reflektif, individu dapat menggali lebih dalam tentang cerita hidupnya, nilai-nilai, dan harapannya, sehingga dapat membuat keputusan yang lebih sadar dan berdasar.
8. Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Tujuan lain dari konseling PENA adalah untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Dengan memahami bagaimana narasi mereka terbentuk, individu dapat lebih mudah mengidentifikasi pola-pola dalam hidupnya yang mempengaruhi cara dirinya merespons masalah. Konselor membantu individu mengembangkan keterampilan baru untuk merespons tantangan hidup dengan cara yang lebih adaptif dan produktif.
9. Memperkuat Relasi dengan Orang Lain
Konseling PENA juga membantu individu untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain. Dalam banyak kasus, masalah yang dihadapi seseorang berhubungan dengan narasi atau cerita yang diciptakannya tentang hubungan yang dibangun olehnya. Dengan membongkar cerita-cerita yang merusak dan menggantinya dengan cerita yang lebih positif, individu dapat mengembangkan hubungan yang lebih sehat dan penuh makna dengan orang-orang di sekitarnya.
10. Menciptakan Keberlanjutan dalam Perubahan
Tujuan jangka panjang dari konseling PENA adalah untuk menciptakan keberlanjutan dalam perubahan kehidupannya. Konseling ini berfokus pada pembuatan narasi yang bisa bertahan lama, dengan memberikan individu alat dan pemahaman untuk terus berkembang setelah sesi konseling berakhir. Dengan cara ini, perubahan yang terjadi dapat terus berlanjut meskipun individu kembali ke kehidupan sehari-harinya.
11. Meningkatkan Kesejahteraan Mental dan Emosional
Konseling PENA bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional. Hal ini meningkatkan harga diri, kebahagiaan, dan individu. Dengan membebaskan diri dari narasi negatif yang membatasi, individu dapat lebih merasa damai dengan dirinya sendiri. Ini meningkatkan rasa harga diri, kebahagiaan, dan kepercayaan diri, yang semuanya penting untuk kesejahteraan emosional.
12. Mengurangi Perilaku yang Merugikan Diri Sendiri
Dengan menggali narasi yang merugikan, konseling PENA dapat membantu individu mengurangi perilaku yang merugikan diri sendiri. Ini termasuk perilaku yang sering terkait dengan stres, kecemasan, depresi, atau gangguan lainnya. Dengan menceritakan ulang dan memperbarui cerita hidupnya, individu dapat meminimalkan atau mengubah perilaku yang merugikan ini menjadi pola yang lebih sehat.
PANDANGAN TEKNIK PENA (PEMBERDAYAAN EMOSIONAL DENGAN NARASI DAN ANALOGI) TERHADAP PERILAKU SALAH SUAI
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Dalam teknik PENA (Pemberdayaan Emosional dengan Narasi dan Analogi), perilaku salah suai dipahami dan tidak dilihat sebagai gangguan tetap atau sesuatu yang melekat pada individu, tetapi lebih sebagai hasil dari narasi atau cerita tertentu yang dibentuk dalam kehidupan individu tersebut sebagai bagian dari narasi hidup yang bisa berubah. Konseling naratif membantu individu untuk mengeksplorasi dan mendekonstruksi narasi dominan yang mengarah pada perilaku salah suai, serta membangun cerita baru yang lebih memberdayakan dan membawa perubahan. Dengan demikian, teknik PENA mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi dan penuh empati, dengan mempercayai bahwa setiap individu memiliki kekuatan untuk menulis ulang cerita hidupnya. Berikut adalah pandangan teknik PENA terhadap perilaku salah suai:
1. Perilaku Salah suai Sebagai Narasi yang Tersisa
Dalam kerangka teknik PENA, perilaku salah suai bukanlah suatu kondisi tetap atau karakteristik yang melekat pada individu. Sebaliknya, perilaku ini dilihat sebagai sebuah narasi hidup tertentu, baik pengalaman masa lalu, ketidakmampuan yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup tertentu, baik pengalaman masa lalu, ketidakmampuan dalam menghadapi situasi tertentu, atau perasaan dan pemikiran yang tidak diselesaikan. Perilaku tersebut sering kali muncul sebagai akibat dari narasi negatif yang mendominasi pandangan seseorang terhadap dirinya dan dunia di sekitarnya.
2. Externalisasi Masalah
Salah satu konsep utama dalam teknik PENA adalah externalisasi, yaitu pemisahan antara individu dan masalah yang mereka hadapi. Perilaku salah suai, dalam pandangan ini, tidak dianggap sebagai bagian dari diri seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang menunjukkan perilaku depresi atau kecemasan bukanlah "orang yang depresi" atau "orang yang cemas", melainkan "seseorang yang hidup dalam cerita depresi" atau "seseorang yang terperangkap dalam cerita kecemasan". Teknik ini mengurangi stigma dan memungkinkan individu untuk melihat dirinya lebih objektif, sebagai pengarah hidup yang mampu menulis ulang cerita tersebut.
3. Perilaku Salah suai Sebagai Produk Narasi Dominan
Perilaku salah suai sering kali muncul sebagai bagian dari narasi dominan yang telah terbentuk dalam hidup seseorang. Misalnya, seseorang yang mengalami kegagalan berulang dalam hidupnya mungkin mulai menginternalisasi narasi kegagalan sebagai bagian dari identitasnya. Narasi ini kemudian dapat memengaruhi cara mereka berperilaku, berpikir, dan merasakan. Dalam teknik PENA, konselor membantu individu untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi narasi dominan ini, serta menggali narasi alternatif yang lebih memberdayakan dan membuka ruang untuk perubahan.
4. Perilaku Salah suai sebagai Tanggapan terhadap Kekuatan Sosial dan Budaya
Teknik PENA juga menyoroti bagaimana perilaku salah suai bisa terjadi akibat tekanan sosial dan budaya yang membentuk narasi individu. Dalam masyarakat, terdapat ekspektasi dan skrip-skrip sosial yang sering kali membatasi ekspresi diri dan kebebasan individu. Misalnya, tekanan untuk menjadi "sempurna" dalam pekerjaan atau hubungan bisa menghasilkan narasi ketidakmampuan atau kecemasan. Dalam konseling, konselor membantu individu untuk menyadari bahwa perilaku salah suai sering kali merupakan respons terhadap struktur sosial dan budaya yang membatasi ekspresi atau kebebasan individu.
5. Dekonstruksi Narasi Negatif
Salah satu tujuan dalam teknik PENA adalah dekonstruksi narasi negatif yang dapat mempengaruhi perilaku salah suai. Individu sering kali tidak menyadari bahwa mereka hidup dalam narasi yang merugikan dan menahan potensi mereka. Misalnya, seseorang yang merasa selalu gagal dalam hubungan mungkin telah menginternalisasi narasi bahwa "saya tidak layak dicintai" atau "hubungan saya pasti gagal". Melalui teknik PENA, individu diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan mendekonstruksi narasi ini untuk mencari alternatif yang lebih memberdayakan.
6. Pemaknaan Ulang Pengalaman
Dalam pandangan teknik PENA, pengalaman negatif yang menghasilkan perilaku salah suai, seperti trauma, kegagalan, atau konflik, tidak dipandang sebagai sesuatu yang permanen. Individu dapat diberi ruang untuk memaknai ulang pengalaman-pengalaman tersebut dan melihatnya dari sudut pandang yang lebih produktif. Sebagai contoh, seseorang yang merasa gagal setelah kehilangan pekerjaan dapat memaknai ulang pengalaman tersebut sebagai kesempatan untuk menemukan karir baru atau untuk belajar hal-hal baru tentang dirinya.
7. Fokus pada Kekuatan dan Potensi
Teknik PENA tidak terfokus hanya pada masalah atau perilaku salah suai, tetapi lebih kepada kekuatan dan potensi yang dimiliki individu. Dalam banyak kasus, perilaku salah suai muncul karena seseorang merasa tidak mampu mengakses kekuatan dalam dirinya. Melalui konseling naratif, individu didorong untuk melihat kembali cerita-cerita tentang kekuatan dan keberhasilan mereka yang mungkin tersembunyi dalam narasi dominan yang negatif.
8. Menghormati Cerita Personal
Dalam teknik PENA, penting untuk menghormati setiap cerita yang dibawa oleh individu. Meskipun perilaku salah suai sering kali terkait dengan trauma atau pengalaman negatif, setiap individu memiliki hak untuk bercerita tentang pengalaman mereka. Konselor berperan sebagai pendengar aktif yang membantu individu menelusuri dan menggali cerita-cerita ini untuk mencari makna dan pelajaran yang dapat membawa mereka pada pemulihan dan perubahan perilaku.
9. Pembentukan Narasi yang Lebih Positif dan Produktif
Setelah narasi dominan dan masalah yang terkait dengan perilaku salah suai ditemukan dan didekonstruksi, konselor dan klien bekerja bersama untuk membentuk narasi baru yang lebih positif dan produktif. Perubahan ini bukan hanya tentang perilaku yang berbeda, tetapi tentang cara pandang baru terhadap diri, orang lain, dan dunia di sekitar mereka. Dengan membangun cerita yang lebih positif, individu dapat merubah perilaku salah suai menjadi peluang untuk pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
10. Perilaku Salah suai sebagai Manifestasi dari Identitas yang Terkunci
Kadang-kadang, perilaku salah suai dapat dipahami sebagai manifestasi dari identitas yang terkunci dalam narasi tertentu. Misalnya, seseorang yang merasa selalu gagal dalam kehidupan pribadi atau profesional mungkin telah membangun identitas diri sebagai "orang yang tidak sukses". Konseling naratif bertujuan untuk membuka kunci identitas ini dan membiarkan individu merangkai kembali cerita hidup mereka dengan cara yang lebih fleksibel dan memungkinkan bagi perubahan.
STRUKTUR KEPRIBADIAN MANUSIA MENURUT TEKNIK PENA (PEMBERDAYAAN EMOSIONAL DENGAN NARASI DAN ANALOGI)
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Teknik PENA memandang kepribadian manusia sebagai konstruksi naratif yang dinamis. Kepribadian terbentuk dari cerita-cerita yang terus-menerus dikisahkan, diulang, dan dimaknai dalam kehidupan seseorang. Struktur kepribadian menurut teknik PENA lebih berbentuk seperti jaringan cerita yang hidup dan saling terhubung, dengan berbagai tingkat pengaruh, dominasi, dan peluang untuk berubah. Konseling naratif tidak berusaha “memperbaiki” struktur itu, tetapi membuka ruang narasi baru, agar seseorang dapat mengembangkan identitas yang lebih utuh dan membebaskan. Meskipun tidak mengadopsi struktur kepribadian secara kaku, teknik PENA mengenali beberapa komponen naratif utama yang membentuk struktur kepribadian individu:
1. Diri sebagai Narator (Narrating Self)
Komponen utama dalam struktur kepribadian menurut teknik PENA adalah diri sebagai narator. Manusia dipandang sebagai pengisah (storyteller) dari kehidupannya sendiri. Diri ini bersifat aktif, reflektif, dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalaman serta menyusunnya dalam bentuk cerita. Diri sebagai narator menentukan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan dunianya.
2. Narasi Dominan (Dominant Story)
Narasi dominan adalah cerita utama yang mendominasi pandangan seseorang tentang diri dan hidupnya. Cerita ini sering kali terbentuk dari pengalaman masa lalu, pengaruh sosial, nilai budaya, dan keyakinan internal. Narasi dominan bisa bersifat positif (memberdayakan) atau negatif (menindas). Dalam teknik PENA, narasi dominan yang negatif menjadi fokus untuk dideteksi dan didialogkan.
3. Narasi Alternatif (Alternative Story / Unique Outcomes)
Komponen ini merupakan kisah-kisah lain dalam hidup individu yang sering kali terabaikan, meski memiliki potensi untuk memperkaya identitas. Narasi alternatif mencakup momen-momen keberhasilan, kekuatan, harapan, dan resiliensi. Konseling naratif bertujuan membantu klien menggali dan mengembangkan narasi alternatif ini untuk membangun identitas yang lebih sehat dan bermakna.
4. Pengaruh Sosial dan Budaya (Cultural & Social Scripts)
Kepribadian individu tidak terbentuk di ruang kosong, melainkan dalam konteks budaya dan sosial tertentu. Teknik PENA menyadari bahwa banyak aspek kepribadian seseorang dibentuk oleh skrip sosial, yakni harapan, norma, dan nilai yang dibangun oleh lingkungan keluarga, agama, pendidikan, media, dan masyarakat luas. Kepribadian manusia, dalam hal ini, terbaca sebagai respons terhadap skrip-skrip tersebut.
5. Relasi Kuasa dalam Cerita (Power Relations in Narrative)
Struktur kepribadian juga mencerminkan hubungan kuasa dalam kehidupan sehari-hari. Teknik PENA membantu klien menyadari bahwa beberapa cerita yang membentuk dirinya mungkin berasal dari suara-suara otoritatif (guru, orang tua, institusi, budaya patriarki, dll.) yang mengatur siapa dia seharusnya. Kesadaran ini penting untuk membongkar narasi yang menindas dan menggantinya dengan narasi yang lebih otonom.
6. Bahasa dan Simbol (Language & Meaning-Making)
Bahasa adalah medium utama pembentuk narasi dan dengan demikian berperan penting dalam struktur kepribadian menurut teknik PENA. Cara seseorang menyebut dirinya, peristiwa masa lalu, dan harapan masa depan mencerminkan struktur identitasnya. Bahasa tidak netral, dan teknik PENA memperhatikan kata-kata yang dipilih klien sebagai pintu masuk untuk eksplorasi lebih dalam tentang kepribadiannya.
7. Identitas Naratif (Narrative Identity)
Identitas dalam teknik PENA bukanlah sifat tetap, melainkan sebuah konstruksi naratif yang bersifat cair dan bisa berkembang. Identitas naratif adalah rangkaian cerita yang diceritakan seseorang tentang dirinya sendiri, yang mencerminkan nilai, keyakinan, dan harapan hidup. Konseling naratif berupaya membantu individu memperbarui identitas ini agar lebih sejajar dengan potensi sejatinya.
Kategori
- ADAT
- ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
- BERITA.MOLAMETO.ID
- BK ARTISTIK
- BK MULTIKULTURAL
- BOOK CHAPTER
- BUDAYA
- CERITA FIKSI
- CINTA
- DEFENISI KONSELOR
- DOSEN BK UNG
- HIPNOKONSELING
- HKI/PATEN
- HMJ BK
- JURNAL PUBLIKASI
- KAMPUS
- KARAKTER
- KARYA
- KATA BANG JUM
- KEGIATAN MAHASISWA
- KENAKALAN REMAJA
- KETERAMPILAN KONSELING
- KOMUNIKASI KONSELING
- KONSELING LINTAS BUDAYA
- KONSELING PERGURUAN TINGGI
- KONSELOR SEBAYA
- KULIAH
- LABORATORIUM
- MAHASISWA
- OPINI
- ORIENTASI PERKULIAHAN
- OUTBOUND
- PENDEKATAN KONSELING
- PENGEMBANGAN DIRI
- PRAKTIKUM KULIAH
- PROSIDING
- PUISI
- PUSPENDIR
- REPOST BERITA ONLINE
- RINGKASAN BUKU
- SEKOLAH
- SISWA
- TEORI DAN TEKNIK KONSELING
- WAWASAN BUDAYA
Arsip
- October 2025 (4)
- August 2025 (3)
- April 2025 (11)
- March 2025 (1)
- January 2025 (11)
- December 2024 (18)
- October 2024 (2)
- September 2024 (15)
- August 2024 (5)
- July 2024 (28)
- June 2024 (28)
- May 2024 (8)
- April 2024 (2)
- March 2024 (2)
- February 2024 (15)
- December 2023 (12)
- November 2023 (37)
- July 2023 (6)
- June 2023 (14)
- January 2023 (4)
- September 2022 (2)
- August 2022 (4)
- July 2022 (4)
- February 2022 (3)
- December 2021 (1)
- November 2021 (1)
- October 2021 (1)
- June 2021 (1)
- February 2021 (1)
- October 2020 (4)
- September 2020 (4)
- March 2020 (7)
- January 2020 (4)
Blogroll
- AKUN ACADEMIA EDU JUMADI
- AKUN GARUDA JUMADI
- AKUN ONESEARCH JUMADI
- AKUN ORCID JUMADI
- AKUN PABLON JUMADI
- AKUN PDDIKTI JUMADI
- AKUN RESEARCH GATE JUMADI
- AKUN SCHOLER JUMADI
- AKUN SCOPUS JUMADI
- AKUN SINTA DIKTI JUMADI
- AKUN YOUTUBE JUMADI
- BERITA BEASISWA KEMDIKBUD
- BERITA KEMDIKBUD
- BLOG DOSEN JUMADI
- BLOG MATERI KONSELING JUMADI
- BLOG SAJAK JUMADI
- BOOK LIBRARY GENESIS - KUMPULAN REFERENSI
- BOOK PDF DRIVE - KUMPULAN BUKU
- FIP UNG BUDAYA KERJA CHAMPION
- FIP UNG WEBSITE
- FIP YOUTUBE PEDAGOGIKA TV
- JURNAL EBSCO HOST
- JURNAL JGCJ BK UNG
- JURNAL OJS FIP UNG
- KBBI
- LABORATORIUM
- LEMBAGA LLDIKTI WILAYAH 6
- LEMBAGA PDDikti BK UNG
- LEMBAGA PENELITIAN UNG
- LEMBAGA PENGABDIAN UNG
- LEMBAGA PERPUSTAKAAN NASIONAL
- LEMBAGA PUSAT LAYANAN TES (PLTI)
- ORGANISASI PROFESI ABKIN
- ORGANISASI PROFESI PGRI
- UNG KODE ETIK PNS - PERATURAN REKTOR
- UNG PERPUSTAKAAN
- UNG PLANET
- UNG SAHABAT
- UNG SIAT
- UNG SISTER
- WEBSITE BK UNG